Kemarahan Ditto

1294 Kata
Ditto pikir Jingga membual tentang apartemen. Tapi benar saja. Pagi harinya gadis itu menyeret paksa Ditto untuk segera pindah. Jingga bahkan tak segan melayangkan bentakan karena Ditto terus saja memundurkan waktu kepindahan mereka. Ditto melirik Jingga. Sepanjang perjalanan gadis itu terus asik sendiri dengan ponsel di tangannya. Sesekali Jingga bahkan tertawa kecil. "Lo gila ya, ketawa-tawa sendiri?!,' sewot Ditto tak suka. Ia seolah hanya dianggap supir yang sedang mengantarkan bajikan. "Berisik deh! Cepetan Rayi udah nunggu di depan apart!" Mendengar nama Ray dengan panggilan kesayangan lelaki itu disebut, Ditto lantas segera menepikan mobil ke bahu jalan. "Maksud lo apaan?! Ray nunggu di sana mau ngapain?!" selidik Ditto tak suka dengan kenyataan yang Jingga katakan. Untuk apa juga Ray di depan apartemen mereka. "Please, deh To! Nggak pake pinggirin mobil dadakkan juga bisa kali! Gue belom mau mati ya! Gue masih pengen nikah dan hidup bahagia sama suami gue!" tekan Jingga pada keinginannya tentang sebuah pernikahan. Jantung Ditto seakan diremas mendengar penuturan Jingga. 'Menikah?,' bukan kah gadis itu sudah menyandar gelar istri sekarang?! Kenapa masih ingin menikah lagi?! "Mau ngapain Ray di depan apartemen kita, hah?!" Ditto menaikkan intonasi. Terdengar seakan membentak Jingga hingga membuat Melia yang sedari tadi hanya sibuk menonton mulai geram. Entah mengapa, sejak acara ijab selesai kedua pasangan di depannya ini justru lebih banyak bertengkar. Padahal mereka ini adalah pengantin baru. "Nanya-nya biasa aja dong. Nggak usah nge-gas gitu! Please, deh! Ray kan emang tinggal di sana juga." Ditto langsung membalikkan tubuh, menatap tak percaya ucapan Melia yang duduk jok belakang. "What?!" pekik Ditto membuat Jingga reflek menutup kupingnya sendiri. Plakk!! Jingga melempar botol plastik air mineral kosong ke wajah Ditto. "Berisik deh lo! Jalan cepetan kasihan cowok gue udah nungguin dari tadi!" Hardik Jingga. "Anjrit! Heh! Dosa lo sama suami gini!" amuk Ditto yang tak terima dengan kelakuan Jingga padanya. "Liat dulu suaminya, kalau suaminya bener gue dosa. Kalau suaminya macem lo, gue justru masuk surga." Bungkam. Ditto tak lagi bisa bersuara setelah sanggahan yang sepertinya lebih cocok disebut ceramah Jingga layangkan padanya. Bibir Ditto terkatup rapat. Ia lantas kembali menginjak pedas gas, dengan sumpah serapah terus saja terucap dalam hati. Ditto bahkan tak peduli jika mungkin orang-orang di jalanan menyumpah serapahi dirinya karena ugal-ugalan. Dongkol di hati Ditto semakin menjadi ketika menyaksikan interaksi mesra Ray- sang adik junior yang sialnya tampan dan berdompet tebal, tengah melingkarkan tangan dipinggang istrinya. Catat! Istrinya! Dua manusia di depan Ditto bahkan melupakan Melia yang notabennya sahabat mereka. "Panas?! Nggak, kan?! Nggak usah ngamuk-ngamuk gitu ah, Kak. Kan katanya lo nggak suka sama sahabat gue." ledek Melia. "Muka lo bikin biasa aja dong kayak Jingga kemarin." "Maksud lo?!" tanya Ditto tak paham. "Pura-pura bego! coba lo bayangin perasaan Jingga yang cinta sama lo, tapi tahu lo jadian sama Vena tepat dihari pernikahan kalian." Melia lalu kembali melangkahkan kaki. Meninggalkan Ditto seorang diri. Fix! Ditto sendiri sekarang. Berteman ucapan Melia yang mampu menusuk tepat di tengah jantungnya. 'Kenapa deg-degan gini?!' ** "Beb aku bantuin tata kamar kamu ya?!" Dengusan datang, bersumber dari kekesalan Ditto yang muak dengan suara alay Ray. Ck! Kurang ajar memang anak itu. Ditto kesal setengah mati. Ia yang suaminya saja belum pernah menginjakkan kaki di kamar Jingga. Ini justru lelaki lain sudah dibawa masuk. Mana pintu sengaja ditutup. "Aaaa Rayiii geliiii iih." Teriak Jingga membuat Ditto berlari kencang dan menerobos masuk ke dalam kamar gadis itu. Braaakkk!!! Ditto menghempas kencang pintu kamar Jingga. Iya memang mereka telah memutuskan untuk pisah kamar demi kebaikan bersama. "Apa-apaan lo berdua jangan m***m di apartemen gue!" Ujar Ditto dengan suara keras, menyiratkan kemarahan saat melihat Ray yang berada di atas ranjang yang sama dengan Jingga. . Ray menyeringai melihat keberadaan Ditto. Ia bangkit menuruni ranjang, lalu mendaratkan ciuman singkat di kening Jingga. "Bercanda, Baby.. Maaf ya.." ucap Ray, berniat memanas-manasi Ditto. Jingga mengangguk. Ia lalu menatap Ditto. "Lo apa-apaan sih! Masuk kamar gue nggak ketuk pintu dulu." Hardik Jingga sembari ikut bangkit. "Jangan bikin dosa di apartemen gue." Ucap Ditto mengingatkan sekali lagi. Jemarinya terkepal hebat. "Yaudah Rayi, kita bikin dosanya di apartemen kamu aja yuk. m***m di sana aja biar nggak ada yang ganggu." Jingga menarik lengan Ray agar mengikuti dirinya. Ia terlalu muak melihat wajah Dito. Tega sekali laki-laki itu melemparkan tuduhan seperti tadi. Jujur saja, Jingga ingin menangis. Rahang Ditto mengeras melihat Jingga menarik lengan Ray secara mesra untuk keluar dari kamar. Ia hanya bisa diam. Tak mampu melarang, apalagi menahan Jingga untuk tinggal di apartemen. Keterdiaman Ditto abadi. Bahkan sampai suara pintu apartemen tertutup, ia masih berdiri mematung di dalam kamar Jingga. *** Dua hari berlalu sejak kepergian Jingga yang memilih pergi bersama Ray. Ditto sama sekali tak bisa menghubungi Jingga. Ponsel wanita itu mati dan Ditto tak tahu disebelah mana unit yang Ray Husodo tinggali bersama istrinya. Klik… Tatapan tajam Ditto hadiahkan pada sosok gadis yang baru saja membuka dan menutup pintu apartemen. Jingga! Ya, sosok istri yang lupa rumah itu akhirnya tahu jalan pulang. Ia datang menggunakan kemeja oversize tanpa celana, membuat emosi Ditto langsung naik secepat satelit luar angkasa. "Inget pulang lo ternyata!" Serang Ditto dengan kata-katanya. Jingga tidak menanggapi sindiran Ditto yang mengarah padanya. Ia lebih memilih berjalan menuju kamar. Namun belum sempat Jingga membuka pintu, tubuhnya ditarik dari belakang. Ditto menyeret dirinya masuk ke dalam kamar laki-laki itu. Brukk!! Ditto menghempaskan tubuh Jingga di sofa kamarnya. Mengungkung tubuh itu agar tak melarikan diri. Sreeekkkk... Mata Jingga terbelalak saat Ditto merobek kemeja milik Ray. "Baju siapa ini hah?! Pacar lo itu?! Lo udah making love sama dia hah?!" Murka Ditto tepat di wajah ayu Jingga yang menunjukan kelelahan. Lalu dengan kasar Ditto mendaratkan ciuman. Merasakan ciuman menuntut Ditto, sekuat tenaga Jingga mendorong tubuh Ditto agar terlepas darinya. Plaaakkk!! Tamparan wanita itu layangkan. "Bukan urusan lo." Jawaban yang Jingga berikan melukai harga diri Ditto, membuat Ditto semakin murka. Dengan kasar Ditto menarik Jingga bangun dari sofa. Menghempaskan tubuh Jingga yang hanya memakai dalaman ke atas ranjangnya. Ditto menaiki ranjang dan menindih tubuh Jingga. Melumat kasar bibir gadis yang ia rasa sudah tidak gadis itu. "Jangan lupa lo secara agama masih sah istri gue Patricia Jingga." Bentak Ditto. Jingga diam, dia tidak menangis. Hatinya terlalu kecewa. Berulang kali dia menahan tangan nakal Ditto yang bergerilya di atas tubuhnya. Ditto menarik paksa celana dalam Jingga hingga terlepas. Dia membuka sendiri celananya boksernya. Sakit.. Sakit sekali. Ketika Ditto mencoba memaksa masuk ke dalam dirinya. Namun rasanya sakit di hatinya jauh lebih tak tertahankan. "Lo.. Lo nggak gituanl sama Ray?!" tanya Ditto memandang tepat ke arah mata Jingga yang meneteskan air mata. Jingga masih perawan. Iya! Ada penghalang yang ia terobos saat memaksakan inti dirinya masuk ke dalam diri Jingga. 's**t!', rasa bersalah merundung Ditto. Tak seharusnya ia memperlakukan Jingga sekejam saat ini. Namun rasa yang Jingga tawarkan di dalam tubuh wanita itu membakar sesuatu di tubuh Ditto. membuat Ditto ingin terus bersatu, saling melebur dengan Jingga. "Sorry tapi gue nggak bisa berhenti di sini Ngga." Ditto menundukkan kepala, mencium bibir Jingga. Ia kembali menggerakkan pinggul ke atas ke bawah, dengan lumatan yang tak ingin terlepas. "Ah, tahan ya, Sayang. Tahan.. Abis ini nggak akan sakit. Aku janji, aku janji nggak akan sakit lagi." Ucap Ditto tanpa sadar memanggil Jingga sayang. Jingga terus merasa nyeri pada pusat dirinya. Namun Ditto masih saja membuatnya tersiksa. Belum lagi ciuman yang tak kunjung Ditto hentikan. Hingga akhirnya Jingga mendengar Ditto mengerang. Ia merasakan ada aliran tinggi menjalar, masuk ke dalam dirinya. "Ngga, ah. Ngga, Ngga, aku, aku keluar." Lirih Ditto dengan suara parau, lelaki itu melepas ciumannya dan menghujamkan diri lebih keras, menghentak dalam-dalam pada milik Jingga saat luapan besar bernama o*****e datang. Ditto menjatuhkan diri. Tangannya memeluk tubuh Jingga yang bergetar karena tangis "Makasih, Sayang. Makasih karena nggak kasih hal berharga kamu ke orang yang bukan suami kamu, Yang." Bisik Ditto semakin ngawur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN