Z-7

1636 Kata
"Harapan adalah obat terbaik untuk bisa membuat seseorang termotivasi untuk terus hidup," Wabah Zombie yang terjadi saat ini, memberikan banyak kekacauan. Hidup di dunia, seakan tak lagi berarti, ancaman di mana-mana, sehingga rasa takut, membelenggu diri dan terkadang, membuat seseorang memilih untuk melarikan diri atau mati. Uang, harta dan kekuasaan, seperti tiada arti. Kota yang awalnya damai, sekarang, sudah menjadi sesuatu yang lebih menakutkan daripada sekedar kota mati. John, lelaki yang sudah lama hidup dan tinggal di kota Terius, kota kelahirannya, pada akhirnya, harus pergi dari sana, meninggalkan semua kenangan, termasuk rumah warisan dari ayah dan ibunya. Juga, tempat di mana dia bekerja, teman-temannya dan lain sebagainya. John tidak tahu, apakah ada temannya yang masih selamat atau tidak. Sekarang, pertemanan seakan tak lagi berguna, terkecuali untuk satu tujuan, bertahan hidup. Berpisah dari Annie, bertemu dengan Marie, mungkin, adalah ujian yang harus John lewati, bumbu kehidupan, untuk membuatnya terus hidup dan tak menyerah. Namun, kenyataannya, dia sudah terinfeksi. Kematian atau mungkin waktu, yang akan membuatnya berubah menjadi zombie, yang mana pun itu, JOhn harus waspada. Dia harus berani mengambil keputusan untuk meninggalkan Marie atau membunuh dirinya sendiri sebelum benar-benar menjadi zombie. Ini adalah sudah memasuki hari kedua, seharusnya, kalau memang John, akan berubah menjadi zombie, sama seperti suami dari Marie, bukankah itu sudah cukup terlambat? Atau, demam tinggi yang sempat dideritanya malam itu, menyelamatkannya dari perubahan? Sekarang, dia apa? Manusia? Zombie atau perpaduan keduanya? John benar-benar tidak tahu. Pada awalnya, John memiliki ide, untuk melukai dirinya sendiri, memeriksa apakah darahnya masih merah atau sudah berubah menjadi biru, hitam atau warna lain, seperti yang seringkali dilihatnya di film atau drama. Namun, dia mengurungkan niatnya. Bau darah hanya akan memancing zombie untuk datang. Selain suara, pemicu zombie datang, sejauh yang John amati adalah bau darah. Akan baik-baik saja kalau tidak terluka, tetapi belum ada informasi jelas perihal jarak aman dengan zombie, sehingga John tak bisa memastikan jarak aman ZOmbie tidak bisa mencium bau manusia, yang sehat, tidak terluka ataupun sedang sakit atau sekarat. Selain itu, dia tidak sendirian, melainkan bersama Marie. Akan sangat konyol, jika mereka mati karena uji coba yang dilakukannya. Dia harus bisa membuat Marie tetap hidup, setidaknya, sampai dia bisa bertemu lagi dengan Annie. Meskipun tidak ada bukti kuat kalau Annie masih hidup, John yakin kalau adiknya masih hidup. Firasatnya mengatakan demikian. Tidak ada mayat, tidak ada darah, itu bukti tidak langsung, yang mengatakan kalau Annie, Mikhael dan Daniel, selamat dari serangan zombie waktu itu. John sangat yakin mengenal hal itu. Teorinya pasti tidak akan salah. "John! John!" Mari sedikit berteriak membuat John yang berjalan cepat menghentikan langkahnya, menatap Marie yang seperti kehilangan napas. "Bukankah kamu polisi? Kenapa sudah kehabisan napas begitu?" tanya John heran sembari menghampiri Marie yang berhenti dengan punggung agak menunduk, sedang mencoba untuk mengendalikan napasnya yang amburadul. "John, aku sudah lama berhenti menjadi polisi sejak menikah. Satu-satunya yang tersisa, hanya pistol yang aku miliki ini. Apa yang kamu harapkan dari wanita yang sudah pernah melahirkan satu orang anak dan hidup sebagai ibu rumah tangga biasa selama hampir 5 tahun?" Marie beralasan, membuat John mendesah kasar. "Maaf, aku lupa soal itu," katanya jujur. "Aku juga lapar, kita belum makan sejak semalam." Marie mengungkapkan rasa lapar dan bunyi perutnya yang sudah tidak bisa menahan rasa lapar dan haus lebih lama lagi. "Kita beristirahat sebentar." John membantu Marie untuk berjalan, menggandeng lengan wanita itu, membawanya untuk duduk di belakang pohon besar yang berada di sisi jalan, setidaknya, mereka akan terlindungi dari penglihatan manusia lain ataupun zombie yang kebetulan zombie. Namun, area itu bisa dibilang sepi, kecil kemungkinan akan berpapasan dengan zombie. John dan Marie berencana untuk menembus hutan yang ada di bawah bukit, sedikit berputar dari tujuan awal. Meskipun harus berjalan lebih lama dan panjang dari jalan biasanya untuk bisa memasuki kota Yupiter, tujuan mereka berikutnya, John merasa kalau itu adalah jalan teraman karena jalan utama pasti akan dipadati oleh para manusia dan itu memperbesar kemungkinan kalau mereka terinfeksi dan menjadi zombie. Jika sudah begitu, John akan seperti mati konyol kalau harus melewati sarang zombie seperti itu. Selain alasan itu, John yakin, Annie berpikir seperti dirinya, adik perempuannya itu pasti juga sedang mengarah ke kota itu juga, meskipun tidak tahu, jalan mana yang akan adiknya itu lewati. John merasa, selama Annie baik-baik saja, itu sudah cukup untuk membuatnya terus maju dan bertahan hidup sekarang. Dia tidak bisa mati sebelum memastikan Annie baik-baik saja, atau setidaknya, dia harus bisa menjaga Marie sampai wanita itu bisa bergabung dengan Annie. John yakin, Marie akan lebih aman dan terlindungi apabila bersama dengan Annie. Meskipun masih muda, di mata John, adik perempuannya itu, jauh lebih tenang dan cerdas dibandingkan dirinya. Itu yang membuatnya semakin yakin kalau Annie, akan menjadi sosok pemimpin dan harapan untuk kelompok mereka kelak. Itu pun, kalau mereka bisa bertemu kembali. John merasa, sedikit pesimis, tetapi dia mencoba untuk tidak mengubris perasaan tersebut. Dia tidak mau putus ada dan jatuh ke dalam lembah keterpurukan. Sebagai seorang lelaki, dia paham, perasaan seperti itu hanya akan membuatnya semakin lemah. "Ini." John memberikan sepotong roti pada Marie, berikut air mineral yang dibawanya, sudah diminum setengah, tetapi masih layak untuk diminum. Marie mengucapkan terima kasih sembari menerima roti pemberiaan John. Meskipun sepotong roti, tidak akan membuatnya kenyang lebih lama. Namun, untuk saat ini, dia tidak bisa pilih-pilih. "Apa ini bekalmu?" John mengangguk, "Kami tidak membawa banyak bekal. Makanan kaleng dan lain-lain, sebagian ada di Annie, alat pembukanya juga. Jadi, kita mungkin, harus membukanya dengan pedangku, tetapi itu beresiko membuatnya berhamburan keluar, sehingga aku memilih untuk memberimu roti. Selain itu, roti ini tidak akan bertahan lama. Jika tidak dimakan, mungkin akan membusuk. Itu akan menjadi sia-sia kan?" John menerangkan panjang-lebar. "Jadi, kamu dan adikmu saja? Hidup berdua?" Marie ingin tahu. John mengangguk, "Ya, kami hanya berdua. Orang tua kami meninggal dunia, jauh sebelum zombie menyerang," terangnya diikuti perasaan lega. Setidaknya, ayah dan ibunya mati dengan damai, bukan karena berubah menjadi zombie atau santapan zombie. Itu adalah hal yang sangat tragis, untuk dibayangkan atau dilihat langsung dengan mata sendiri. John tak mengharapkan hal itu sama sekali. Tidak akan pernah! Dia tidak ingin membunuh zombie dari orang tuanya. Never. "Itu bagus," ujar Marie membuat John meneguk salivanya pahit. "Maafkan aku." John merasa tidak enak, meskipun bukan dia yang mengawali pembicaraan ini. Marie hanya tersenyum kecut, "Tidak masalah. Bukan salahmu, John. Aku hanya terlalu sentimental," dalih Marie. "Aku mengerti," sahut John lagi, seolah tak ingin Marie merasa rendah diri. "Makanlah! Kita tak bisa menetap di tempat terbuka dalam waktu lama." Ia memperingatkan. "Ya. Terima kasih," ujar Marie lantas menyantap rotinya. John juga memakan rotinya, setengahnya, sengaja dia berikan pada Marie. Setelah mimpi buruk yang dialaminya tadi pagi, dia merasa harus lebih mengawasi Marie. Dia tak bisa kehilangan Marie, itu tidak akan menguntungkan baginya, dari segi melanjutkan perjalanan ataupun bertahan hidup di hutan. Melihat bagaimana lahapnya Marie, John merasa sangat senang. Namun, dia tak bisa memberikan makanan lebih dari saat ini. Bagaimanapun, mereka harus berhemat, sampai bisa menemukan pasokan makanan lagi. John tiba-tiba teringat soal stok makanannya yang minim. "Marie, apa kamu tahu berapa lama yang diperlukan sampai kita bisa melewati hutan?" tanyanya tiba-tiba, membuat Marie yang sedang makan, menghentikan kunyahannya. "Satu setengah hari, kalau kita tidak berhenti." Marie menerka-nerka. Dia belum pernah melewati hutan, tapi dia pernah mengetahui informasi itu karena dia dulunya seorang polisi. John menatap letak matahari, yang sudah condong ke barat sedikit, itu artinya, sekarang sudah siang menjelang sore. Sebentar lagi gelap dan perjalanan mereka masih panjang. Makanan menipis dan mereka bahkan belum membersihkan diri setelah insiden di tempat sampah. Rasanya, ini akan menjadi perjalanan yang tidak menguntungkan jika mereka nekad masuk hutan tanpa persiapan yang lebih matang. Itu akan berbahaya, apalagi mereka di tempat terbuka. Meskipun bukan zombie, John juga harus waspada pada binatang buas, penjahat dan lain sebagainya. "Ada apa, John?" tanya Marie heran karena John terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan serius. "Sepertinya, kita harus mengurungkan niat kita untuk melewati hutan hari ini," ujar John. "Kenapa?" tanya Marie penasaran. "Kita memiliki cadangan makanan yang sedikit, selain itu, sebentar lagi gelap dan kita tidak memiliki persiapan apapun, seperti penerangan, senter, alat pembuat api, tenda atau lainnya. Jika harus melewati hutan, kita juga harus memikirkan kemungkinan terburuk," jelas John. Marie terdiam, sedang mencerna perkataan John. "Lantas, apa rencanamu?" tanya Marie heran. "Kita akan melewati jalan perbukitan," putus John. "Kita tidak memiliki pilihan, Marie. Kita bisa memakai mobil, setelahnya, kita berjalan kaki, menembus perbukitan, menyelinap dari jalanan, memasuki hutan, tetapi dari jarak yang jauh lebih dekat dibandingkan rencana awal kita." John menerangkan lebih lanjut. "Mobil siapa yang bisa kita gunakan?" "Kita akan kembali, mencari perumahan atau menggunakan mobil yang masih bisa digunakan. Aku yakin, saat panik, orang-orang itu memakai mobil mereka, kita hanya perlu mencari yang masih berfungsi. Jika tidak ada, kita bisa mencarinya di perumahan, sembari mencari makanan dan minuman, bagaimana menurutmu?" John meminta pendapat. "Berada di dalam mobil, sepertinya jauh lebih menyenangkan daripada berjalan kaki," jawab Marie sembari tersenyum tipis. "Jika begitu, boleh aku sekalian mandi?" John tertegun sejenak, ragu-ragu. "Aku akan mencari kamar mandi yang tidak berisik, atau, mencemplungkan diriku sebentar lalu berpakaian," Lelucon yang buruk. John mengangguk, "Lakukan apa yang kamu mau, asalkan tetap waspada dan hati-hati, selalu bawa pistol dan pisaumu. Kita juga akan mencari senjata atau peluru cadangan untukmu." John mengungkapkan rencana tambahan. Marie hanya mengangguk. "Jadi, kapan kita pergi?" "Sekarang." John berdiri dari duduknya. "Kamu sudah selesai makan kan?" Marie mengangguk. Sebelum benar-benar berdiri, dia meneguk habis minumannya, lantas menatap John dengan ekspresi ceria. Tenaga dan semangatnya telah kembali. Saat dunia seperti kiamat, memang benar, kalau harapan adalah obat terbaik untuk memotivasi diri sendiri untuk terus bertahan hidup. Sama halnya seperti yang John dan Marie rasakan saat ini. Mencari Annie, memberikan John harapan. Bersama John, memberikan harapan pada Marie. Sekecil apapun alasan dari sebuah harapan, selama masih ada harapan di dalam hati, manusia akan menjadi lebih berani untuk bersedia menghadapi segala rintangan yang muncul dalam hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN