Taxi warna biru yang membawa Levine berhenti tepat di depan rumah berlantai dua yang cukup megah. Levine segera keluar setelah membayar tagihan. Melangkah menuju teras, lalu menekan bel yang ada di samping pintu. Ini sudah malam, pasti dua penghuni rumah juga sudah tidur. Kembali tangannya menekan bel, lebih sering, berkesan tak sabaran.
Sekitar sepuluh menit, Levine menghentikan menekan bel karena sudah mendengar langkah kaki yang mendekat. Lalu pintu terbuka, memperlihatkan Bayu dan Vera yang berdiri di dalam sana.
“Vin,” sapa Bayu, menatap anak lelakinya yang langsung ngeloyor masuk ke dalam. Kedua orang itu menatap luar rumah, tentu mencari teman Levine pulang. “Sabina mana?” tanyanya setelah tak menemukan siapa pun.
“Di rumahnya,” jawab Levine jutek.
Bayu dan Vera saling tatap, bertanya-tanya tentunya. Mereka ini pengantin yang terhitung masih baru. Memang sudah sebulan, tetapi tetap saja pengantin baru. Belum ada setahun. Bayu mengejar langkah Levine sementara Vera kembali menutup dan mengunci pintu depan.
“Kamu bertengkar sama Sabina?” tanya Bayu, menatap punggung yang sudah akan menaiki anak tangga.
Terlihat kedua bahu Levine yang melemah, lalu anak itu menoleh. “Enggak,” jawabnya singkat. Kembali melanjutkan langkah menaiki undakan tangga.
Vera mencekal lengan Bayu, sama-sama menatap Levine yang sudah menghilang di lantai dua sana. “Levine kenapa, mas?”
Bayu menggeleng, melingkarkan tangannya ke pinggang Vera. “Coba kamu chat Sabina, tanyain, apa mereka marahan?”
Vera mengangguk, lalu berbarengan masuk ke dalam kamar mereka berdua.
Di lantai atas sana, Levine masuk ke kamar Lala. Karena memang sejak dari rumah Sabina tadi, di pikirannya udah pengen banget rebahin tubuh di kasur berseprai kuning dengan motif bunga ini. Mirip anak yang dapat barang baru, Levine tersenyum kesenengen dan langsung masuk menjatuhkan tubuh ke kasur. Menarik selimut sampai menutupi leher, lalu miring, memeluk guling dan memejamkan mata.
Pukul 3.30am
Levine mulai tak bisa tidur nyenyak. Perutnya terasa perih karena sejak sore memang belum ada makanan yang masuk. Ditambah makanan yang dia makan pas siang sudah dimuntahkan tadi di rumah Sabina.
Cowok ganteng ini membuka mata, mendesah panjang merasakan tubuhnya yang lemes dan terasa sangat tak nyaman banget. Kepalanya dipenuhi oleh bayangan beberapa makanan yang bisa membuat nafsu makannya membaik.
Dengan begitu malas Levine menyibak selimut, lalu turun dan melangkah keluar kamar. Pelan ia menuruni anak tangga, menajamkan penglihatan karena keadaan yang gelap. Tangannya terulur, mengetuk pintu kamar papanya.
Menunggu sedikit lama, baru pintu itu terbuka. Menampilkan Bayu yang tak memakai baju, hanya celana kolor saja yang menutup bagian pentingnya.
“Vin, ada apa?” tanyanya yang tentu heran. Ini untuk pertama kalinya Levine mengetuk kamar setelah dia menikahi Vera.
Levine mendesah, mengalihkan tatapan karena dia sudah emosi. Nggak perlu dijelaskan, dia tau pasti tadi malam papanya sedang main tangkring-tangkringan sama Vera. “Vera mana?”
Kedua mata Bayu mendekik mendengar siapa yang sekarang Levine cari. Dan ya, ini juga pertama kalinya Levine nyari istri keduanya. “Uumm, masih tidur. Ada perlu apa memangnya?”
Levine mengelus perut. “Suruh masakin sayur jagung. Aku lapar.”
“Hah?!” pekik Bayu dengan begitu terkejut.
“Suruh cepetan. Aku lapar banget.” Dan tanpa peduli dengan kekagetan papanya, Levine melangkah pergi. Menjatuhkan tubuh ke sofa yang ada di depan teve, tiduran di sana.
“Ada apa, mas?” tanya Vera yang tak bisa lagi untuk tidur. Dia mengambil bajunya yang tergeletak di atas meja, lalu memakainya.
“Bayu menggaruk pelipis, masih dalam mode bingung dengan sikap Levine yang jauh berbeda.
“Mas, kenapa?” tanya Vera setelah tubuhnya tertutup baju.
“Itu, sayang,” jawab Bayu, menuding ke arah luar kamar sana. “Levine katanya lapar. Dia minta kamu masakin sekarang.”
Vera terdiam sebentar, lalu turun dari ranjang. “Makanan tadi malam masih ada. Biar aku hangatkan untuknya.” Lalu melangkah keluar dari kamar.
“Vin,” seru Vera, menatap Levine yang sekarang mencetin remote teve. “Ayam semur yang semalam masih ada banyak. Mama—maksudnya … aku hangatin dulu.” dia paham Levine nggak suka memiliki mama pengganti seperti dia.
Levine melirik sengit. Sungguh demi apa pun, dia sebenarnya sangat malam melibatkan Vera dalam hidupnya. Tapi entah kenapa untuk sekarang ini dia sangat ingin makan masakan hasil tangan Vera. “Aku pengen makan sayur jagung campur bayam. Aku nggak mau makan ayam.”
Vera yang hampir masuk ke dapur itu menoleh. Sedikit melotot karena terkejut mendengar Levine yang mau berbicara panjang dan memintanya untuk membuatkan makanan. “Oh, uumm … aku lihat bahan di kulkas dulu.”
Dengan keadaan yang masih bingung, Vera melangkah ke arah kulkas. Membuka kulkas dan mencari bayam serta jagung yang Levine mau. Cukup lega, karena ternyata dua bahan itu masih ada. Tanpa mengatakan apa pun Vera langsung ke dapur. meletakkan semua itu ke pantry dan mulai mengupas jagung manisnya.
‘Lama banget aku nggak pernah masak sayur jagung begini. Terakhir masak waktu Lala masih tinggal di sini, karna dia memang paling suka sayur jagung.’ Batin Vera sembari tangannya sibuk memetik daun bayam.
**
Algi keluar kamar dengan tangan yang mengacak rambut. Rambutnya masih sedikit basah karna dia belum lama selesai mandi. Langsung duduk di karpet samping kakaknya dan menidurkan kepala ke pangkuan Melati. Melati berdesis pelan, karna memang biasanya Algi seperti ini.
“Cengar-cengir, abis ketemu Lala,” ucap Melati, menggoda adiknya.
Algi jadi tertawa kecil, mengambil kue kering yang menjadi camilan Melati. “Kak Yunus kapan pulang?” menanyakan kakak iparnya yang memang jarang pulang.
“Katanya dua hari lagi pulang. Mau lama di rumah, ambil cuti dua minggu. Soalnya libur selama beberapa bulan lalu nggak diambil,” jawabnya disela mengunyah camilan.
Algi langsung bangun, menatap wajah Melati yang ada kemiripan dengannya itu cukup lekat. Membuat Melati berhenti mengunyah dan mentonyor kening adiknya.
“Kamu ngapain, Al?” tanyanya dengan wajah kesal.
“Kak, aku mau nikahin Lala,” ngomongnya tiba-tiba.
Kedua mata Melati melotot mendengar kalimat pendek yang cukup mengejutkan itu. Tapi detik kemudian dia menghela nafas dan memilih menatap ke arah layar teve di depan sana. “Kuliah aja baru masuk sebulan, udah berani mau nikahin anak orang,” jawab Melati cuek. “Kuliah dulu yang bener, Al. Kalau kamu udah mampu cari kerjaan yang gajinya bisa buat hidupi Lala, baru mikirin nikah. Coba kamu ngomong sama papa, pasti diketawain.”
Algi mendesah kasar. “Tapi aku serius, kak. Aku mau nikahin Lala dalam waktu dekat ini.”
Sekarang Melati yang mendesah kasar, kelihatan tak setuju dengan apa yang Algi ingin lakukan. “Al, nikah itu—”
“Lala udah hamil, kak,” ucapnya, memotong kalimat yang akan Melati katakan.
Kedua mata Melati benar-benar melotot dengan mulut yang mengaga. Kalimatnya memang pendek, tapi arti dari kalimat itu sungguh bisa merubah semuanya. Dia tau adiknya bukan lelaki sempurna baik, tetapi … kakak mana yang bisa santai saat tau adiknya ngebuntingin anak gadis orang?
“Kamu udah separah itu?!” tanya Melati dengan suara tinggi, terlihat kalau marah.
Tak mengatakan apa pun, Algi hanya menjawabnya dengan anggukan.
Plaak!
Lalu memejamkan mata saat tangan Melati mendarat di wajahnya. Rasa panas dari tangan itu menjalar ke seluruh permukaan kulit. Algi menunduk, berusaha menutupi kebohongannya.
“Ya Allah … Astaghfirullah ….” Melati menyugar rambut, menekan dadanya yang berdebar lebih cepat.
Dia dan Algi hanya dua bersaudara. Dia pun tau jika adiknya ini pernah mengenal yang namanya club malam, mabuk sampai kolaps. Tetapi untuk hal keji seperti itu, sama sekali tak pernah ia bayangkan. Berkali, berulang kali selalu mengingatkan Algi untuk menahan nafsu sebelum dia menikah. Menyuruhnya untuk menjaga gadis yang ingin dia seriusi. Mendukung hubungannya dengan Lala karna sejak kenal Lala, adiknya menjadi lebih baik. meninggalkan club dan alkohol. Nilai pelajarannya juga menjadi lebih bagus, tapi … sekarang?
“Aku nggak tau apa yang akan papa lakukan saat tau semua ini, Al,” ucap Melati, terdengar pasrah. Menoleh, menatap wajah adiknya yang memang tampan. “Coba aja bilang ke papa. Aku nggak mau ikut campur.” Lalu Melati beranjak, melangkah pergi entah menuju kemana.
Algi menarik nafas dalam, membuangnya dengan sangat pelan. Menyugar rambutnya yang sudah memanjang. Dia tau pasti papa dan mamanya akan sangat marah mendengar pengakuan palsunya. Tetapi … jujur ngomong apa adanya, pasti mereka nggak akan setuju.
“Apa kamu bilang?!” tanya papa Algi dengan membentak.
“Jangan, pa,” mama Algi mencekal lengan suami saat hampir melayangkan tinjunya ke wajah Algi. “Algi sudah besar, jangan main tangan.” Wanita yang masih saja terlihat cantik ini menggeleng, menatap wajah suaminya dengan teduh. Berharap kemarahan itu sedikit mereda.
Monica—mama Algi—menatap anak lelakinya dengan serius. “Al, kamu sadar dengan apa yang sudah kamu lakukan ini?”
Algi menunduk, tak berani menatap wajah kedua orang tuanya yang tentu sangat kecewa padanya. Pelan kepalanya mengangguk ragu dengan kedua tangan yang mengepal.
“Maafin aku, pa, ma. Aku nggak bisa jagain Algi dengan baik,” ucap Melati yang juga tak tega melihat kekecewaan di wajah kedua orang tuanya.
Monica mengelus lengan suaminya, tak ingin jika anaknya mendapatkan luka pukul dari emosi yang selalu tak bisa Verlan reda.
Pelan Algi mengangkat kepala, memberanikan menatap wajah Verlan dan Monica. “Maaf ….” Ucapnya tertahan. ‘Maaf karna harus bohong dan bikin kalian semua kecewa. Maafin aku, ma, pa, kak ….’ Lanjutnya dalam hati.
“Semua sudah terjadi, nggak bisa lagi direvisi.” Monica menoleh, melirik wajah Verlan yang masih memerah. “Nggak ada pilihan lain selain menikahkan kalian, kamu dan Lala.”
**
Vera tersenyum menatap layar ponselnya yang berkedip, ada nama ‘Sahla’ di layar itu. Jarinya menggesel tombol berwarna hijau, lalu menempelkan benda itu ke kuping.
“Hallo,” sapanya.
“Hallo, ma,” jawab Lala di seberang sana.
“Ada apa, La? Kamu sehat, kan?” tanya Vera, mulai menghentikan kegiatannya mengupas bumbu.
“Sehat, ma. Uumm, mama lagi apa?”
“Belum lama pulang dari beli sayuran.”
“Masak apa, ma?” tanya Lala, basa-basi.
“Mama goreng ikan gurameh sama bikin sayur jagung kesukaan kamu itu.”
Terdengar tawa kecil dari Lala. “Tumben mama masak sayur jagung. Katanya mama nggak suka, kan? Papa Bayu juga nggak suka.”
Vera ikut tertawa, apa lagi mengingat Levine yang tiga hari ini mulai terlihat manja dengannya. Senang tentunya, karna selama menikah dengan Bayu, mendekati Levine adalah hal yang paling sulit. “Levine baru sakit, La.”
“Kak Levine sakit apa?” suara Lala terdengar begitu terkejut.
“Mama juga nggak tau, tapi sepertinya lambungnya bermasalah. Dia muntah kalo makan nasi atau makan masakan selain masakannya mama. Itu juga Cuma sayur jagung saja, yang lainnya nggak mau.”
“Kok bisa?”
Vera mengedikkan kedua bahu. “Mama juga nggak tau. Sekarang Levine lebih sering di rumah sini. Dia nggak bisa tidur kalau di rumah istrinya. Levine sekarang agak kurusan karna sering muntah-muntah. Mirip banget sama ibu yang lagi hamil muda.” Lalu Vera tertawa kecil. “Jadi inget pas mama dulu lagi hamil kamu, La. Mama juga muntah-muntah terus, sampai lemes nggak kuat ngapa-ngapain. Ya … mirip banget sama Levine begitu.”
Di seberang sana, Lala menggigit bibir dengan tangan yang mengelus perut. Dia nggak mengalami muntah-muntah apa karna Levine yang menanggungnya? Sepeka ini kah ikatan bayi dalam perutnya dengan Levine, ayah dari bayi ini?
“Eh, apa Sabina hamil ya, La? Makanya yang muntah-muntah Levine?” lanjutan kalimat yang Vera lontarkan membuat Lala terbangun dari lamunan.
“Uumm, memangnya bisa begitu ya, ma?”
Vera mengangguk, seakan anaknya bisa melihat anggukan itu. “Bisa. Banyak kok yang seperti itu. Istrinya yang hamil tapi suaminya yang ngidam. Bahkan waktu istrinya mau lahiran pun, yang ngerasain sakit kontraksi si suami.”
“Uumm, ma,” ucap Lala kemudian, terdengar ragu. “Besok tiga hari lagi aku … aku pulang.”
Lalu senyum di bibir Vera terbit sangat lebar.
“Tapi sama tante Vani dan nenek.” Lanjut Lala berucap.
Kening Vera berlipat mendengar lanjutan kalimat itu.
“Enggak apa-apa, kan, ma?” tanya Lala, meminta persetujuan.
“Memangnya … ada apa, La? Kenapa nenek dan Vani juga ikut ke Jakarta?” bukannya melarang, tetapi dia heran, karna keluarga almarhum suaminya itu tak memiliki tujuan di Jakarta sini.
“Besok aku akan jelasin kalau kita sudah sampai di rumah.” jwab Lala, membuat Vera semakin bertanya-tanya.