“Harusnya kamu yang mati, bukan Anna!” Seorang wanita paruh baya tampak berseru marah, wajahnya bersimbah air mata.
“Ma, sudah, Ma.” Pria di sampingnya merengkuh tubuh si wanita, mencoba menenangkannya.
Di atas ranjang pasien, seorang wanita dengan banyak luka sayat dan memar di sekujur badannya tampak bergetar menahan emosi. Elaina, wanita itu menahan air matanya sekuat tenaga. Rasa sakit di tubuhnya tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya yang disebabkan oleh kalimat mamanya barusan.
Belum lagi fakta bahwa saudara kembarnya meninggal dalam kecelakaan yang sama dengannya, hati Ella terasa hancur lebur. Tapi tak ada yang peduli. Ia justru disalahkan atas kecelakaan ini.
“Anna itu punya banyak potensi. Dia model yang sedang naik daun, dia calon terbaik untuk memimpin perusahaan keluarga. Kenapa harus dia yang mati? Kenapa bukan kamu, Ella!?” Lydia, mama Ella itu berteriak pilu sambil menunjuk-nunjuk Ella.
Darius, papa Ella yang memeluk Lydia itu juga menatap Ella tajam. “Bagaimana kamu akan mempertanggungjawabkan kejadian ini, Ella? Adikmu mati karenamu!”
Ella masih bergeming. Ia menelan ludah berkali-kali, menelan gumpalan di kerongkongannya yang terasa menyesakkan. Bau anyir darah yang terkumpul di dalam mulutnya tidak ia pedulikan lagi. Hatinya terasa seperti disayat-sayat mendengar kalimat menyakitkan Lydia, pun karena fakta ia telah kehilangan saudara kembarnya.
“Ella nggak pernah mau kecelakaan ini terjadi, Pa,” lirihnya kemudian. Suaranya bergetar menahan tangis.
“Tapi sekarang semuanya sudah terjadi!” Lydia meledak. “Dan Anna mati karenamu, Ella! Kamu pembunuh!”
Darius mendekap tubuh Lydia erat, sang istri terisak hebat di dadanya.
“Aku bukan pembunuh, Pa, Ma.” Ella membela diri, tapi suaranya tidak cukup tegas untuk melawan tangis pilu Lydia.
“Kamu pembunuh!” Lydia berseru murka. Air matanya terus mengalir deras. “Kamu selalu iri sama adikmu, karena itu kamu merencanakan kecelakaan ini, iya kan?”
Ella menggeleng tegas. “Enggak, Ma, enggak. Seandainya tahu bakal begini, Ella nggak akan pernah ngajak Anna pergi, Ma.” Air mata Ella luruh, membasahi pipinya yang terdapat luka sayat akibat pecahan kaca mobil.
“Ini semua salah kamu, Ella! Kamu harus bertanggung jawab! Kamu harus mengembalikan Anna pada kami!” Lydia berteriak bak orang gila.
Darius mendekapnya semakin erat. “Sudah, Ma, sudah. Ayo kita urus jenazah Anna saja,” bisiknya lembut meski wajahnya terlihat mengeras.
Ella mencengkram selimut yang menutupi kakinya erat-erat. “Seandainya ada cara untuk mengembalikan Anna, seandainya ada cara untuk menukar nyawa Ella dengan Anna, Ella akan melakukannya, Ma,” lirihnya pilu, tapi juga penuh tekad.
Namun sayang, kalimat itu tak pernah sampai pada telinga Darius atau Lydia. Kedua orang tua Ella itu sudah berlalu dari hadapannya, mengurus jenazah Anna yang sulit diidentifikasi. Meninggalkan Ella menangis pilu seorang diri.
Ia juga sakit. Tubuhnya, hatinya, semuanya sakit. Ia juga sedih, tapi tak ada seorang pun yang peduli kecuali untuk menyalahkannya atas kecelakaan ini.
Raungan Lydia masih terdengar dari tempat Ella duduk di atas ranjang pasien. Tangisan itu terdengar sangat pilu, begitu menyakitkan, mengiris hati Ella semakin dalam.
Bagaimana tidak? Anak kesayangannya meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Beberapa jam lalu, tubuh Anna berhasil dikeluarkan dari mobil yang terbalik dan gosong karena ledakan api. Kondisi jasadnya sudah terbakar, wajahnya bahkan tak bisa lagi dikenali.
Ella yang terlempar dari mobil dan mendarat di tanah berumput berhasil lolos dari ledakan itu. Ia juga dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri. Tubuhnya dipenuhi luka sayat dan lebam. Tapi ia selamat, ia masih bernafas.
Rupanya, itu adalah kesalahan terbesar Ella. Harusnya ia yang mati menggantikan Anna.
***
Dua minggu setelah kecelakaan itu, Ella mengunjungi makam Anna. Bekas luka sayat dan lebam di tubuhnya masih terlihat samar. Wanita yang biasanya tampak anggun itu hari ini terlihat memikul beban berat. Wajahnya sendu dan dipenuhi rasa bersalah.
“Maafkan aku, Anna.” Ella berbisik lirih, suaranya terbawa angin senja. “Seandainya aku tahu akan terjadi hal buruk seperti ini, aku tidak akan pernah mengajakmu pergi.”
Dada Ella terasa nyeri. Kepergian Anna membawa luka menganga di hatinya. Ditambah dengan gunjingan orang-orang di sekitarnya yang menuduh Ella sengaja melakukan ini, membuat hidup Ella terasa semakin menyesakkan.
“Aku tidak pernah membencimu, An. Kamu saudaraku satu-satunya dan aku sangat menyayangimu.” Ella berjongkok, meletakkan karangan bunga di atas pusara dan mengusap lembut batu nisan bertuliskan nama Estiana.
Ponsel Ella berdering panjang saat air matanya kembali menetes. Ia buru-buru mengusap cairan hangat itu ketika melihat nama Darius di layar ponselnya.
“Di mana kamu?” Suara Darius sama sekali tidak terdengar hangat.
“Masih di makam Anna, Pa. Ada apa?”
“Kalau kamu sangat menyesali tindakanmu yang menyebabkan kematian adikmu, cepat pulang sekarang. Berdandanlah yang cantik, Alaric akan makan malam dengan kita malam ini. Pastikan dia setuju untuk menikah denganmu.”
Alaric adalah tunangan Anna, mereka berencana akan menikah bulan ini jika kecelakaan itu tidak terjadi. Demi menjaga kehormatan kedua keluarga, Darius berencana menjadikan Ella sebagai pengantin pengganti untuk Alaric.
Ella memejamkan mata, dadanya kembali terasa sesak. “Baik, Pa. Ella pulang sekarang,” jawabnya setelah ia menarik nafas dalam untuk menenangkan diri.
“Menikah dengan Alaric adalah satu-satunya hal berguna yang bisa kamu lakukan. Jadi pastikan kamu tidak merusak pertemuan makan malam ini,” ujar Darius tajam.
Lantas, tanpa menunggu respons dari Ella, ia memutus sambungan telepon sepihak. Meninggalkan Ella yang terpekur sendirian, meratapi nasibnya.
Namun, Ella yang sudah melewati banyak cobaan dalam hidupnya, tentu takkan melemah hanya karena ujian menyakitkan ini.
Maka ia bangkit dan melangkah keluar dari pemakaman dengan sebuah tekad baru.
***
Pertemuan makan malam itu hanya dihadiri Alaric seorang. Orang tua Alaric tidak bisa hadir karena sedang berada di luar negeri.
“Jadi kalian tetap mau melanjutkan rencana aliansi keluarga kita lewat pernikahan?” tanya Alaric datar. Ia bahkan tak mau repot-repot menatap Darius atau Lydia, atau Ella yang diam seperti tikus di ruang makan itu.
“Kita tidak bisa membatalkannya, Al. Undangan sudah disebar, tim produksi sudah siap.” Darius berpendapat.
Alaric masih menyantap makan malamnya dengan santai. Begitu selesai menelan makanan di mulutnya, ia mendongak. Tatapan dinginnya terkunci pada Ella.
“Dan aku harus menikah dengannya?” tanyanya dengan nada mengejek.
“Iya. Dia satu-satunya putriku sekarang,” jawab Darius. “Dengan menikahi Ella kamu punya akses penuh ke agensiku,” imbuhnya persuasif.
Alaric mendengus pendek, mencemooh. Ia bahkan tak malu-malu menatap Ella dari atas ke bawah. “Dia saudara kembar Anna, kan?”
“Betul. Dia kakak Anna karena lahir lima menit lebih dulu.” Lydia menjelaskan sambil tersenyum manis.
“Tapi dia kelihatan berbeda, ya?” Alaric memiringkan kepalanya, mengamati Ella lekat-lekat. “Anna ceria dan riang, kepribadiannya hangat dan mudah dicintai. Sementara dia terlalu pendiam.”
Ella memejamkan matanya, menyembunyikan ekspresi kesalnya sebaik mungkin.
“Anna juga jauh lebih cantik,” tukas Alaric acuh tak acuh, kemudian lanjut makan.
Darius dan Lydia saling pandang, gelisah. Mereka tak boleh kehilangan kesempatan untuk beraliansi dengan keluarga Alaric. Keluarga yang menguasai industri media dan hiburan di tanah air.
“Tapi dia lebih penurut.” Lydia segera menimpali. “Dia akan lebih mudah diarahkan sebagai istri.”
“Aku mencari istri bukan anjing peliharaan,” sahut Alaric dingin. “Apalagi anjing yang membunuh tunanganku.”
“Aku tidak membunuh Anna.” Akhirnya Ella bersuara. Ia meletakkan pisau dan garpunya, menatap Alaric tajam.
Alaric juga menghentikan gerakannya, membalas tatapan Ella. “Jadi kamu mengakui kalau kamu anjing?” ejeknya dengan seringai tipis.
Rahang Ella mengatup rapat. “Bukan itu maksudku. Aku mau menjelaskan kalau aku tidak membunuh Anna. Itu murni kecelakaan.”
“Kalau begitu, kenapa kamu bisa selamat?” Alaric menyedekapkan tangan di depan d**a. “Kenapa kamu tidak hangus terbakar juga?”
“Aku tidak tahu.” Ella berusaha terdengar tenang, meski emosinya bergejolak dalam d**a. “Aku pingsan dan setelah sadar … Anna sudah meninggal. Aku tidak bisa mengatur takdirku atau takdir Anna.”
Alaric memajukan tubuhnya, tatapannya masih dingin dan tajam, tapi seringai di bibirnya tampak semakin lebar. “Baiklah, kalau begitu aku yang akan menentukan takdirmu. Ayo menikah, Elaina.”