Luna merasa buntu. Ia kembali ke kamarnya, duduk di tepi ranjang dengan nafas berat. Hatinya kacau. Alaric sangat keras kepala, dan ia tidak punya banyak waktu. Pernikahannya dengan Liam akan berlangsung dalam hitungan hari. Luna berdiri, berjalan mondar-mandir di kamarnya sembari memutar otak, memikirkan cara terbaik untuk membatalkan pernikahannya dengan Liam di sisa waktu yang hanya sedikit ini. Tiba-tiba, ponsel Luna bergetar. Sebuah pesan dari Rafael. [Rafael: Aku sudah menemukan cara agar kita bisa bersama. Aku akan menjemputmu besok malam.] Jantung Luna berdegup kencang. Jemarinya membeku di atas layar ponselnya. Ia menggigit bibir, keraguan menyusupi dadanya tanpa ampun. Kedua matanya terkunci pada barisan huruf di layar ponselnya cukup lama. Hingga akhirnya, ia membalas pesan