Ke Rumah Axel

1010 Kata
Axel mendekati Alina, meraih tangannya, menggenggam tangan mungil itu erat, memberikan kekuatan pada Alina yang masih takut bertemu ibunya Axel. Axel yang menggenggam tangan Alina tidak merasakan perasaan apapun, begitu juga dengan Alina, bagi mereka pacaran hari ini semuanya sandiwara. "Ingat jangan panggil Bos, panggil nama atau apalah terserah," bisik Axel di telinga Alina. "Ayo, Lin, kita temui Mamaku," kata Axel dengan tatapan lembut. Kalau saja Alina tidak memikirkan hal lain, bisa saja dia jatuh hati hanya karena melihat Axel menatapnya. "Iya, Bos, eh, Pak, eh, Mas," kata Alina bingung karena tidak terbiasa memanggil bosnya dengan panggilan lain. "Ma, kenalin pacar aku, namanya Alina, dia kerja di salah satu gerai kopiku," kata Axel memperkenalkan Alina pada Bu Gina—mamanya. "Alina, namanya yang cantik, orangnya juga cantik, imut, Mama suka sekali." Alina meraih tangan ibunya Axel lalu menciumnya. "Iya, saya Alina, tante. Tante boleh panggil saya Alin, Lina atau Lin saja, terserah Tante saja," ucap Alina masih dengan perasaan gugup. "Ayo masuk, Lin. Tante panggil kamu Lin aja, ya. Sini kita langsung ke meja makan saja. Tante masak sesuatu yang enak buat makan malam. Kamu pasti sudah lapar kan?" ajak Bu Gina masuk rumah. Alina berdecak kagum melihat isi rumah orang tua Axel. Walaupun dulu Alina pernah hidup berkecukupan, tetapi rumahnya masih kalah besar dan mewah daripada rumah orang tua Axel. Dia bisa membayangkan betapa kaya raya keluarga Axel. Kursi-kursi yang dipakai adalah kursi impor. Lampu gantung yang gemerlap menghiasi ruang tamu, ruang tengah hingga ruang makan dengan ruangan yang luas. Axel menarik salah satu kursi di meja maka untuk Alina, memintanya duduk di sana, lalu Axel duduk di sebelah kanan Alina. Bu Gina duduk di seberang di depan Axel. "Axel kok enggak pernah cerita punya pacar cantik kaya gini? Sudah berapa lama pacaran, Lin?" tanya Bu Gina. "Baru kok, Tante. Sekitar lima bulan kan, Mas?" Alina menoleh pada Axel, untung saja dia sudah ada jawabannya. "Alina kan baru jadi karyawan, jadi kenalan sebentar langsung pacaran," kata Axel menambahkan. "Anak zaman sekarang itu enggak perlu pacaran lama-lama, kalau sudah cocok langsung nikah aja, gimana Xel, kamu kapan mau ngelamar Alina?" tanya Bu Gina yang membuat Alina terkejut. "Ya, kalau Alina siap, Axel siap melamar kapan saja, Ma. Iya kan, Sayang? Tapi Alina kayaknya masih mau kerja dulu," jawab Axel menoleh pada Alina. Jika saya Axel pacar sungguhan, mungkin Alina akan bahagia karena akan diajak menikah. Tapi karena hanya pacar sandiwara, maka Alina bersikap biasa saja. "Lin, kalau Axel sudah cinta sama kamu, terus kamu juga cinta sama dia, segera nikah. Apalagi yang ditunggu, kamu bisa berhenti kerja, jadi ibu rumah tangga kaya Tante, nanti di rumah Tante ada kamu yang nemenin. Alina hanya bisa menelan ludah. Dia hanya seorang pacar bohongan sulit baginya untuk mengganggap ucapan Bu Gina dengan serius. "Iya, Tante. Saya pikir-pikir dulu," jawab Alina dengan perasaan tidak enak. "Yuk, makan dulu. Lin, piringnya kasih ke Tante." Alina menurut, memberikan piring pada ibunya Axel. Piring Alina disini nasi dan lauk oleh Bu Gina. Lalu diberikan pada Alina. "Terima kasih, Tante." Axel menaruh ayam goreng di piring Alina, "Makan yang banyak ya, Sayang." Ingin rasanya Alina terbang karena dipanggil sayang oleh bosnya. Namun, dia pastikan bahwa semuanya hanya sandiwara, jadi tidak perlu terbawa perasaan. "Iya, Mas." jawab Alina pendek. Alina makan dengan lahap hingga menarik perhatian Axel dan ibunya. Mereka merasa senang melihat Alina makan dengan lahap. "Lin, tambah ya makannya," kata ibunya Axel sambil menaruh seiris daging seumur di piringnya. "Makasih, Tante. Saya jadi enggak enak diambilkan terus sama Tante." "Enggak apa-apa, Tante suka lihat kamu makan, berarti masakan Tante enak." "Masakan Tante enak, enak banget, Tan," puji Alina. Selesai makan malam, Axel mengantar Alina pulang ke rumahnya. Alina pamit pada Bu Gina. Axel mengantar Alina dengan mobil miliknya. Malam ini dia harus mengantar Alina sampai ke depan rumah. Axel mengajak Alina masuk ke mobil. Setelah memastikan Alina memasang seat belt, dia melajukan mobil ke jalanan. Axel meminta Alina memberikan petunjuk ke arah rumahnya. Selama perjalanan, Alina hanya memperhatikan jalanan, belum terbersit keinginan untuk mengajak bosnya mengobrol. "Besok datang ke ruangan saya jam 9. Sebenarnya besok bukan jadwal saya ke outlet tempat kamu kerja, tapi karena saya sudah janji, jadi saya sempatkan ke sana. Kapan jatuh tempo kamu harus bayar utang itu?" kata Axel membuka pembicaraan. "Mereka datang lagi lusa, Bos. Katanya begitu." "Ok. Besok saya transfer uangnya, atau kamu mau cash? Tapi kalau mau cash, saya bisa ngasih sore, sebelum kamu pulang, atau mau saya antar pulang sekalian?" ucap Axel menawarkan tumpangan. "Hmm ... boleh deh, Bos," jawab Alina setuju, dia pikir kalau dia membawa yang dalam jumlah besar seorang diri, dia juga takut. "Ok," jawan Axel pendek. "Bos, enggak tanya jumlah yang saya butuhkan berapa?" "Oh iya kamu butuh berapa?" "50 juta, Bos," ucap Alina sambil menunduk. "Tidak masalah. Tetap temui saya di pagi hari, dan sore saya berikan uangnya." "Baik, Bos. Oh ya, kita berhenti di depan saja, rumah saya masuk gang itu, Bos. Bos antar sampai sini saja, saya bisa jalan sendiri ke rumah," kata Alina sambil mengambil paper bag yang berisi baju lamanya. "Saya antar sampai depan rumah, ya." "Enggak usah, Bos. Saya enggak enak. Terima kasih sudah mengantar saya, maaf kalau merepotkan, Bos." Axel meminggirkan mobilnya. Alina keluar setelah mobil berhenti. Axel juga ikut keluar dari mobil. "Bos mau ngapain?" tanya Alina melihat bosnya keluar dari mobil juga. "Mau nganter kamu dong. Ini sudah malam, kalau ada apa-apa sama kamu gimana?" kata Axel mengkhawatirkan Alina. "Saya sudah biasa, Bos. Ini kan sudah deket ke rumah saya. Biasanya juga aman." "Sudah. Biar saya antara. Kamu jalan duluan, saya jalan di belakang kamu." "Tapi, Bos ...." "Sudah, jalan saja," ujar Axel meminta Alina diam dan berjalan pulang ke rumahnya. Sebenarnya Alina malu jika Axel melihat keadaan rumah kontrakannya yang biasa saja. Jika dibandingkan dengan rumah milik orang tua Axel, rumah kontrakannya sangat kecil. Alina juga merasa canggung berada dekat dengan Axel, karena bagi Alina Axel itu seperti langit yang sulit dijangkau, sedangkan dia hanyalah makhluk di bumi. Perbedaan mereka sangat jauh. Sehingga dia tidak pernah bermimpi bisa sedekat itu dengan Bosnya sendiri yakni Axel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN