Pingsan

1301 Kata
Prang! Saking tidak konsentrasi mengaduk teh ditambah pertanyaan Heru, membuat Nawa memecahkan gelas dan mengenai kakinya. “Enggaklah, Pak. Aku selalu jaga diri, kok.” Nawa berusaha agar suaranya tidak terdengar grogi. “Suara apa itu tadi?” “Oh, itu tetangga kos. Nggak tahu kenapa.” Nawa terpejam. Akhir-akhir ini ia banyak sekali berbohong. “Alhamdulillah. Kamu anak Bapak satu-satunya, jadi Bapak sangat takut kalau kamu sampai terpengaruh pergaulan bebas. Apalagi kamu ada di kota besar dan jauh dari Bapak. Bapak suka ketar-ketir Hati-hati. Ya sudah, sana istirahat.” “Iya. Bapak juga hati-hati, jaga kesehatan.” “Pasti. Bapak tunggu kepulanganmu. Hari Minggu nanti pulang, ya? Bapak mau nagih oleh-olehmu dari Bali itu. Sudah hampir sebulan, tapi belum dikasih juga.” Nawa tertawa. “Iya, Bapak.” Telepon pun diakhiri setelah saling bertukar salam. Nawa terduduk di kursi. Ia memijat kening sambil terpejam. Hamil? Satu kata yang menjadi momok setelah kejadian nahas malam itu. Jika sampai itu terjadi, pasti sang bapak akan membu*uhnya. Nawa bangkit, berjalan menuju kalender. Ia melihat jadwal menstruasi. Waktunya memang minggu-minggu ini dan ia belum datang bulan. Apa itu artinya? Nawa makin ketakutan. Ponsel Nawa kembali berdenting. Ia pun meraihnya. “Aku tunggu di gerbang. Keluarlah.” Pesan dari Brama. Nawa pun berjalan menuju pintu dan menyingkap sedikit gorden untuk melihat. Benar, ada Brama berdiri di gerbang. Ia pun mengabaikannya. Wanita berkerudung warna milo tersebut kembali ke dapur untuk membersihkan pecahan gelas tadi. Ponselnya kembali berbunyi. “Aku tahu kamu ada di dalam, tadi sempat mengintip dari balik gorden. Keluarlah, aku bawa makanan untukmu. Kalau nggak mau keluar, aku yang nekat masuk.” Sebuah pesan dari Brama kembali masuk. “Ck. Menyusahkan.” Nawa bergumam. “Iya, bentar.” Ia membalas. Nawa sebenarnya ingin menyendiri untuk saat ini. Namun, Brama si pria tidak mau kalah itu membuatnya harus keluar. Ia pun keluar dengan membawa hasil kekacauannya tadi dan dibuang di tempat sampah luar. “Apa itu?” tanya Brama. “Gelas pecah. Tadi niat bikin teh hangat, tapi malah tumpah, pecah.” “Kena kakimu?” “Iya, tapi nggak apa-apa.” “Aku mau ngajak kamu keluar nyari makan. Sekalian traktir kamu.” Nawa melotot. “Katanya tadi udah bawa makanan?” “Makanan dalam bentuk mentah. Uang.” “Nggak usah repot-repot, Mas Bra. Aku juga lagi males keluar. Nggak enak badan.” “Sekali ini saja, Nawa. Ayolah.” “Tapi–“ “Aku udah repot pesen taksi online juga, tuh. Apa kamu tega menolak? Apa kamu nggak kasihan sama aku?” Brama menunjuk mobil di seberang jalan. Nawa merasa mual. Namun, tidak enak juga menolak ajakan pria sangar ini. “Baiklah. Tapi jangan lama-lama.” “Siap.” “Aku ganti baju bentar.” “Nggak usah. Gini aja udah cantik.” Nawa mengerutkan kening, menatap Brama penuh selidik. “Maksudku, gini aja udah pantes. Lihat aku? Cuma celana pendek, kaus, sandal jepit.” Nawa menatap Brama dari atas ke bawah. Pria itu memang berpakaian biasa. Tubuh proporsional Brama cukup menjadi daya tarik. Namun, wajahnya menghancurkan daya tarik tersebut. “Iya iya. Aku ambil hape bentar.” Nawa masuk untuk mengambil jaket dan memakai masker. Tidak lupa dompet dan ponsel ke saku kulotnya. Keduanya langsung menuju mobil Land Cruiser milik Brama yang dikemudikan oleh Yadi. Mobil itu bukan taksi online. “Kita ke mana, Sir?” tanya Yadi. “Sir?” Nawa bergumam bingung. “Ehm!” Brama berdeham keras. “Maaf, salah panggil. Soalnya tadi pelanggan saya sebelumnya seorang bule, makanya saya panggil sir. Kita ke mana, Pak?” kilah Yadi. “Sesuai aplikasi. Ke Resto Warung Apung.” “Baik.” Kendaraan itu lalu membelah jalanan. “Kenapa pakai masker? Malu jalan sama pria jelek yang tompelan kayak aku?” tanya Brama. “Enggak, bukan gitu. Hanya saja entahlah. Kayak masuk angin. Perut terasa kembung, mual.” Brama hanya mengangguk. Beberapa saat kemudian, mereka sampai juga di tempat tujuan. Brama sudah memesan tempat sebelumnya, jadi tidak perlu bingung memilih tempat. “Keren tempatnya,” gumam Nawa sambil mengamati sekitar. Ia menurunkan maskernya. “Kamu mau pesan apa?” “Aku minuman hangat saja, Mas. Nggak usah makan.” “Kenapa? Takut kamu yang aku suruh bayar? Tenang, Nawa. Aku yang akan bayar.” “Bukan gitu, hanya nggak selera.” “Pokoknya aku pesankan makanan.” Brama memesan menu andalan di sana, gurame bumbu rujak dan kepiting soka telur asin. Ia tidak peduli Nawa menolak makan. Selagi menunggu pesanan, keduanya mengobrol. Begitu makanan datang, Nawa merasa mual saat mencium aromanya. Ia memakai kembali maskernya. “Ayo dimakan. Nggak usah sungkan.” Nawa menggeleng. Ia menahan diri agar tidak muntah di sana. “Ha.” Brama mengarahkan sesendok makanan ke mulut Nawa. Wanita itu menggeleng sambil tangannya terus menolak. “Mual, Mas.” “Dicoba dulu.” “Huek!” Beruntung hanya suaranya saja yang keluar. “Kamu ini kenapa? Aneh banget mual-mual nggak jelas. Kayak orang hamil saja.” Keduanya saling tatap untuk sesaat. Lalu, Nawa berdiri. "Aku ke kamar mandi bentar." “Ck, aku salah bicara.” Brama meletakkan sendoknya kasar. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja. “Tapi apa mungkin dia beneran hamil?” Pria rupawan yang bersembunyi di balik wajah buruk rupa itu menyunggingkan senyum. Ponsel di sakunya berdering. Yadi menelepon. “Sir, Nawa keluar dari resto.” “S*al! Ikuti dia.” Brama bangkit, menuju kasir. “Tapi Sir pulangnya bagaimana?” “Oke-oke, saya ke sana. Biar saya yang kejar dia.” Brama pun keluar resto setelah membayar makanan yang sama sekali belum disentuh. “Mana Nawa?” bentaknya pada Yadi. “Lari, Sir. Saya sudah kejar, manggil namanya, tapi dia keburu naik ojek.” “Go*lok kamu! Ayo kita cari!” Brama dan Yadi masuk mobil, lalu mencoba mengejar Nawa yang sudah jauh di depan. Sementara di belakang kemudi pengemudi ojek, Nawa menangis dalam diam. Ia takut, sungguh takut jika benar-benar hamil. Ia juga belum berani membeli testpack untuk memastikan. Ponsel di sakunya terus bergetar. Nawa tidak peduli. Ia ingin segera sampai di kos-kosan dan menumpahkan sesak di sana. Begitu tiba, Nawa langsung masuk setelah membayar ojek. Ia melempar tubuhnya pada kasur. Dipukulinya perut yang masih rata itu. “Enyah kamu dari rahimku! Jangan pernah berkembang di sana. Kumohon. Pergilah saja ke rahim wanita yang sudah lama menantikan anak, bukan rahim wanita tanpa suami sepertiku.” Nawa tersedu-sedu. Ia bahkan mengabaikan teriakan Brama sambil mengetuk pintu gerbang luar. ** Pagi harinya, Nawa tetap berangkat bekerja meskipun tubuhnya makin lemas dan perutnya makin menjadi mualnya. Jika biasanya berjalan, hari ini sengaja berangkat dengan naik ojek. Tiba di kantor, ia langsung menuju pantry untuk membuat minuman apa saja yang penting hangat. Tiba-tiba ada yang menyentuh lengannya. “Maaf untuk yang semalam meskipun aku nggak tahu salahku di mana. Nawa, kenapa kamu pergi gitu aja?” Nawa hanya menatap Brama sekilas. Ia mengabaikan pria itu, berjalan meninggalkan Brama. “Nawa. Apa ada kata-kataku yang menyakitimu?” Brama mengejar. Nawa menggeleng. “Aku lagi nggak pengen diganggu aja. Permisi, Mas.” Brama harus bekerja profesional. Ia kembali ke divisinya karena jam kerja sudah dimulai. Saat jam istirahat, Brama melihat Nawa berjalan menuju kamar mandi. Pria itu mengikuti. Di ruang lembap tersebut, Nawa muntah-muntah. Kebetulan pintu belum sempat ditutup oleh Nawa. “Dia pasti hamil. Apa ini saatnya aku membuka jati diriku?” Brama menahan senyum. “Akan ada Brama junior. Terdengar seru.” Saat kembali melihat Nawa, Brama tergemap. Nawa sudah terkulai tidak sadarkan diri di atas lantai. “Nawa!” Brama segera mendekat, lalu menggotongnya. “Tolong siapkan mobil!” teriak Brama sambil terus menggotong Nawa. ** Di rumah sakit, Nawa sadar setelah petugas medis melalukan tindakan. Ada Brama yang berdiri di samping ranjangnya. “Mas Brama? A-aku kenapa?” “Aku sekarang tahu alasan kenapa kamu marah ke aku gara-gara semalam. Kamu beneran hamil.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN