1- Iblis di Bumi

1799 Kata
"Pada zaman dahulu, ada sebuah planet di luar angkasa, yang sama persis seperti bumi. Di planet itu, penghuninya menamai diri mereka dengan sebutan Iblis. Para Iblis ini mengalami perkembangbiakan dan melalui evolusi panjang menciptakan sistem peradaban sendiri. Suatu hari, ilmuwan mereka meramalkan planet mereka akan menghadapi kehancuran. Demi menghindari kehancuran itu, mereka berbondong-bondong pindah ke planet lain dengan berteleportasi. Salah satu kelompoknya pindah ke bumi kita. Penghuni bumi dulu ketakutan saat melihat para Iblis yang tiba-tiba turun ke atas pegunungan. Iblis tidak bersayap, tetapi dapat terbang. Berbulu lebat berwarna merah padam. Di atas kepalanya ada tanduk menyeramkan, juga taring tajam yang mengelilingi gusi mereka. Demi beradaptasi hidup di bumi, para Iblis terus berevolusi. Penampilan mereka sama dengan manusia dan perlahan bersatu dengan kehidupan manusia. Banyak cerita yang beredar di masyarakat yang dilebih-lebihkan tentang mereka. Kebanyakan karangan mengatakan bahwa Iblis itu semuanya jahat, namun yang sebenarnya adalah iblis juga memiliki sifat yang baik. Orang juga mengatakan bahwa iblis memakan jantung manusia, padahal yang terjadi, Iblis tidak selalu memakan jantung manusia. Setelah cerita menyebar luas, kesan manusia pada Iblis pun berubah. Dari yang mulanya penasaran, berubah menjadi ketakutan. Para Iblis akhirnya lambat laun mulai menyadari bahwa manusia tidak seramah yang dulu. Mereka terpaksa menyembunyikan identitas mereka untuk bertahan hidup di bumi. Dan tanpa kita sadari, bisa saja orang yang dulu kau anggap hanyalah manusia biasa, namun ternyata ia adalah sesosok Iblis." "Jadi kita ini Iblis atau manusia, Kek?" Seorang gadis kecil bermata bulat bertanya pada kakeknya. Matanya berbinar memancarkan rasa takjub dan penasaran ketika mendengarkan cerita tersebut. Sang Kakek di depannya memamerkan senyum lebar. "Tentu saja kita ini manusia," jawabnya. Lalu tangannya menyentuh rambut cucu perempuannya itu. "Kita manusia namun hidup berdampingan para Iblis." "Iblis itu jahat?" Cucunya bertanya lagi. Berulang kali mengedip lucu. Bocah berusia sepuluh tahun itu sangat tertarik mendengar cerita sang Kakek. Sang Kakek menggelengkan kepalanya. Kemudian dengan suara khasnya kembali menjawab pertanyaan cucunya. "Tidak semua iblis itu jahat. Mereka juga sama seperti manusia. Ada yang jahat, tetapi juga ada yang baik." Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya berulang kali. "Oh, jadi mereka baik," ucapnya dengan polos. Rambut gadis kecil itu kembali dibelai oleh Sang Kakek. Belaiannya begitu lembut dan membuat gadis itu sedikit mengantuk. "Nindy ngantuk, Kek." Gadis kecil itu kembali bersuara. Kakeknya tertawa pelan. "Kalau ngantuk lebih baik Nindy masuk ke dalam. Besok kita jalan-jalan cari kupu-kupu lagi," ucap Kakek kemudian tangannya terjulur mengangkat cucunya itu dengan perlahan. Setelah itu ia biarkan kaki cucunya menapak ke tanah dan tidak duduk di kursi lagi. "Sana masuk!" perintahnya. "Iya." Si cucu mengangguk dan berjalan sempoyongan akibat rasa kantuknya. Melihat cucunya itu sudah masuk ke dalam rumahnya, Sang Kakek tersenyum damai. Kemudian ia mendongak, matanya menerawang. Pemandangan jalanan desa langsung menyapa inderanya. Punggungnya ia sandarkan ke dinding di teras. "Iblis yang Kakek kenal ... sangat baik." Sebuah kalimat mengalun dari bibirnya. Kalimat yang bertautan dengan ingatannya di masa lalu. Dulu, ia pernah hampir mati karena kakinya dipatuk ular, kemudian ia ditolong oleh sesosok Iblis. Hanya berkat satu sentuhan, tangan Iblis itu dapat dengan mudah mengeluarkan bisa ular dan menyembuhkan luka. Ia akhirnya selamat, dan dapat kembali pulang ke rumahnya. Namun sejak saat itu, ia tidak pernah melihat Iblis itu lagi. Bahkan di usianya yang menjelang senja, ingatannya samar tentang rupa Iblis itu. Yang ia tahu, Iblis itu memiliki senyum teduh dan berwajah menawan. *** "Nindy Camelia!" "Hadir, Bu!" Seorang guru tengah mengabsen satu per satu muridnya di dalam hutan. Kacamatanya ia turunkan begitu menatap siswi yang barusan mengangkat tangan begitu namanya dipanggil. Kemudian guru itu kembali menaikkan kacamatanya dan mencentang nama yang sudah hadir. Segera kembali memanggil nama lain. "Sstt ... sstt ... Gue gak bawa Kotak P3K " Sebuah bisikan terdengar di dekat telinganya. Nindy menoleh dan mendapati rekan satu regunya tengah menatapnya panik. "Gue lupa," bisiknya lagi. Nindy mendelik kaget. "Kenapa bisa lupa?" tanya Nindy dengan bisikan yang tak kalah lirih. Ia jelas ikut panik begitu mendengar temannya mengatakan hal itu. Temannya yang ber-nametag Ghina Puspita itu hanya menggelengkan kepalanya sembari mencebik bibir. "Habis deh gue." Melupakan Kotak P3K di tengah ujian Palang Merah Remaja di dalam hutan ini bagaikan ingin berperang tanpa membawa senjata. Kotak P3K adalah hal yang sangat penting bagi seorang anggota PMR, dan Ghina baru saja melupakannya. Nindy tidak habis pikir. "Nah, setelah ini kalian bisa ikuti intruksi dari Kakak-kakak PMI, ya." Sang guru berkacamata itu kembali berseru. "Ada yang tidak membawa Kotak P3K?" tanyanya sembari mengedarkan tatapannya ke dua puluh murid SMP yang berseragam putih itu. Mereka serempak bersitatap. Sebelum diadakannya ujian hari ini, seluruh anggota PMR SMP HARAPAN telah memperoleh izin dari sekolah untuk mengadakan ujian di dalam hutan. Tujuannya yaitu ingin memberikan gambaran nyata terkait peristiwa penyelamatan darurat di hutan. Murid SMP yang ikut ujian hari ini juga bukan murid kelas satu, melainkan kelas tiga yang sebentar lagi akan menginjak jenjang sekolah menengah atas. Sehingga para guru sengaja memberikan edukasi terkait kehidupan PMR yang lebih keras lagi, yaitu ketika beradaptasi di PMR Wira. Guru yang menjadi pembimbing tim PMR sejak minggu lalu sudah mewanti-wanti untuk anggotanya menyiapkan kotak P3K masing-masing regu. Jadi akan sangat keterlaluan jika sampai ada regu yang tidak membawa kotak P3K. Nindy menyenggol lengan Ghina. Ia melihat Ghina yang sejak tadi cemas melebihi dirinya. Namun tanpa adanya kotak P3K itu regunya tidak bisa berbuat apa-apa. Maka harus ada yang berani berkata jujur dan meminjam kotak milik guru, daripada tidak membawa apapun ke dalam hutan nanti. Sebagai ketua regu, Nindy akhirnya memberanikan diri mengangkat tangan. "Regu kami lupa membawanya, Bu." Hening. Nindy menelan ludahnya susah payah saat semua tatapan tertuju padanya. Ia sangat malu saat ini. Guru berkacamata sekaligus pembimbingnya itu menggelengkan kepalanya. Kemudian mendecakkan lidah berulang kali. "Ketua regu Temulawak silakan maju mengambil kotak P3K cadangan." Nindy maju ke depan dan dengan malunya mengambil salah satu kotak P3K milik guru, berikutnya ia kembali berbaris di regunya. "Nah, semuanya, kalian sudah bisa masuk ke dalam hutan sekarang, ya. Sesuai urutan yang sudah diambil tadi, jangan lupa untuk terus bersama kelompok kalian nanti. Jangan sampai tersesat!" Guru itu kembali berseru. Disusul seruan senang para murid yang mulai memasuki hutan. *** Di dalam hutan terdapat dua pos misi penyelamatan. Pos pertama berisi misi penyelamatan korban bencana alam, sedangkan pos kedua berisi misi penyelamatan korban terkaman binatang buas. Mereka bergerombol mendatangi pos yang menurut mereka paling mudah terlebih dahulu, baru berikutnya menuju pos yang susah. Regu yang diketuai Nindy pada akhirnya masuk ke dalam hutan setelah regu lain berhasil menyelesaikan misinya dan keluar dari hutan tanpa tersesat. Regunya pertama kali mendatangi pos berisi korban bencana alam, dan dengan cekatan mengobati lukanya. Tim dari Palang Merah Indonesia yang menilai mereka. Penilaian meliputi keterampilan, kecakapan, ketanggapan, dan ketenangan. Bagi regu yang panik atau tidak menyelesaikan misi penyelamatan dengan baik, maka harus mengulang lagi dari awal. Itu artinya mereka harus kembali memasuki hutan dari awal. Dua siswa di regu Nindy segera membantu memandu orang yang memiliki luka parah di bagian kaki. Berikutnya, mereka bergegas mengobati luka dan membalutnya. Tugas Nindy sendiri yaitu pembalut luka dengan Ghina. Dua siswa teman seregu Nindy yang lain yaitu Aryo dan Ergi, mereka bertugas mengangkat beban yang berat. "Silakan bisa diluruskan lututnya." Nindy memberi intruksi. Korban itu menurutinya. Kemudian tim PMI segera memberi penilaian saat Nindy dan Ghina mulai membersihkan luka, mengolesi salep dan obat merah, dan membalutnya dengan perban. Semua mereka lakukan dengan baik, sampai ke pos kedua. Regu Nindy berhasil menyelesaikan misi penyelamatan dengan baik. Mereka bergegas kembali menyusuri hutan dengan mengikuti petunjuk jalan yang tertera di batang pohon. Kali ini Aryo dan Ergi yang memimpin jalannya. Mereka menyusuri jalanan berliku dan bebatuan, dan harus berjalan perlahan saat mendekati tepi jurang. Mereka sangat berhati-hati dan terus menjaga keseimbangan langkah mereka supaya tidak terpeleset. Bisa gawat kalau sampai jatuh ke jurang yang dalam itu. "Lo kok bisa sampai lupa buat bawa Kotak P3K sih, Na?" Aryo memulai pembicaraan. Ghina yang memandangi punggung Aryo hanya mendengus. "Gue 'kan udah bilang kalau gue lupa," katanya. Aryo kali ini membalik badannya hingga kedua cewek di belakangnya ikut menghentikan langkah. Mereka terkejut menatap wajah memerah Aryo. "Lo 'kan yang dikasih tugas buat bawa kotak itu." Aryo berkacak pinggang. Kemudian cowok itu memajukan tubuhnya seolah menantang Ghina. Bahkan tangannya kini sudah mendorong-dorong Ghina membuat cewek itu geram. "Eh, gak usah dorong-dorong, dong!" Ghina ikut tersulut emosi. Cewek itu gantian mendorong bahu Aryo. "Eh udah dong jangan berantem!" Nindy melerai keduanya. Tangannya ia kibas-kibaskan di depan wajah kedua temannya itu. "Lebih baik kita cepat keluar dari hutan ini," sambungnya lagi sembari meraih pergelangan tangan Ghina. Namun tiba-tiba saja Ghina menepis tangan Nindy. Hal itu membuat Nindy tersentak kaget. Ghina dan Aryo masih bertengkar dan masing mendorong tubuh karena tersulut emosi. Nindy yang melihat kedua temannya makin intens bertengkar itu kini mulai melangkah mendekat dan berdiri di tengah-tengah keduanya. "Udah dong jangan berantem!" Ergi bukannya membantu melerai, malah hanya asik menonton saja. Nindy kesal sendiri melihatnya. Saat tangan Ghina hendak mendorong Aryo lagi, Nindy menghalanginya. Hal itu membuat Ghina geram dan tak sengaja telah menghempas tubuh Nindy kuat-kuat hingga terdorong ke samping. Kaki cewek itu tergelincir dan membuat tubuhnya tak seimbang. Nindy pada akhirnya tak bisa meraih apapun untuk menghalangi tubuhnya yang terjun ke dalam jurang. "Nindy!" Mata Nindy terpejam rapat-rapat. Ia ketakutan dan tak berani melihat apa yang terjadi pada dirinya. Ia merasakan tubuhnya melayang karena terjun ke dasar jurang. Suara jeritan teman-temannya sudah tak terdengar lagi di telinganya. Nindy masih memejamkan mata. Pasti sebentar lagi dirinya akan kesakitan akibat tubuhnya yang bertubrukan dengan tanah. Nindy sudah siap-siap merasakan sakit yang akan dihadapinya nanti. Ia terus merapal doa dalam hati dengan putus asa. "Aku ingin hidup!" jeritnya dalam hati. Nindy merasakan ada yang aneh. Sekian lama ia memejam mata, namun tubuhnya tak kunjung menghantam tanah. Karena penasaran, ia membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya yaitu sesosok pria yang tengah menggendongnya sembari melayang di udara. "Tunggu! Apa aku udah mati?" Nindy kembali berseru dalam hati. Ia melihat dirinya sendiri yang ada dalam gendongan pria itu turun perlahan ke dasar jurang, dan krash, ia mendengar tapak kaki pria itu akhirnya menyentuh tanah di bawahnya. Pria itu kini menatapnya. Tanpa ada senyum sedikitpun. Nindy berusaha mencerna apa yang barusan terjadi. Matanya mengerjap berulang kali menatap balik pria itu. Dirinya baru saja diselamatkan oleh pria itu? "Lebih baik kamu turun." Pria itu akhirnya membuka suaranya. Hal itu membuyarkan lamunan Nindy. "Terima kasih," ucap Nindy sembari turun dari gendongan kemudian menapakkan kakinya ke atas tanah. Pria itu akhirnya tersenyum mendengar kalimat yang keluar dari bibir Nindy. Senyum yang sangat indah. Hingga rasanya membuat Nindy tersihir. Kemudian tanpa mengucap kata apapun lagi, pria itu menghilang dari pandangannya. Meninggalkan Nindy seorang diri yang terpaku menatap kepergian pria itu. "Kurasa ... yang Kakek ceritakan tentang Iblis itu ada benarnya." Nindy tersenyum memandang punggung pria itu yang makin menjauh. Kemudian ia tersadar saat beberapa orang tim regunya, dan Tim PMI berlarian ke arahnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN