“Pisah?” tanya Brama memastikan. “Ya. Kita hidup di jalan masing-masing.” Nawa memutar posisi tidur. “Cerai maksudmu?” Brama kembali bertanya. Ia tertawa sumbang. “Ya.” Keduanya kini saling membelakangi. Nawa tidur membelakangi Brama. Sementara Brama ikut membelakangi. Pria itu memijat kening sambil menyembunyikan riak amarah. “Kenapa kamu minta pisah?” “Karena kamu sudah berubah! Aku capek tiap hari terus minta maaf, tapi kamu terus diam mengabaikanku. Mungkin itu juga kode halus darimu untukku kalau kamu sudah tidak menginginkanku lagi.” Suara Nawa terdengar bergetar, khas sedang memendam tangis. Jika biasanya Nawa jarang memanggil Brama dengan sebutan kamu, kini ia menggunakannya untuk menegaskan ia sedang marah besar. “Apa penyelesaian bertengkar harus dengan cara pisah?” Brama

