13. Insiden di Hotel

2109 Kata
Ferry mengajak Naina duduk santai lebih dulu di café. Naina merasa canggung sebab meski dulunya Rion cukup akrab dengan Ferry, dia enggan menegur pria ini. Pun sejak kematian Fira, keberadaan Ferry mendadak hilang dari pandangan. “Kalau green tea, nggak apa-apa, kan?” tanya Ferry saat pelayan café itu mengantarkan teh dan latte ke atas meja. “Nggak apa-apa, Bang. Sehat, kan?” Sejak tadi, Naina masih memperhatikan ponsel. Masih ada setengah jam tersisa sampai waktu yang dijanjikannya pada Yudha. “Sehat. Kamu sehat, Nai? Agak segeran abang liat.” “Sehat, Bang. Ya gini-gini aja, lah. Abang sendiri, udah lama nggak keliatan. Aku juga nggak tau kalau Abang udah di Jakarta.” “Iya, kebetulan ada teman yang ngajak kerja di perusahaannya. Lumayan, lah, gajinya. Di negeri orang nggak enak juga.” Naina tak punya bahan obrolan lain. Hanya menunduk sambil menyecapi teh hangat itu pelan-pelan. “Kamu ke hotel, ngapain? Ada perlu?” tanya Ferry, santun. “Iya, Bang. Mau ketemu temen.” Pesan masuk muncul di ponsel Naina. Gadis itu pun berpamitan karena harus pergi menemui Yudha, sang kekasih. Tak sabar rasanya bertemu sebab beberapa hari ini, Yudha enggan merespon pesannya. Setibanya di kamar nomor 75, Naina menghubungi Yudha lagi. Pria itu muncul setelah membukakan pintu. “Yudh!” “Masuk, Nai!” Canggung, Naina masuk ke dalam kamar hotel itu. Sungguh terharu saat Yudha menyiapkan meja berisikan menu makan siang berupa dua piring steak, masih ada juga salad dan beberapa kue dan pudding sebagai dessert. Masih juga ada troli yang dihias cantik tempat meletakkan bucket bunga mawar merah dan kotak perhiasan di atasnya. “Ini-” “Nai.” Yudha memegang dua tangan Naina, mengecupnya sesaat. Betapa tersanjungnya Naina diperlakukan semanis ini. “Walaupun keluarga kita udah membahasnya, tapi aku belum resmi ngelamar kamu, kan?” Yudha mengambil kotak merah besar itu, membukanya. Binar Naina gugup menatap indahnya kalung berlian itu dan juga cincin yang berada di sampingnya. “Will you marry me?” Cepat Naina mengangguk, lalu Yudha memakaikan cincin di jari manisnya. Kalung itu juga tak sabar dia pakaikan di leher wanita ini. Naina berbalik, mengangkat rambut panjangnya yang tadi tergerai indah. Naina menatap cantiknya bandul kalung itu saat dipegangnya. “Kamu cantik, Nai,” bisiknya, dengan suara berat bariton. Mungkin dia tengah bernafsu saat ini. Yudha mengajak Naina menikmati jamuan makan siang lebih dulu. Yudha begitu memanjakannya. Setelah memotong tipis-tipis steak di piringnya, dia memberikan itu pada Naina. Dia hanya ingin memastikan bahwa wanita ini tertarik padanya. “Makan, Nai! Nanti kita bicara lagi, ya!” Naina tersenyum cantik. Garis bibir Yudha tertarik ke kiri melihat wanita ini terjebak sepenuhnya. Sempat dia melihat ponsel, ada pesan masuk dari Ferry. [Lakukan saja yang kuperintahkan! Aku nggak benar-benar memintamu menidurinya! Jangan di luar batasanmu!] Ferry, seorang pria yang dikenalnya di bar itu menugaskannya pekerjaan yang menguntungkan. Tak hanya dijanjikan rupiah, belakangan dia tahu bahwa Wisnu, ayah kandung gadis ini adalah teman lama ayahnya yang pernah menyebabkan kebangkrutan dalam perusahaan. Dibalasnya pesan itu segera. [Aku tau. Biar ini jadi urusanku.] Selesai mencicipi makan siang, Yudha mengajak Naina untuk duduk di tepi kasur. Wanita ini telanjur terbang dengan pelayanan romantis pria tampan berkulit putih ini. “Jadi kapan, kamu siap nikah, Sayang? Kamu tinggal bilang aja, kapan kamu siap. Nanti keluargaku datang bawa seserahan lamarannya,” goda Yudha. Yudha pun mengajak Naina duduk di tepi kasur, menyentuh sesukanya hingga Naina mulai takut. “Sayang, jangan takut! Kita mau nikah, kan?” “Nggak, please!” Naina terburu menendang sisi perut Yudha hingga pria itu menggeram. Rahangnya mengetat, hanya sekali tamparan di pipi Naina membuat wanita itu bungkam. “Lo sendiri yang datengin gue pake baju seksi gini! Lagian lo juga bakal nikah sama gue! Nggak usah sok suci, deh!” Sosok lembut pria ini berubah dalam sekejap, Naina sampai merinding. Tatapan Yudha sangat mengerikan. Dalam hati terus memanggil nama Rion agar kakaknya itu datang menolong. ‘Abang di mana? Tolong, Bang!’ Rasa takut itu mencengkram kesadaran Naina. Dia hampir pitam karena dadanya terasa sesak ketika asmanya kambuh. Tangannya gemetar, menunjuk pada tas agar Yudha mengambil inhealer-nya. “Yudh, tolong!” “Ah! Bengek lo kambuh?” Tak peduli, Yudha hanya ingin mencicipi mangsa yang berhasil dia dapat. “Nai.” bisiknya lembut. Tak peduli meski Naina kesakitan sebab napas yang memburu, Yudha masih asik menjadikan Naina sebagai objek lampiasan nafsunya. “Naina!” Suara itu mengejutkan Yudha. Dia mendecak sebal, tak menyangka Ferry muncul lebih cepat dari yang diperkirakan. ‘Sial! Gue belum nyicip beneran!’ Naina menepi saat Ferry muncul dan berhasil mencengkram sisi krah kemeja pria itu. Pukulan pun dilancarkan ke wajahnya. “Apaan, sih, Fer?!” Naina tak lagi mendengar percakapan mereka. Hanya terburu mendekat untuk mengambil in healer-nya di dalam tas, menstabilkan deru napas dan ketakutan yang mengurungnya. Hanya sebentar, Naina akhirnya pingsan karena shock. “Nai!” Ferry mendekati Naina, menahan punggung wanita itu dan memeluknya. Ditepuknya pipi Naina, hendak membangunkannya. “Lo apaan, sih, pukul gue, Anji ng! Semua ini, kan, ide lo!” geram Yudha, mengait kancing kemeja yang sempat dia buka tadi. Ferry belum bicara, memperbaiki pakaian wanita itu sebelum menggendongnya. “Gue nggak pernah minta lo untuk beneran perkosa dia, Bren gsek! Lo nggak ada hati, ya! Otak lo isinya setan semua! Gimana bisa lo masih nekat mau nidurin dia saat asmanya kambuh!” Ferry bergegas membawa Naina pergi, meninggalkan Yudha yang tetap mengekor di belakangnya. Tak peduli dengan tindakan memalukannya tadi. “Ngapain gue dibayar kalau cuma buat nakut-nakutin dia? Ya main aja sekalian. Sayang, kan? Lo mau jahat, kok, nanggung-nanggung, Fer.” Ferry tak menggubris, mempercepat langkahnya untuk turun ke lantai dasar dengan lift. “Gue cuma mau ngerebut percayaan dia saat gue nantinya nolong dia dari lo. Tapi kenapa lo seenaknya gitu?” “Kenapa?” Yudha tersenyum sinis. “Takut kalau nanti dia bunting setelah gue perkosa, trus dianya malu dan gantung diri, kayak adek lo?” Ferry tak ingin meladeni lagi hingga pintu lift terbuka. Yudha menepuk pundaknya sebelum berpisah. “Lo urus sisanya, ya! Lumayan, lah, nyicip dikit! Gue mau balik ke Jogja!” Ferry menghentikan taksi di pelataran yang melintas, lalu segera meminta membawanya menuju rumah sakit terdekat. * Hari hampir senja. Setelah makan siang tadi, Bella tak melihat Rion berkeliling lagi. Iseng, dia pun masuk ke ruang rawat kelas VIP pria itu untuk menemuinya. Wajahnya bersemu merah saat mengingat lamaran pagi tadi. Di kamarnya, Rion merasa tak nyaman pada tidurnya. Keringat mengisi sisi pelipisnya. Pria itu hanya larut dalam mimpi buruk. Samar-samar dia tenggelam dalam ingatan lalu hingga membuatnya sulit bernapas. Hanya sisa trauma dari alam bawah sadarnya saja. Bella masuk ke ruangannya, menyadari ada yang tak beres dengan Rion. Pria itu tampak gelisah, sesekali dadanya naik turun dengan napas memburu. Bibirnya terbuka hanya untuk menghela napas bebas. “Pak Rion!” panggil Bella, sedikit dia menggoncang badannya agar terbangun. “Bunda.” Tipis-tipis Bella mendengar suara pria itu. Cukup kuat saat Bella menggoncang tubuhnya, Rion belum membuka mata. Bella tersenyum keki, menarik tangannya setelah tadi menampar pipi pria itu. “Aduh, kelewat kenceng!” Sontak, Rion terbangun dengan napas terengah. Dia segera duduk untuk mengembalikan kesadarannya. Hanya merasa tak nyaman, dia kembali menghela napas saat dadanya lebih longgar. “Pak Rion punya penyakit pernapasan?” tanya Bella, cemas. “Tadi saya liat, napasnya pendek-pendek banget, nggak teratur.” “Nggak. Cuma mimpi buruk,” katanya sembari mengusap peluh di dahi. Bella sedikit duduk di sisi kasur, penasaran dengan bias wajah takut pria ini. “Mimpi apa, Pak?” “Mimpi-” Sesaat, Rion mendesis saat merasa perih pada pipinya. “Kamu nampar aku?” “Maaf.” Rion tak menyahut lagi, merasa tak nyaman kenapa tiba-tiba dia mimpi buruk. Apakah terjadi sesuatu pada Naina? Bella keluar dari ruangan, ingin membelikan makan malam sebab senja telah terlewati. Pergi ke kantin sebentar, mencari santapan malam yang menggugah selera. “Ini kenapa aku jadi kayak baby sitter-nya dia, sih? Nganggur banget, perasaan!” Sebungkus nasi uduk menjadi pilihannya. Bella tersenyum sambil menenteng bungkusan itu. Berpikir dirinya kasmaran, masih mengingat lagi aksi lamaran lucu pria itu pagi tadi. “Ntar kalau dia nembak lagi, aku terima nggak, ya?! Lucu banget, dia.” Terburu Bella kembali ke ruang di sudut. Dilihatnya pria itu sedang berdiri di sisi jendela, menyingkap gorden sambil memegang ponsel dengan layar retak di tangannya. Seharian ini dia memperhatikan ponsel itu menjadi alasan kegalauan pria ini. “Kenapa nggak ngabarin orang rumah, sih?” Rion berbalik saat Bella meletakkan bungkusan itu di atas meja. “Kamu mau pulang, Bel? Nggak ambil sift malam, kan?” Bella menggeleng. Dibukanya bungkusan itu di atas piring, lalu menyerahkan sendok dan menyajikan segelas air hangat yang diambil dari dispenser. “Aku di rumah sakit aja. Lagian, nggak ada orang di rumah, juga. Bebi udah aku titipin ke adik sepupuku.” Rion duduk di samping perawat itu, mulai menikmati tiap sendokannya meski tatapannya kosong. Setelah mengalami mimpi buruk, dia sangat mencemaskan Naina. Rion mulai mengasingkan nasi yang sudah terkena sambal itu ke sudut bungkusan. Bella memperhatikannya. Sepertinya pria ini tidak suka terlalu pedas. Menikmati suapan demi suapan untuk mengisi lambungnya. “Untung aja, perut Bapak nggak mode sultan. Jadi makanan begitu juga bisa ditelen.” “Kenapa? Ini, kan, nasi!” “Ya tapi muka bapak, kan, bule.” “Trus bule nggak boleh makan nasi?” gerutu Rion, menunda suapannya. “Bule makannya roti.” Rion tak jadi lagi menyuapkan sendokan itu ke mulutnya, mendengar Bella terus mengoceh dan bertanya padanya. “Ini mukaku aja yang bule. Aku asli Indo, kok.” “Kok bisa?” Rion menghentak napas keras, melirik geram pada perawat ini. “Bapak ini anak nemu di mana? Pak Wisnu sama Bu Ranti aja mukanya Indonesia banget.” Mulut perawat itu terhenti saat Rion menyendokkan suapan tadi ke mulutnya. Rion tertawa melihat ekspresi terkejut Bella. “Diem! Telen! Aku habisin dulu ini.” Bella mengunyah dengan lambat, memperhatikan pelan-pelan pria itu tersenyum tipis sambil menghabiskan makan malamnya. Perawat itu bersandar sambil terus menatap Rion dari samping. “Di rumah kamu ada siapa aja?” tanya Rion, memulai topik. Bella belum menyahut. “Hei!” gerutu Rion, menatap tajam Bella yang mengabaikannya. “Aku tanya, kok, nggak dijawab?” “Diem! Telen! Habisin dulu makanan itu!” Wanita ini mencibirnya. Rion mengulum senyum saat menyadari hidupnya lebih berwarna hanya dalam waktu dua hari ini. Sama seperti Naina yang sedikit cerewet, Bella juga tak henti mengomel hingga Rion yang sebenarnya lebih pendiam, akhirnya bicara untuk meladeni. Selesai makan, Rion menenggak segelas air hingga tandas. Menarik tisu di atas meja untuk membersihkan mulutnya. “Jadi apa?” “Apanya, Pak?” “Yang saya tanya tadi?” “Oh.” Bella belum bicara, hanya memperhatikan rasa penasaran di wajah pria ini. “Cuma ada aku sama Andra, adikku.” “Mama-papa kamu, tinggal di mana?” “Kenapa? Mau datengin mereka untuk ngelamar aku?” Bella terkekeh kecil, teringat aksi lamaran dadakan pria ini. “AKu tanya serius, Bel!” “Nggak ada, Pak. Cuma aku sama Andra. Papa-mamaku udah meninggal, sepuluh tahun lalu karena kecelakaan.” Rion terhenyak melihat bias ceria Bella saat mengutarakan kekurangan yang dia miliki. Wanita ini bisa tumbuh sehebat ini tanpa keluarga. Dia merasa buruk saat berpikir harusnya dia bersyukur memiliki keluarga lengkap, walau memang dirinya merasa terpenjara. “Bapak sendiri? Ah, nggak jadi. Aku bisa cek Google.” “Nggak ada yang mau kamu tanyakan?” “Nggak ada.” Bella tersenyum cuek. Segera bangkit dari duduknya, memasukkan tangannya ke saku depan seragamnya. “Itu, lain kali, Bapak yang harus traktir saya.” Rion hening. “Dan juga, ini nggak adil. Semua info tentang Bapak, bisa saya liat di Google. Jadi, nggak ada yang bisa saya tanyakan lagi.” “Banyak hal yang berbeda dari yang kamu tau,” kata Rion, dengan binar mata sendu. “Aku akan banyak cerita tentang diriku kalau kamu bersedia terima lamaranku.” Bella tertawa kecil, mengangguk tipis sebelum beranjak pergi. “Nanti saya pikirkan lagi, Pak! Selamat malam!” Bella pergi meninggalkan ruangan. Kembali hati Rion kelabu. Sejak tadi dia memandangi ponsel di atas meja. Hatinya tak tenang, tapi untuk menghubungi rumah pun, dia takut kembali terpenjara lagi. Dua hari ini terasa manis saat bertemu orang baru. Rion menikmatinya. “Nai, maaf, abang egois. Abang cuma mau istirahat sebentar lagi. Semoga Nai sehat-sehat terus.” Meski menyadari Yudha bukanlah pria yang baik, kedua orangtuanya tampak serius membicarakan lamaran. Dia sudah mengusahakan sepenuhnya, tapi tak ada yang mendengar suaranya. Yudha bukan pilihan yang tepat untuk Naina. Si kecilnya itu pantas mendapatkan yang lebih baik. Jodoh yang digariskan takdir untuknya, suatu saat nanti. ‘Nai, abang rindu.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN