Di Antara Batas dan Hasrat

1955 Kata
Antika terbangun dari lelapnya. Cahaya matahari sudah menembus tirai kamarnya, membiaskan warna keemasan di dinding krem dan permukaan meja rias. Jam digital di nakas menunjukkan pukul tujuh lewat dua belas menit. Ia meregangkan tubuh pelan, menguap kecil sebelum akhirnya bangkit menuju kamar mandi. Air dingin membasuh wajahnya, menyadarkan pikirannya yang masih terjebak di antara mimpi dan kenyataan. Sudah beberapa hari berlalu sejak malam badai di hotel itu, tapi semua yang terjadi masih terasa hangat di ingatan. Sejak saat itu stiap malam, tanpa pernah lupa, Nagara selalu masuk diam-diam ke kamarnya. Hanya beberapa menit, sekadar membetulkan selimut, mengusap lembut rambutnya, lalu keluar lagi tanpa sepatah kata pun. Hal-hal kecil itu begitu tenang, tapi di d**a Antika, setiap gerakan kecil itu bergema lama. Mereka kini lebih sering menghabiskan waktu bersama. Kadang di perpustakaan, di mana Nagara memperkenalkannya pada buku-buku ekonomi dan bisnis yang rumit tapi menarik, kadang di kafe kecil yang sepi, berbicara tentang hal-hal ringan sambil menatap senja. Elise masih belum pulang, dan entah kenapa, kepergian itu membuat ruang di rumah terasa lebih lapang bagi mereka berdua. “Ayok makan diluar saja, dirumah terasa terlalu luas. Sembari saya ingin memperlihatkan beberapa potensi usaha yang bisa diambil alih Yayasan nantinya.” “Antika, kalau ada apa-apa, kamu harus bercerita pada saya. Oke? Jangan pernah memendam semuanya sendirian.” “Fokus saja kembangkan diri kamu disini. Jangan pedulikan apapun. Dan jika kamu menyukai hal diluar mata kuliah utama, jangan lupa beritahu saya, supaya kitab isa kembangkan bersama bakat itu, ya?” Bagi Nagara, mungkin semua itu hanya bentuk perhatian seorang paman pada keponakannya. Tapi bagi Antika itu lebih dari sekadar kebiasaan baru. Itu rasa yang tumbuh pelan, lembut tapi pasti. Ia belum pernah merasa sebahagia ini. Tidak ada teriakan, tidak ada perbandingan, hanya suara tawa dan kenyamanan sederhana. Ia takut dengan perasaan yang muncul diam-diam itu… tapi bukankah ini wajar? Lagipula, Nagara bukan paman kandungnya. Ia diangkat oleh keluarga Wangsadipraja, dan darah mereka tak pernah sama. Dengan pikiran yang berputar, Antika menatap pantulan dirinya di cermin dan untuk alasan yang bahkan tidak ingin ia akui, ia mengenakan gaun selutut berwarna krem, memoles pipinya dengan blush lembut, dan menata rambutnya seperti Elise. Mungkin karena pagi ini, ia ingin satu hal saja agar mata Nagara, sekali saja, terpaku padanya. “Wah, pagi ini lebih segar dan cantik,” suara Nagara terdengar dari arah ruang makan begitu Antika menuruni tangga. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan lengan tergulung, duduk santai di meja panjang yang sudah tertata rapi. Tatapannya terangkat, dan senyum tipisnya muncul begitu melihat keponakannya mendekat. “Pasti tidak sabar kuliah, ya?” Antika mendengus kecil, berusaha menyembunyikan gugupnya di balik sikap jutek khasnya. “Apasih kayak gak ada kerjaan banget liatin aku.” Nagara terkekeh pelan. “Gak usah aneh-aneh. Diem, aku mau sarapan.” “Silakan, Nona Antika,” ujarnya ringan sambil menepuk kursi di sebelahnya. Di meja makan, sudah tersusun beragam hidangan dari omelet keju, roti panggang dengan selai stroberi, salad buah, dan kopi s**u yang aromanya menggoda. Nagara menatapnya sekilas lalu berkata, “Kamu harus makan yang banyak. Hari ini jadwalmu padat dari pagi sampai sore. Kalau gak sarapan dengan benar, nanti bisa sakit.” “Iya astaga,” balas Antika malas, tapi ia menuruti juga. Ia makan dengan lahap, menikmati tiap suapan, sesekali melirik Nagara yang sibuk menyesap kopi sambil membuka tablet dan membaca laporan Yayasan. Topik pembicaraan mereka pun meluas. Nagara mulai bercerita tentang kondisi Yayasan yang sedang menyiapkan program beasiswa baru, juga rencana ekspansi kerja sama kampus. Antika mengangguk sekadarnya, separuh mendengarkan, separuh sibuk memotong roti panggang di piringnya “Hari ini kamu berangkat sama saya.” Antika menoleh, mengerutkan kening. “Lho? Kenapa emang? Sopirku sakit ‘kah?” “Ada toko kue baru yang buka di jalan yang nanti kita lewati,” jawab Nagara santai sambil meneguk kopi terakhirnya. “Namanya Maison du Lune. Katanya viral bahkan sebelum buka. Saya pikir… sekalian mampir. Kamu pasti suka.” “Ah! Iya aku tau. Itu yang viral di t****k? Yang desainnya kayak toko kue Paris itu?” Nagara mengangguk ringan. “Ya, itu.” Antika tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di wajahnya. Dengan begitu, Antika membawa banyak kue ke kampus dan akan ia bagikan pada teman-temannya. **** “Beneran lo udah bilang, ‘kan, sama Om lo? Soal mau ngerjain tugas sama persyaratan buat Inagurasi?” tanya Cici sambil memasukkan buku ke dalam tote bagnya. Suara ribut mahasiswa lain memenuhi ruangan yang mulai sepi sore itu, langit di luar berwarna oranye muda. Antika mengangguk pelan. “Udah. Tadi pagi malah dia yang nyuruh beresin semua sebelum besok, jadi gak papa kalau gue pulang larut dari tempat lo.” “Oh gitu…” Cici meliriknya dengan senyum usil. “Trus, lo pulangnya gimana? Sopir lo kan biasa nunggu tuh. Males kalau dia nanti minta lo mendadak pulang.” “Gue suruh pulang. Lo aja yang nganterin, kan lo katanya pengen anterin gue pulang,” jawab Antika datar sambil menutup laptopnya. Cici langsung bersorak kecil. “Yesss! Akhirnya gue bisa liat rumahnya Pak Rektor!” “Cici…” Antika menghela napas, memelototinya. “Inget ya, dia udah punya istri.” “Yaelah, gue cuma mau liat rumahnya doang, bukan mau rebut suami orang.” Cici terkekeh, mengibas rambutnya. “Lagipula, siapa sih yang gak kagum sama beliau? Aura-nya tuh beda banget. Dingin, elegan, tapi bikin penasaran. Gue sampe mikir, kalo dia bukan rektor, dia pasti CEO perusahaan internasional.” Antika hanya mendengus sambil berdiri. “Lo tuh emang parah.” Cici menarik tangan sahabatnya menuju parkiran. “Udah, buruan. Sebelum sore keburu gelap.” Begitu masuk mobil, Cici langsung menyalakan mesin dan melaju pelan keluar gerbang kampus. Sore itu langit mulai menggelap, awan tipis menutup matahari, jalanan dipenuhi suara klakson dan cahaya lampu kendaraan. “Eh, si Fani sama Juno katanya lagi beli bahan buat Inagurasi di toko alat kampus. Lo udah kirim list yang kita butuhin ‘kan?” tanya Cici sambil menatap jalan. “Udah,” jawab Antika pelan, pandangannya menatap keluar jendela. Cici melirik sekilas. “Lo kenapa sih hari ini kayak lesu banget? Biasanya bawel.” “Enggak apa-apa.” “Ah bohong lo. Nih ya, gue kasih taun kalau lo pendam-pendam perasaan gitu, nanti bisa mati muda lo. Serius, banyak yang stres gara-gara ngumpet-ngumpet galau.” Antika memejamkan mata, menarik napas panjang. “Ci, sumpah, lo bisa diem gak bentar?” “Enggak bisa sebelum lo cerita!” Cici menatapnya curiga. “Ada apa emangnya? Lo ribut sama Om lo? Atau—” “Gue punya perasaan aneh sama Om gue.” Cici spontan membanting setir ke tepi jalan dan menginjak rem mendadak. “ASTAGA! Cici gila lo ya?! Mau mati, hah?!” Antika menjerit, memegangi d**a yang berdebar kencang. Cici tak menggubris. Ia memutar tubuhnya, menatap Antika dengan tatapan tak percaya. “Tunggu, tunggu. Maksud lo... aneh tuh aneh gimana? Jangan bilang lo naksir sama paman lo sendiri?” Antika diam beberapa detik. “Jawab, anjirrr!” Lalu, dengan suara nyaris tak terdengar, ia mengangguk pelan. “Kayaknya iya, gue suka sama dia.” Cici ternganga beberapa detik sebelum akhirnya menepuk setir kuat-kuat sambil berteriak, “GUE TAU! GUE UDAH CURIGA! GILA, GAK ADA YANG BISA LOLOS DARI PESONANYA PAK NAGARA!” “Cici! Berisik!” Antika menatap kesal, wajahnya memerah. Tapi Cici malah tertawa sampai air matanya keluar. “Ya Tuhan, Antika jatuh cinta sama pamannya sendiri! Ini tuh kayak drama Korea! Tapi versi elite Jakarta!” “Gue serius!” Antika membentak, tapi nada suaranya lebih terdengar seperti panik daripada marah. Cici menoleh lagi dengan wajah geli. “Lo sadar gak, lo bakal cinta bertepuk sebelah tangan? Dia paman lo ya, Tolol.” “Dia bukan paman kandung gue, Ci.” Cici spontan menegakkan tubuh. “APA?!” “Dia anak angkat Eyang gue. Jadi, ya... gak sedarah.” Cici menatapnya dengan mata membulat seperti bola pingpong. “Lo becanda kan?!” “Enggak, sumpah. Lo bisa berhenti teriak gak sih?” Antika memijat pelipisnya, suara napasnya pelan tapi dalam. “Gue cuma bilang fakta aja. Nagara itu anak angkat, bukan anak kandung Eyang.” Cici masih mematung, mencoba mencerna ucapan sahabatnya. Hening sesaat di dalam mobil, hanya suara lalu lintas sore yang terdengar samar dari luar kaca. Ia memutar bola mata pelan, lalu menatap Antika dengan ekspresi campur aduk. “Terus…,” ujarnya akhirnya, suaranya pelan tapi sarat keingintahuan, “bini-nya dia tuh masih jarang pulang? Masih ngelantarin Om lo itu?” “Iya. Hampir dua minggu gak pulang. Kadang malam-malam gue denger dia ribut di telepon. Nadanya selalu tenang, tapi... lo tau kan gimana rasanya denger seseorang yang lagi nahan kecewa? Gue kasihan aja.” Cici mengangguk pelan, lalu Antika melanjutkan suaranya lebih lirih. “Gue juga pernah... ngeliat dia sendirian di lagi... nyolo saking kesepiannya.” “Anjir?” “Iya, dia juga pernah mabuk parah waku itu.” “Terus apa?” Antika menelan ludah, jemarinya saling menggenggam di pangkuan. “Dia nyium gue. Tapi dia lagi mabuk, Ci. Dia kira gue Elise. Tapi sejak itu, dia gak lagi nyentuh minuman dan bilang mau buktiin jadi Om yang baik. jadilah sering jalan, main keluar dan saling berbagi hari.” Beberapa detik sunyi. Cici menatap kosong ke depan, tanpa suara, seakan pikirannya mogok total. “Ci?” Antika mengguncang bahu sahabatnya. “Lo kenapa diem gitu? Jangan bikin gue tambah panik.” Cici menghela napas panjang, tangannya memegang setir erat. “Gila, ini udah di level sinetron prime time, An. Lo sadar gak, ini rumit banget?” “Gue tau,” Antika menunduk. “Tapi gue juga gak bisa pura-pura gak ngerasain apa-apa. Gue belum pernah dapet kasih sayang dari orangtua gue, Ci. Dari kecil gue selalu dibedain. Pitaloka selalu dapet semuanya dari perhatian, pujian, bahkan kasih sayang yang harusnya juga gue dapet. Nagara datang pas gue lagi ngerasa sendirian. Dia dengerin gue, dia nyemangatin, dia bikin gue ngerasa ada. Dan anehnya… gue ngerasa hangat tiap deket dia. Gue gak pernah jatuh cinta sebelumnya, tapi sekarang…. rasanya kayak gini.” Cici diam cukup lama, bibirnya bergerak tapi tak ada suara keluar. Antika memutar tubuhnya, merengek kecil. “Ci, ngomong dong, jangan diem mulu. Gue jadi ngerasa salah banget nih.” “Oke… kalau gitu, gue bakal bantu lo.” “Hah? Bantu gue? Maksud lo… gimana?” Cici kembali memutar kunci mobil, mesin menyala halus. “Tenang aja, gue punya cara. Tapi lo harus ketemu nyokap gue dulu.” “Buat apa?” “Nyokap gue punya banyak pengalaman,” jawab Cici dengan nada misterius. “Dia ngerti gimana caranya dapetin hati laki-laki. Anggep aja ini… ilmu warisan keluarga.” Mobil melaju pelan menyusuri jalanan yang mulai gelap. Antika memeluk tasnya, menatap heran ke arah Cici yang tampak terlalu tenang. “Ci, kita gak ke tempat kumpul kelompok dulu?” “Nanti aja,” jawab Cici cepat. “Yang penting lo ketemu nyokap gue dulu. Lo bakal butuh arahan dari dia.” Setelah sekitar sepuluh puluh menit berkendara, mobil mereka berhenti di depan sebuah bangunan tinggi dengan papan bertuliskan “Eden Lounge & Bar.” Lampunya belum menyala penuh, tapi sudah tampak jelas tempat itu bukan sekadar restoran biasa. Antika menatap bingung. “Ci… ini kenapa malah ke klub malam?” Cici terkekeh, membuka sabuk pengamannya. “Karena ini tempat kerja nyokap gue. Dia pemilik sekaligus ratu di sini.” Ia menoleh dengan senyum lebar. “Dan percaya sama gue, dia punya lebih banyak trik daripada buku psikologi cinta mana pun.” Sebelum Antika sempat protes, Cici sudah keluar dari mobil dan menarik tangan sahabatnya. “Ayo, calon murid cinta. Lo bakal dapet pelajaran yang gak diajarin di kampus mana pun.” “Ci…” “Nyokap gue udah ajarin puluhan cewek sampe mereka punya Sugar Daddy," ucap Cici dengan senang
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN