Tidak hanya bercerita tentang masa transisinya ke keluarga Wangsadipraja, Nagara juga menjelaskan pada Antika beberapa hal tentang sistem kampus dan yayasan keluarga mereka. Ia menyebutkan daftar kegiatan yang akan datang, termasuk inagurasi besar yang biasanya diadakan di akhir semester awal dan meski Antika tidak mengikuti masa orientasi, ia akan tetap diwajibkan hadir.
“Soal kelompok, nanti saya minta bantuan kepala prodi supaya kamu bisa dimasukkan bersama orang yang sudah kamu kenal,” ucap Nagara sambil memutar kemudi perlahan.
Antika, yang duduk di kursi penumpang depan, menguap kecil. “Ada sih beberapa anak yang kemarin nongkrong sama aku. Paling sama mereka aja, Om.”
“Iya. Kamu bilang saja siapa namanya, biar nanti lebih nyaman juga. Inagurasinya kemungkinan di Yogyakarta.”
“Hmmm…” Antika menatap keluar jendela, menyandarkan dagunya di telapak tangan. “Besok juga aku mau main sama mereka.”
“Siapa namanya?”
“Nanti aja, lagian mereka anak-anak baik. Gak akan bikin masalah.”
“I hope so.”
Mereka tak banyak bicara setelah itu. Hanya suara mesin dan desiran angin yang mengisi ruang hening di antara mereka. Jakarta menjelang malam tampak berkilau, lampu-lampu kendaraan memantul di kaca depan mobil, sementara Antika sesekali menguap, lelah tapi enggan tertidur.
Ketika mobil akhirnya berhenti di halaman rumah, jam hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Elise sepertinya belum juga pulang. Mereka berdua berjalan bersama menuju lantai tiga dalam keheningan. Antika tidak peduli, dia hanya ingin merebahkan tubuhnya, dia lumayan lelah hari ini.
“Selamat malam,” ucap Nagara tiba-tiba.
Antika menoleh. “Malam, Om.”
Tak lebih dari itu. Ia lalu berjalan kembali di koridor dan masuk ke kamarnya, sementara pikirannya diam-diam menilai, ternyata gak seburuk itu dia.
Dan malam itu Antika tidur tanpa mimpi hingga pagi datang dengan sinar keemasan menembus tirai kamarnya. Antika bangun sedikit kesiangan, lalu turun dengan rambut masih lembap dan kemeja oversize yang menutupi lututnya.
Begitu menjejak lantai marmer di ruang bawah, aroma roti panggang dan kopi menyambutnya.
Ia berhenti di ambang ruang makan dan di sana, seperti biasa, Nagara sudah duduk di ujung meja. Pria itu berpakaian rapi, kemeja biru muda, dasi longgar di leher, satu tangan memegang iPad, tangan lainnya menggenggam sendok kecil di atas cangkir kopi.
Antika malas makan, jadi dia memilih melangkah menuju pintu keluar.
“Duduk. Sarapan dulu.” Hingga suara itu menghentikan langkahnya, bahkan Antika belum sampai ke pintu utama. “Kamu dengar apa yang saya bilang, Antika. Kemari, sarapan dulu.”
“Aku gak lapar, Om.”
“Makan dulu, mulai pagi dengan perut terisi.”
“Suka-suka aku aja, ‘kan?”
Kali ini Nagara menurunkan iPad-nya, menatap Antika dengan mata tajam tapi tanpa emosi.
“Antika, kalau kamu ingin otakmu bekerja dengan baik, kamu perlu energi. Energi datang dari makanan. Saya tidak ingin dosen-dosen nanti mengeluh kalau mahasiswa baru yang juga keponakan saya pingsan di kelas karena belum sarapan.”
“Mereka gak tahu tuh kalau aku keponakan Om.”
“Astaga, Antika.”
Nada suaranya begitu datar, tapi penuh tekanan halus yang membuat Antika mendengus kesal.
Ia menatap kursi di seberang Nagara lalu mendecak. “Fine.” Langkahnya terdengar pelan di lantai, sebelum akhirnya ia duduk dan menyambar roti di piring.
“Kamu terbiasa melewatkan sarapan?”
Antika mengangkat bahu. “Biasanya juga gitu dari dulu.”
“Dari dulu?”
“Dari rumah. Papa sibuk, Mama juga. Jadi ya… aku makan kalau ingat aja.”
Hening. Untuk sesaat, hanya terdengar suara pisau mentega di atas piring. “Kamu tidak boleh membiarkan diri kamu terbiasa seperti itu.”
“Kenapa?” Antika memotong roti di piringnya dengan garpu. “Lagipula gak ada yang peduli aku makan atau enggak.”
“Saya peduli, makannya saya minta kamu buat makan. Ayok, habiskan semuanya.”
Antika terdiam. Ucapan itu sederhana, tapi membuat dadanya terasa aneh, hangat sekaligus berat. Ia berdeham, berpura-pura tidak terpengaruh, lalu meminum jus jeruknya.
“Om suka ngatur banget ya,” katanya datar, menutupi kegugupannya.
“Saya tidak mengatur. Saya mendidik.”
“Beda tipis, Om.”
“Tipis, tapi penting,” balas Nagara tenang, meneguk kopinya.
Pagi itu, sinar matahari menerobos kaca, memantulkan warna keemasan di rambut Antika yang bergoyang pelan tertiup angin. Di ujung meja, Nagara menatapnya sekali lagi dalam diam, anak ini perlu perhatian setelah Nagara mengetahui betapa mengenaskannya Antika di London.
Dan Antika, meski tidak mau mengakuinya, merasakan detik itu berbeda. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa… senang diberi perhatian.
****
Lingkaran pertemanan baru membawa Antika ke tempat yang tidak ia sangka akan membuatnya nyaman, ia dibawa sebuah bengkel di kawasan Tebet. Bengkel itu bukan sekadar ruang berisi oli dan suara mesin, tapi semacam markas bagi anak-anak teknik yang doyan eksperimen. Bau bensin bercampur udara sore yang hangat, sementara dari radio kecil di sudut ruangan, terdengar lagu lawas Sheila on 7 mengisi celah di antara denting logam dan tawa.
Antika duduk di kursi kayu, rambutnya diikat asal, tangannya lincah memutar baut kecil pada mesin yang sedang dibongkar.
“Serius lo pernah balapan liar di sirkuit gila itu?” seru Banyu, matanya melebar.
“Pernah lah. Tapi cuma sekali… atau dua kali.”
“Cuma?”
Antika mengangkat alis. “Di sana, orang-orangnya gila, Raf. Balapan di terowongan, di bawah jembatan, bahkan pas jam hujan. Sekali salah belok, nyawa lo melayang. Gak sebanding sama adrenalin yang lo dapet.”
“Makanya jangan kejebak lagi di sana,” sahut Cici. “Kita boleh gila sama mesin, tapi jangan sampai lupa ngerem.”
Waktu berjalan cepat tanpa terasa. Matahari bergeser, menurunkan bayangan panjang dari atap seng bengkel. “Hei, An, sopir lo kesini tuh. Udah waktunya pulang,” seru Cici.
Antika menoleh. “Loh masih sore.” Ia berdiri dan melangkah pada sang sopir yang melangkah mendekat ke bengkel. “Kenapa, Mang? Masih sore juga.”
“Um, iya, Non.”
“Kenapa? ada apa?” desak Antika.
“Anak saya… kecelakaan, sekarang dibawa ke Rumah Sakit. Kalau boleh, saya melihat keadaannya dulu sekarang. Boleh, Non?”
“Yaudah pergi aja, gak usah balik lagi. nanti pesen taksi aja.”
“Aduh, Non, nggak bisa begitu. Saya yang tanggung jawab anter Non pulang. Nanti kalo Pak Nagara marah—”
“Dia gak akan marah, tenang aja,” potong Antika cepat. “Sana, pergi aja.”
“Makasih ya, Non.” Pria tua itu bergegas pergi.
Dan Antika kembali larut dalam mesin-mesin itu. Canda tawa memenuhi bengkel yang kini hanya diterangi lampu neon. Tangannya hitam oleh oli, tapi matanya berbinar, ia tampak lebih hidup di sini dibanding di rumah megah yang sepi itu.
Setelah lelah, mereka makan sambil duduk di lantai, piring seadanya, minum dari gelas plastik. Lagu-lagu dari radio tua menggema lembut, dan Antika merasa aneh sebab sudah lama ia tidak tertawa seperti ini, tanpa berpikir siapa yang akan menilai, tanpa merasa harus membuktikan apa pun.
Waktu berjalan cepat. Jam digital di dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Angin malam menyelinap lewat pintu yang setengah terbuka.
“An, lo gak pulang? Udah jam sebelas, lho,” kata Cici sambil melirik jam tangannya.
Antika masih duduk santai di kursinya, menggigit sisa cireng. “Gue bebas, Ci. Lagian gak ada yang peduli juga gue di mana.”
“Ya tapi tetep aja, ini udah malam. Sopir lo biasanya gak bisa ditinggal lama.”
“Dia kan gak ada sekarang,” jawab Antika malas.
Membuat Rafi tertawa, “Hahaha, sopir doang yang peduli sama lo?”
Baru saja Cici mau menimpali, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari arah depan bengkel. Banyu muncul dengan napas memburu, wajahnya tegang. “Anjir, kalian semua harus denger ini!” serunya sambil menahan napas.
“Apa sih?” Rafi bangkit separuh berdiri.
“Gue barusan di depan. Ada mobil hitam berhenti. Pengemudinya nanya… ‘di sini ada mahasiswa bernama Antika?’”
“Terus?” Tanya Cici.
“Orang yang nanya itu Pak Rektor kita, anjir! Pak Nagara! Dia kesini nyari si Antika!”