Bab 14. Semerbak Mawar

1349 Kata
Memaksakan hasrat adalah mustahil. Tak memiliki daya untuk melawan realita. Membohongi hati hanyalah konyol yang sia-sia. Dan pada akhirnya aku terjebak pada simalakama. *** Perjalanan jauh akhirnya bisa ditempuh oleh Zoya dengan ditemani cuaca mendung yang kembali menyelimuti. Hembusan angin kencang menyambutnya ketika turun dari mobil sehingga Zoya perlu membenarkan jas dokter yang dikenakan. Ia menarik napas panjang seraya menatap bangunan kokoh yang sebentar lagi akan ia masuki. Entah sudah terlalu tidak sabar atau bagaimana, Zoya merasa jantungnya berdetak sangat kencang saat ini. “Dokter Zoya, ayo. Kita tidak bisa berlama-lama disini, takut akan terjadi badai dan kita akan kesusahan pulang.” Salah satu teman Dokter Zoya yang bernama Felly menegur, wanita yang memakai kacamata itu tampak was-was melihat hawa sekeliling yang dinilai sunyi dan suram. Zoya mengangguk mengiyakan, segera melangkah masuk ke dalam gedung. Ia pun merasa tak sabar untuk segera menuntaskan rasa penasaran yang setiap detik begitu menyiksa. Rasa rindu yang sudah seperti derita berkepanjangan dan tak pernah menemukan obat untuk menyembuhkannya. “Bu Dokter?” Kepala penjara pastinya kebingungan melihat kedatangan Zoya, mungkin merasa tidak ada laporan. “Siang Pak, Dimas.” Zoya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan beliau. Mengulas senyum ramah..“Maaf atas kedatangan saya yang terlalu mendadak. Kami diutus untuk meminta salinan data nama tahanan yang ada disini guna memastikan jumlah vaksin yang akan diberikan nanti tidak kurang,” jelas Zoya yang sudah mencari alasan paling masuk akal. “Loh bukannya waktu itu Sapta sudah memberikan pada dinas kesehatan?” Zoya tersenyum tipis menutupi rasa resah yang tiba-tiba mendera. Matanya bergulir ke arah Felly mengatakan wanita itu harus segera mencari alasan lain namun sepertinya Felly tak cukup bisa untuk diandalkan. “Oh sudah ya, apa Dokter Maya lupa? Beliau yang menyuruh saya memintanya,” kata Zoya tertawa kecil. “Jika Dokter Zoya menginginkannya saya bisa memberikan lagi salinan itu. Sudah jauh-jauh juga 'kan?” Kepala penjara itu balas tersenyum tipis kepada Zoya dengan tatapan mata yang cukup nakal. Memperhatikan Zoya dari atas sampai bawah. “Ah iya jika tidak merepotkan.” Zoya kembali tersenyum meski matanya menyiratkan kejijikan. “Kebetulan juga teman saya ini ingin study kasus tentang kehidupan di Penjara. Apakah kami bisa masuk untuk melihat-lihat sembari Bapak menyiapkan salinan datanya?” Zoya segera menyuarakan keinginannya tanpa membuang waktu. Terang saja Zoya sudah paham penjara ini sangat sulit ditembus. Ia tidak bisa dengan gamblang mengatakan ingin bertemu tahanan atau membesuk. Semua sudah ada prosedurnya dan ia sangat yakin kepala polisi di sini tidak akan memberikan akses mudah. Mungkin dengan sedikit sogokan bisa namun Zoya mencoba dengan cara yang lebih alami agar terkesan tidak disengaja. “Bisa, tapi jangan ke wilayah selatan ya. Di sana para tahanan yang cukup berbahaya. Mungkin bisa mengecek saat semua tahanan makan siang nanti.” Hembusan napas lega akhirnya terdengar pada bibir Zoya ketika akhirnya mendapatkan izin. Ia mengucapkan terima kasih basa-basi lali diantar salah seorang sipir untuk masuk ke wilayah para tahanan di kurung. Beberapa terlihat ada yang berkeliaran di halaman luar, beberapa juga ada yang duduk-duduk sambil menikmati rokok. Sekilas melihat mereka tidak begitu berbahaya namun jika mengingat pemberontakan kemarin rasanya begitu mengerikan. “Wilayah selatan itu di sana 'kan?” Felly tiba-tiba menunjuk ke salah satu bangunan yang terpisah dengan bangunan yang dipijak. Ada sebuah lorong panjang yang mengharuskan dilewati jika ingin masuk ke wilayah itu. “Heem.” “Seram sekali, siapa yang tahan tinggal di tempat seperti ini?” Zoya tidak menjawab, namun pandangannya terpaku pada bangunan itu. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, melihat beberapa sipir berlalu lalang. “Nona sebentar lagi para tahanan akan makan siang. Jika ingin melihat Anda bisa ke ruangan sana agar lebih aman.” Sipir yang menemani keduanya mengarahkan keduanya untuk ke ruangan khusus lain. Rungan itu berupa dapur dan tempat penyimpanan bahan makanan yang dibatasi kaca besar untuk memantau aktivitas di kantin para tahanan. Semua makanan yang tampak sangat tidak menyelerakan telah siap lalu diletakkan di depan. Hal itu memudahkan para tahanan untuk mengambil makanan nantinya. Zoya menatap makanan itu dengan miris, makanan itu bahkan bisa disebut tak layak. Bagaimana seseorang bisa bertahan hidup di tempat seperti ini? Beberapa waktu kemudian pintu gerbang kantin dibuka, para tahanan dengan wajah bengis itu masuk. Zoya menajamkan pandangannya menatap satu persatu wajah itu dengan harapan bisa menemukan wajah dingin yang ia rindukan. Vicenzo. *** Raut wajah Enzo begitu bengis akhir-akhir ini, setelah keluar dari sel tikus sialan Enzo akhirnya terang-terangan menunjukkan kekuasaan di sana. Ia diam namun matanya berbicara, kini para tahanan yang selnya berdekatan dengan Enzo seperti tunduk dengannya karena mereka tahu kepada siapa seharusnya mereka berpihak. Saat jam makan siang Enzo dipersilahkan pergi terlebih dulu, bahkan dibukakan jalan oleh para-para tikus penjilat yang ingin berlindung dibawah kekuasaannya. Enzo melangkah lebar-lebar tanpa melirik para manusia yang ada di sana. Sejujurnya ia pun sudah sangat muak dengan tempat sialan ini. Begitu banyak orang yang ingin membebaskannya, tetapi Enzo menolaknya mentah-mentah. Selain ingin menuntaskan masa tahanan selama 10 tahun Enzo menahan hasrat gila ingin merebut Zoya dari sisi Matthias begitu pun keluarganya. Ia yakin, sekali saja ia melangkahkan kaki keluar dari penjara ini ia akan mendekati Zoya lagi dan kemungkinan besar ia akan melukainya. Enzo mengutuk keinginan bodohnya yang beberapa waktu lalu ingin bertemu dengan Zoya tanpa berpikir kemungkinan besar wanita itu akan sangat membencinya. Lagipula perusahaan pun sudah ditangani oleh Luke, jika pun ia keluar nanti tidak akan ada yang berubah. Para kolega setia juga mendukung Enzo untuk keluar namun sekali lagi ia menegaskan, ia tidak akan keluar untuk mengisolasi dirinya sendiri. Sesampainya di kantin Enzo seperti biasa, mengambil makan seperlunya lalu duduk tenang di salah satu kursi. Entah perasaannya saja atau bagaimana namun ia merasa ada sepasang mata yang menatapnya. * Mata Zoya tak mampu menahan air mata saat melihat sosok pria tinggi yang kini duduk memakan makann siangnya dengan tenang. Di antara riuhnya para tahanan pria itu duduk tenang seolah tak terganggu sama sekali. Bibirnya gemetar dengan langkah kaki yang ingin sekali mendekat namun Zoya menahannya. Ingin menikmati memandang wajah dingin itu lebih lama lagi. Kali ini ia tak yakin jika hanya mirip, karena wajah itu benar-benar wajah pria yang kerap hadir dalam mimpinya. Tatapan matanya yang sendu itu adalah tatapan mata yang sangat ia ingat. “Itu memang dia ... ” lirih Zoya tak mampu menahan air matanya lagi. Awalnya masih ragu, namun kali ini Zoya sangat yakin setelah melihat gelang yang sama dengan gelang yang dipakai melingkar di tangan tahanan itu. Yang membedakan gelang itu dipakai di tangan sebelah kanan. Kini Zoya yakin, benar-benar yakin jika itu memang pria itu Zoya memerhatikan keseluruhan diri Enzo yang sekarang. Masih tinggi seperti yang ia ingat namun terlihat cukup kurus dengan kulit yang sangat pucat. Rambutnya yang hitam kini berganti warna karena mungkin dicat. Lengan-lengannya yang kokoh masih terlihat namun kini dihiasi dengan beberapa bekas luka seperti garukan. Mungkin karena digigit nyamuk atau serangga lainnya. Zoya begitu miris, 4 tahun apakah selama ini Enzo mendekam di sana? Tak mampu lagi menahan perasaan rindu yang menggila kaki Zoya mendekat tanpa sadar. Melewati dinding-dinding kaca yang menjadi pembatas antara ruangan yang ia tempati dengan ruang makan para tahanan. “Nona, Anda ingin ke mana?” Seorang sipir menahan langkah Zoya. “Sebaiknya tetap disini untuk keamanan Anda.” Zoya menatap sipir itu cukup tajam lalu mendorong bahu sipir itu dengan tajam. “Tugasmu menjagaku disini.” Tanpa mempedulikan larangan itu Zoya segera melangkah mendekat melewati meja-meja yang penuh dengan tahanan dan aktivitasnya. Semakin langkah Zoya dekat semakin keras pula debaran jantungnya, bibirnya sudah gemetar menahan tangis saat akhirnya sudah sampai di depan pria itu. Ia melihat pria itu makan dengan cepat tak peduli apa lauk yang ada di piringnya. Zoya sampai bingung harus mengatakan apa, begitu banyak untaian kata rindu yang ingin ia sampaikan namun lidahnya seperti kelu. Ia memberanikan diri mendekat, duduk di depan kursi kosong di hadapan pria itu tanpa peduli banyak pasang mata yang menatapnya. Enzo awalnya tak peduli dengan sosok yang duduk di depannya, fokus dengan makanan yang ingin segera ditelan. Namun, semerbak mawar yang begitu harum itu seperti menarik hatinya untuk mengangkat wajah hingga dikejutkan dengan pemandangan yang tak disangka-sangka. “Cassandra ...” Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN