Irna bergegas menuju ke rumah sakit tempat dia bekerja, Rian ikut dalam satu mobil bersama mereka berdua.
"Bagaimana kamu bisa bersama para mahluk mengerikan di sana?" Tanya Irna lagi, yang sudah tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Aku bilang mereka membutuhkan sedikit darah pemikat darimu." Ucapnya lagi, Rian duduk di kursi depan bersebelahan dengan Fredian.
"Lalu? Apa mereka tidak akan menghadang jalanku lagi? Dan ramuan pelemah itu apa maksudmu?" Tanya Irna lagi padanya. Fredian hanya mendengarkan ucapan istrinya. Dia sendiri juga tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh mereka berdua.
"Mungkin tidak akan menghadang lagi, ada sesuatu yang janggal. Mereka tiba-tiba bangkit mencari darah bunga kristal es. Dan tentang ramuan pelemah. Seseorang sengaja membuat tubuhmu lemah untuk mengendalikanmu." Jelas Rian lagi padanya.
Irna masih belum mengerti lalu ada sebersit hal yang terlintas dalam angannya. " Apakah ini mirip dengan ramuan penyegelan?" Sahutnya segera.
Rian menganggukkan kepalanya, dia tersenyum karena sudah mendapatkan ramuan untuk mengembalikan kekuatan Irna kembali. Ratu vampir harus segera duduk di singgasana-nya! Seperti sebelumnya.
Fredian menoleh ke arah sahabatnya yang masih tersenyum sejak tadi.
"Lalu apa peranku di sini?" Tanyanya pada Rian dan Irna. Mereka berdua terdiam mendengar ucapan keluhan tersebut terlontar dari bibir suaminya.
"Kamu suamiku!" Sahut Irna segera, dia tidak ingin Fredian kembali posesif seperti beberapa waktu lalu. Membuatnya tidak bisa bekerja dengan leluasa.
"Tentu saja aku suamimu. Triiiiinggg!" Jawaban Fredian disusul suara dering ponselnya.
"Iya halo."
"Iya sore ini di Resort."
"Kamu meeting lagi?" Tanya Irna padanya.
"Hem, di resort nanti malam." Ucapnya sambil tersenyum menatap ke arah mereka berdua. Sekitar dua puluh menit mobil Fredian sampai di rumah sakit dimana Irna bekerja.
Rian dan Fredian kembali yang satunya menuju pusat penelitian NGM, dan Fredian menuju ke Resort miliknya.
Irna melihat bajunya yang kotor, dia segera mengambil pakaian ganti di ruangan ganti, di dalam loker pribadinya. Ruangan tersebut terletak agak jauh dari ruangan kerjanya.
Selesai berganti pakaian dia dikejutkan suara langkah kaki yang tengah melangkah mendekat ke arahnya. Dia mencium aroma parfum Evan Herlands.
"Pria gila ini! Ngapain dia menyusulku kemari!" Gerutunya kesal sekali. Lalu cepat-cepat keluar dari dalam ruangan ganti tersebut.
"Dokter Kaila, tunggu sebentar." Panggilnya pada Irna.
"Kita bicara di luar saja." Sahut Irna santai, lalu mendahuluinya keluar dari dalam ruangan tersebut.
"Ada apa?" Tanya Irna padanya. Dia tidak ingin berlama-lama bersama Evan.
"Kenapa terburu-buru sekali? Wah kamu secepat ini pulih." Evan melihat luka di kaki dan lengan Irna perlahan terhapus sedikit demi sedikit dan kembali halus seperti sediakala.
Irna hanya tersenyum mendengar ucapan basa-basi dari bibir Evan Herlands. Dia tahu pria di depannya itu hanya ingin mengulur waktu. Irna kini curiga, jika Evan-lah yang diam-diam telah membuat tubuhnya melemah. Tapi selama belum menemukan bukti yang kuat, dia juga tidak mungkin mengucapkan tuduhannya pada pria di depannya itu tiba-tiba.
"Aku ingin berpamitan kembali ke London." Ucapnya sambil menunjukkan layar ponselnya, berisi pesan dari Rian Aditama. Yang memerintahkan kepada dirinya agar mengurus rumah sakitnya yang ada di London, secepatnya.
Irna terdiam mendengar pria itu ingin pergi, baginya ini seperti menang lotere. Dia sudah sangat kesulitan untuk menghindari pria di depannya itu. Tapi kini malah dia hengkang sendiri dari rumah sakit Rian yang berada di Perancis tersebut.
"Melihat senyuman tersungging pada wajah cantikmu, membuatku ingin membatalkan niat untuk kembali ke London." Ujarnya sambil menyeringai lebar, sambil meletakkan kedua telapak tangannya di dalam saku celananya.
"Kau! Kau sengaja membuat tipuan ini! Dasar pria sinting!" Irna meremas jemari tangannya sendiri. Dia kesal sekali karena merasa dipermainkan oleh Evan Herlands.
Seusai menangani operasi malam itu Irna segera menghubungi Fredian.
"Apakah kamu bisa menjemputku?" Tanyanya pada Fredian.
"Aku masih meeting sayang, aku akan mengirimkan sopir ke sana." Ujarnya pada Irna. Mendengar itu Irna segera mengakhiri panggilan telepon darinya. Gadis itu masih memakai baju hijau rambut panjangnya masih berada di balik tudung perlengkapan boperasi, Irna mendongakkan kepalanya. Bersandar di dinding lorong rumah sakit.
"Dokter Kaila, kami duluan." Beberapa orang berlalu dari hadapannya, mereka asisten yang telah membantu dirinya menyelesaikan operasi baru saja.
Irna hanya tersenyum melambaikan tangannya.
"Dia mengirimkan sopir untukku? Bagaimana jika makhluk-makhluk aneh itu kembali muncul dan menyerang! Apa dia senang melihatku dimangsa mahluk buas itu!" Irna ingat saat berada di dasar lembah. Jumlah mereka tak hanya ratusan tapi lokasi tersebut lebih mirip kampung iblis.
Dan Irna juga ingat penyamaran Rian begitu sempurna sampai bisa menyerupai wujud mereka. Yang menjadi pertanyaan Irna adalah bagaimana pria itu bisa tiba-tiba berada di sana. Bagaimana bisa dia ada di sana. Karena Fredian sempat bilang Rian tidak bisa dihubungi saat mereka masih berada di tengah jalan.
Irna sampai saat ini masih belum menemukan titik terang misteri tersebut.
Belum sampai dia melangkah ke ruang ganti, dia sudah mendapatkan pesan lagi. Kali ini dari Karin, saingannya. Bukan dari Fredian atau Rian.
"Aku menunggumu di restoran Cinale."
Begitulah pesan yang dikirimkan oleh Karin padanya. Irna hanya menggelengkan kepalanya, pikirnya tak perlu dia meladeni wanita yang sudah bertahun-tahun tergila-gila dengan suaminya itu.
Karin hanya akan menambah masalah baru jika dia tetap melayaninya. Irna memasukkan ponselnya kembali ke dalam sakunya. Lalu melangkah menuju ruang ganti. Sekitar sepuluh menit dia keluar sudah memakai baju gantinya.
Irna melangkah menuju ruang kerjanya, untuk mengambil tasnya lalu menuju ke lobi rumah sakit bersiap-siap untuk pulang.
Dia terkejut karena malah Rian yang datang, pria itu tersenyum melihat wajah biasnya. Rian Aditama tetap tampan seperti biasanya. Karismatik dan menatap Irna dengan tatapan mata penuh dengan rasa sayang.
"Apa kamu sedang mengambil berkas?" Tanyanya pada Rian, dia tidak ingin menduga jika pria itu yang diminta oleh suaminya untuk menjemputnya. Jika benar berarti Fredian masih memikirkan keselamatan dirinya. Tapi pria itu menyebut Rian dengan sebutan 'sopir' kini Irna tertawa mengingat suaminya menyebut pria yang sejak awal sebagai rivalnya itu sebagai sopir pribadinya.
"Kenapa? Apa yang membuatmu menertawaiku?" Tanya Rian tidak mengerti.
"Tidak ada, ayo kita pulang." Ucapnya sambil menarik lengannya pergi menuju ke arah mobilnya terparkir.
"Aku baru datang, kenapa malah mengajakku pulang? Ada sesuatu yang membuatku datang ke rumah sakit." Ucapnya sambil tersenyum melihat perubahan wajah Irna yang awalnya cerah mendadak jadi terkejut.
"Oh! Jadi rupanya aku salah kira? Ya sudahlah lakukan saja pekerjaanmu." Ucap Irna sambil duduk kembali di kursi lobi menunggu jemputan datang.
"Aku bohong. Ayo pulang." Ujarnya tersenyum menatap wajah masam Irna.
Irna menggembungkan pipinya lalu mendahuluinya melangkah menuju mobil Rian. Tanpa diperintah dia segera naik ke dalam. Matanya kembali terbelalak melihat Evan duduk di kursi belakang.
"Kenapa kamu juga membawa pria m***m ini?" Tanyanya pada Rian.
"Dia aku minta untuk membantu di laboratorium." Ujarnya santai lalu menyalakan mesin mobilnya menuju Resort Fredian.
Irna ingin mengatakan pada Rian siapa Evan sebenarnya, tapi dia selalu tidak punya kesempatan untuk mengatakan itu. Dia takut terjadi sesuatu pada Rian.