"Bumi akan tetap hancur jika sampai pada waktunya, dengan atau tanpa zombie. Sebab, sejatinya, manusia jauh lebih menakutkan daripada zombie."
Annie tidak bisa tidur, Was-was, resah dan gelisah, menjadi perasaan paling dominan dalam pikirannya saat ini. Dia mengkhawatirkan John. Namun, dia sudah memutuskan untuk menunggu sampai pagi menjelang, sehingga tak ada lagi yang perlu dilakukan, selain mencoba untuk mengeyahkan segala keinginan untuk menembus malam dan mencari John. Annie tahu, dia mungkin seharusnya kembali, tetapi instingnya mengatakan tidak. Ada sesuatu yang menurutnya akan terjadi, jika dia benar-benar kembali ke sana, sesuatu yang teramat buruk. Selama ini, dia selalu percaya, insting dan firasatnya mengatakan hal yang benar, dan selalu benar, sehingga untuk kali ini, dia tak ingin gegabah. John adalah orang yang baik. Dia tak akan mati semudah itu, Annie percaya tentang hal itu, lebih tepatnya, berusaha untuk yakin, sehingga dia tak mau mengacaukan semuanya.
Annie menoleh pada Daniel saat anak lelaki berusia 13 tahun itu tina-tiba berbicara sendiri, sedang mengigau, memanggil-manggil ibunya dan sepeerti melakukan percakapan yang sedikit tidak jelas. Namun, Annie bisa menilai dari bagaimana Daniel berekspresi, mimik muka yang tampak takut dan marah sekaligus. Mungkin, dia sedang bermimpi buruk. Annie mendekat, meraih dan menggenggam tangan anak lelaki itu. Sementara Mikhael yang tertidur di sampingnya, masih tertidur lelah. Annie memakluminya. Kakek tua itu, pasti sudah sangat kelelahan setelah seharian berlari. Staminanya cukup membuat Annie kagum. Sebab, tak semua kakek bisa seperti Mikhael, fisiknya tetap kuat dan sehat meskipun tak lagi muda. Butuh latihan rutin dan konsisten untuk bisa mencapai hal itu, sehingga Annie yakin, kakek itu pasti sudah menjaga diri dan kesehatannya dengan sangat baik selama ini. Itu hal yang cukup menganggumkan. Bahkan, dia sendiri juga mengakui kehebatan Mikhael tersebut.
"Mama..." Daniel sekarang tiba-tiba terisak. Entah kenapa, ada yang terasa sakit di dalam hati. Sesak, melihat anak seusia Daniel, yang harusnya sedang menikmati masa remaja, bermain dengan teman-temannya, menikmati sekolah dan lain-lain, harus terjebak di peperangan antara hidup dan mati akibat wabah zombie. Annie bahkan tidak tahu, apakah wabah ini bisa diakhiri atau tidak. Yang jelas, Annie merasa tersentuh dengan Daniel. Meskipun terlihat kuat, nyatanya, Daniel tetaplah anak kecil yang butuh perlindungan orang tuanya, dalam kasus ini, sepertinya, dia sangat merindukan ibunya. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk itu. Sebab, ia tahu, mengajak Daniel dan Mikhael untuk kembali ke rumah mereka dan memastikan apakah ada yang selamat atau tidak, adalah tindakan konyol. Dia tidak dapat memprediksi jumlah zombie yang ada di sana, apakah keluarga Daniel, selain Mikhael, juga ada yang selamat atau tidak, dia tidak tahu sehingga melakukan sesuatu yang abu-abu, hanya akan memberikan mereka jalan buntu. Itu sebabnya, Annie tidak mau Daniel kecewa jika ternyata seluruh keluarganya telah menjadi zombie ataupun santapan makluk menjijikkan itu. Kalaupun ada yang selamat, mereka tidak akan diam di tempat yang sama. Mereka pasti sudah pergi, sama seperti apa yang Annie dan John lakukan. Sikap Annie mungkin bisa disebut pengecut, tetapi terkadang, tak perlu mencari tahu sesuatu, jika hanya membuat mental down. Hal itu hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
"Kamu masih terlalu kecil untuk menanggungnya," bisik Annie lirih seraya mengelus lembut rambut Daniel. Dia mendongakkan kepala, menatap Mikhael yang ternyata sudah bangun.
Sebuah senyuman lembut diberikan dan Annie membalasnya.
Daniel sudah menjadi lebih tenang. Mikhael dan Annie, sekarang duduk bersebelahan, meskipun ada jarak cukup jauh di antara mereka. Mereka sama-sama bersandar ke dingding.
"Apa kamu kehilangan keluargamu?" Mikhael membuka pembicaraan. Ini topik yang sensitif, tetapi membicarakannya, akan membuat perasaan menjadi lega dan mereka mungkin bisa lebih baik dalam memahami satu sama lain.
Annie menggeleng, "Tidak. Aku yakin John akan baik-baik saja."
Jawaban yang optimis.
"Kami... mungkin sudah kehilangan semuanya. Ibu Daniel adalah anakku. Dia menikah dengan seorang pria baik hati bernama Han. Dari pernikahan itu, muncul Daniel dan Emelia, anak kedua mereka yang masih berusia 5 tahun. Istriku juga masih hidup. Kami tinggal berenam, aku, istriku, anak, menantu dan dua orang cucuku. Kami sangat bahagia. Suatu hari, tepatnya, saat peringatan ulang tahun kemerdekaan negara ini, menantuku pulang dengan basah kuyup. Dia terkena hujan dan mengalami demam tinggi. Anakku, Dahlia, sangat mengkhawatirkan Han. Aku sudah menyuruhnya untuk membawa Han ke rumah skait, tetapi Han menolak dan Dahlia menuruti perkataan suaminya. Mereka berencana akan pergi ke dokter keesokan harinya. Jadi, malam hari, karena ingin memancing, aku dan Daniel pergi meninggalkan rumah, membiarkan keluargaku tanpa perlindungan. Daniel bahkan membawa tongkat bisbolnya, dengan bercanda berkata, kalau dia ingin berlatih memukul untuk kejuaraan seminggu lagi. Namun, malam yang tenang, berubah menjadi menyeramkan. Kami tiba-tiba didatangi, oleh sesuatu yang bergerak, manusia, tapi bukan lagi manusia. Awalnya, aku tidak tahu, tetapi pada akhirnya aku mengerti, mereka akan mati setelah kepalanya berhasil dihancurkan, tepatnya, otaknya. Setelahnya, aku dan Daniel berusaha mencapai sampai ke rumah kami, tetapi kami selalu terhambat, dan begitulah, cara kami bisa bertemu denganmu dan John."
Annie terdiam, membiarkan Mikhael yang berkaca-kaca, larut dalam emosinya. Dia tak mau salah dalam memberikan tanggapan. Kesedihan tak melulu butuh saran atau dukungan, terkadang, hanya diam dan mendengarkan, sudah lebih dari cukup. Itu akan sangat berharga bagi seseorang. Tak peduli, apapun statusnya. Sebab, orang yang sedang berduka, jauh lebih sensitif dan mudah tersentuh atau tersinggung hatinya.
"Apa menurutmu, jika aku dan Daniel tidak pergi malam itu, apa kami akan tetap bersama keluarga kami saat ini? Apa aku bisa menyelamatkan mereka?" Suara Mikhael terdengar parau dan penuh dengan penyesalan. Sejujurnya, tidak ada jawaban yang benar-benar cocok dan akurat untuk jawaban seperti itu. Sebab, di dunia nyata, tidak pernah ada kata seandainya atau jika. Kenyataan akan selalu menjadi hal mutlak yang tak bisa diubah, sebesar apapun keinginan kita untuk merubahnya. Annie memahami hal itu, sehingga memilih untuk hanya diam dan tak menjawab, adalah keputusan yang menurutnya sangat tepat. Selain itu, dia tak memiliki kata-kata hiburan apapun untuk seseorang yang baru saja berduka karena kehilangan orang tercinta. Itu pasti sangat sakit dan berat. Tak mudah untuk menemukan obat dan menyembuhkannya, bahkan, meski waktu sekali pun.
"Aku tak terlalu mengerti, tapi mungkin, kita bisa mencoba untuk ke rumahmu, jika kamu mau." Annie memberikan pernyataan yang cukup mengejutkan bagi seorang Mikhael.
"Apa... yang..."
"Kamu ingin memastikan keadaan keluargamu kan?" Annie menoleh dan menatap tajam ke arah Mikhael. "Aku bisa membawa kalian ke sana, tetapi, ada pertanyaan yang harus kamu berikan padaku sebelum menjawabku."
Mikhael menjadi semakin penasaran, "Apa itu? Katakan padaku!"
"Jika kemungkinan buruk itu terjadi, mereka menjadi zombie atau santapan zombie, apa kamu yakin bisa menghadapinya? Kamu harus membunuh zombie yang dulunya keluargamu, apa kamu sanggup? Jika Daniel melihat ibu, ayah, adik dan neneknya, menjadi mayat hidup atau mayat mati, apa kamu yakin, dia akan baik-baik saja?" Annie memberikan beberapa pertanyaan sekaligus. Dia bukannya tidak berempasti. Namun, dia harus meyakinkan Mikhael kalau tidak mudah untuk menerima suatu kenyataan yang buruk. Oleh sebab itu, dia memberikan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tak mau sampai Mikhael menyesal dan merasa keinginannya untuk memastikan keadaan keluarganya, hanyalah keinginan sesaat yang akan membuat jiwanya tersesat. Itu akan menjadi sesuatu yang rumit. Annie tidak mau mengambil resiko. Bagaimanapun, dia harus membuat Mikhael mengambil keputusan bulat, tidak setengah hati lagi.
"Aku akan membicarkannya dengan Daniel lebih dulu." Jawaban yang bijaksana, khas para orang tua.
Annie hanya mengangguk pelan, "Baiklah. Besok pagi, berikan jawabanmu. Ingat, Mikhael, aku hanya akan bertanya sekali." Annie memperingatkan.
Mikhael hanya mengangguk, "Terima kasih."
Annie hanya mengangguk pelan.
"Kalau begitu, aku akan tidur, bisakah kamu berjaga untuk kami? Jika ada sesuatu yang mencurigakan atau kamu merasa lelah, tolong bangunkan aku." Annie memohon.
Mikhael hanya mengangguk pelan.
"Annie," panggilnya lagi, membuat Annie yang hendak berbaring menoleh ke arah Mikhael, "Ya?" sahutnya.
"Kenapa kamu berubah pikiran?" Sepertinya, Mikhael sangat penasaran untuk menyimak jawaban dari pertanyaan yang diajukannya barusan.
"Dunia akan tetap hancur, dengan atau tanpa zombie. Bumi ini sudah terlalu tua, dan manusia, semakin hari, menjadi lebih menakutkan dari zombie. Jadi, aku rasa, aku akan membantumu untuk menuntaskan rasa penasaranmu, setelahnya, kamu akan fokus untuk bertahan hidup, lebih dari sebelumnya. Sebab, luka dan rasa sakit, membuat seseorang bertambah kuat. Setidaknya, itu yang ayahku dulu, pernah katakan padaku." Ia menjabarkan pemikirannya.
"Bagaimana kalau kita mati karena ke sana?" Rasa takut yang wajar.
"Tidak akan. Kamu harus mensugestikan dirimu kalau kamu akan baik-baik saja, Mikhael. Rasa pesimis hanya akan membuatmu meninggal dunia lebih cepat." Annie tersenyum jail. "Kita akan baik-baik saja. Tenanglah, aku juga harus bertemu John. Aku tak boleh mati sebelum bertemu dengannya."
Mikhael hanya tersenyum tipis, "Dengan sifat dan sikapmu yang seperti itu, akan sangat disayangkan kalau kamu tidak menjadi seorang pemimpin. Kamu sangat luar biasa, Annie," pujinya dengan tulus.
Annie menggelengkan kepala, seolah menyangkal apa yang Mikhael barusan katakan padanya.
"Tidak, Mikhael. Kamu salah. Kakakku jauh lebih pantas untuk pemimpin. Sudah sering aku katakan bukan? Dia bisa mengorbankan nyawanya demi orang lain tanpa berpikir, itu adalah kelemahan sekaligus kelebihan terbesar dari seorang John." Ia berdalih.
Mikhael hanya mendesah, "Baiklah, aku tak sabar untuk bertemu dan berinteraksi dengannya. Tidurlah, aku akan berjaga."
Annie mengangguk pelan, "Terima kasih. Selamat malam."
"Malam."
Annie pun berbaring, lantas memejamkan mata, berusaha untuk tidur. Dia harus beristirahat agar tenaganya bisa cepat pulih kembali. Malam akan sangat panjang, tetapi dia tahu, esok akan menjadi hari yang indah. Untuk berburu atau diburu oleh zombie. Apa pun itu, dia sangat percaya diri untuk melewati hari esok. Kepercayaan diri yang sangat luar biasa. Amazing.