"Terus sekarang, lo udah dapet kerjaannya?" tanya laki-laki berambut jabrik yang ujungnya dicat merah itu, ketika Bintang sudah duduk di sebelahnya. Sedangkan tangannya baru saja menjatuhkan sebuah gelas kosong di atas meja.
"Yah ... bisa dibilang begitu." Bintang menatap bartender sebelum menyerukan pesanannya. "Lo yang bayarin, kan?"
Galang menatap Bintang sinis sebelum mengangkat bahunya tidak peduli. "Pesen aja semau lo!"
"Bagus, kalau gitu gue nggak akan ragu nguras isi kantong lu malam ini."
Galang meliriknya, laki-laki yang kadang terlihat menyebalkan itu kini tampak serius dengan ekspresinya yang berbeda dari biasanya. "Lama-lama lo nggak ada bedanya sama cewek-cewek yang biasa nempelin gue selama ini. So, lo dapet kerjaan di mana?" tanyanya seraya mengambil gelasnya yang telah diisi penuh kembali dan meminumnya.
"Di sekolahan."
Bruhhh....
Minuman yang diteguk laki-laki itu menyembur keluar, sedang matanya melotot menghadap Bintang yang tengah meminum minumannya dengan tenang. "Kenapa kaget? Biasa aja, kalau lo tertawa itu malah luar biasa."
Galang nyengir sebelum membuang pandangannya ke arah gadis-gadis yang berkeliling di sekitar mereka. Ia menyunggingkan senyum, sedang tangannya seperti mengode mereka untuk mendekatinya. Beginilah hidup dan dunianya. Bebas dan berfoya-foya tak terbatas.
Sewaktu mereka hanya berjarak sekitar satu meter dengannya, barulah Galang bersuara. "Gue nggak nyangka aja lo bakal berakhir di tempat seperti itu."
Satu gadis bergelayut manja di salah satu tangan Galang saat Bintang menoleh guna menghadap wajah sahabatnya sejak kuliah tersebut. "Gue juga nggak, tapi kayaknya itu tempat yang lebih baik daripada ngganggur di rumah, kan?"
"Kalau lo mau, lo bisa minta Arash atau gue nyariin kerjaan lo, tapi kenapa Bi ... kenapa lo nggak minta kita nyariin lo kerjaan gitu aja?"
Bintang menatap langit-langit di atasnya saat menjawab, "Karena gue enggak mau punya hutang budi, sama siapa pun temen gue."
Galang berdecih, matanya menatap ke salah satu gadis yang bergabung untuk menggelayuti lengannya. Ia menginterupsikan sebuah perintah dari sorot mata dan gerakan wajahnya. 'Godain dia!' seperti itulah isi perintahnya sebelum ia mengedip genit dan mengangguk ke arah gadis itu.
Ah, bukan gadis lagi. Lebih tepatnya wanita. Bintang mendengus saat merasakan sebuah gelayutan di tangan kanannya menyusul sebuah kecupan yang diberikan wanita itu ke kemeja putih yang digunakannya. Bintang hanya berdoa, semoga saja ciuman wanita itu tidak meninggalkan bekas sama sekali.
"Lo bawa ngamar gih, gue yang bayarin!"
Bintang melirik sinis sebelum menghela napasnya. "Lo udah mau pergi?"
"Hooh, lo juga kan?"
Bintang menganggukkan kepalanya sebelum berdiri. "Gue mau pulang kalau lo mau pergi, lain kali kita ketemuan di tempat yang lebih bener dikit dari ini, Lang!"
"Anjir lo sok alim lagi."
"Bukannya sok alim, tapi gue lagi jaim. Bentar lagi jadi guru masa kelakuannya masih enggak mutu?"
Galang mengangkat kedua tangannya ke atas sebelum berkata, "Semoga lo cepet kembali ke jalan lo sendiri!" balas laki-laki itu yang mengiringi kepergian Bintang dari tempat laknat yang mungkin saja akan ditinggalkannya tersebut.
Kembali ke jalan gue sendiri? Bintang mencemoohnya dalam hati.
Ia tidak bisa kembali, tidak akan bisa. Selama hatinya masih hancur dan seberantakan itu. Kembali bukanlah salah satu pilihan yang tepat untuknya.
***
Viola menatap ayahnya yang kali ini mengunci pintu rumah begitu saja. Padahal jam masih menunjukkan pukul sembilan malam, tapi ayahnya sudah mengunci pintu dan meninggalkan kunci itu di tempatnya. Ia menghela napas sebelum naik ke kamarnya.
Ketika di lantai dua, matanya menoleh ke arah koridor sebelah kanan. Di mana di ujung koridor itu ada kamar kakaknya. Kamar laki-laki yang tadi pagi membuatnya tersenyum lega dan bahagia, lebih daripada di hari biasanya.
"Apa gue perlu ngecek dia udah ada di kamarnya atau belum ya?" ia tampak menimbang-nimbang. Apakah dia harus mengecek kondisi kakaknya atau tidak di kamarnya?
Memang kakaknya sakit apa, sampai ia harus mengecek kondisinya segala? Ah bukan itu ... lebih tepatnya, apakah kakaknya sudah pulang atau belum?
Viola menggelengkan kepalanya dan berbalik pergi menuju kamarnya sendiri. Hingga sampai di dalamnya ia menyenderkan punggungnya di pintu dan menghela napas gusar. "Apa gue beneran harus ngecek kondisi dia, ya?"
Otak dan hatinya berperang lalu ia menggelengkan kepalanya dan bergerak menuju meja belajar. Menyalakan lampu, mengeluarkan buku dan mulai membaca.
Dia bukanlah gadis cerdas, tapi dia adalah gadis yang giat dan pantang menyerah. Viola akan berusaha semampunya hingga mencapai hasil yang sempurna. Walau di kenyataannya. Tidak ada yang sempurna di hidup gadis itu.
***
Suara mobil memasuki pekarangan rumah membuat gadis itu mendongak dari aktifitas belajarnya. Kakinya langsung berdiri, menghampiri jendela dan menyibak tirainya guna melihat ke luar. Kakaknya keluar dari mobil itu dan berjalan menuju pintu. Namun hingga menit-menit berlalu, kakaknya tidak bisa masuk dan berakibat pada bunyi nyaring bel rumah yang membuat Viola tersenyum.
Dengan semangat gadis itu berlari ke luar kamar, turun tangga dan menghampiri tempat kunci rumah berada sebelum menuju pintu depan dan membuka kuncinya. Bintang langsung menatap Viola terkejut, dia tidak menyangka bahwa adiknya-lah yang akan membukakan pintu untuknya malam ini.
"Lo belum tidur?" Suara laki-laki itu memang terdengar berat, tapi lebih daripada semua itu. Dia lebih terkejut ketika melihat adiknya berdiri tepat di hadapannya dengan senyuman lebar, sebelum senyuman itu sirna ketika Viola menangkap bekas lipstik di kemeja putih yang digunakan kakaknya.
Menyusul aroma rokok bercampur alkohol yang masih tersisa di sana. Indra penciuman Viola masih bisa menangkapnya, walau samar, tapi gadis itu yakin bahwa memang benar itu adalah aroma rokok dan alkohol yang berkumpul. Jangan bilang....
Tanpa disadarinya kakinya mundur menjauhi Bintang. Refleks yang tidak diketahui Viola apa maksudnya, tapi yang jelas ... Viola tengah ketakutan.
Bintang melihatnya dengan kening mengernyit sebelum mendekati adiknya dan menepuk puncak kepala gadis itu. Viola menunduk takut. Ia tidak berani, ia tidak suka kakaknya seperti ini. Bintang yang dulu dikenalnya bukanlah laki-laki yang bisa meminum minuman keras seperti prasangkanya sekarang. Bintang juga tidak pernah merokok, apalagi bekas lipstik itu ... Kakaknya bukanlah orang yang seperti itu.
Namun mengapa Bintang berubah?
Tangan laki-laki itu turun, menarik dagu Viola yang masih membeku karena ketakutan. Bintang tersenyum, diciumnya kening gadis di depannya itu dengan pelan dan lembut. Ciuman yang cukup lama, karena Bintang sedikit menikmati ketika bibirnya bersentuhan langsung dengan kulit lembut milik adiknya. Sebelum laki-laki itu berkata, "Selamat malam!"
Dan dia pergi meninggalkan Viola yang kini bertahan pada posisi saat Bintang menciumnya. Mulutnya menganga, sedang matanya terbuka lebar. Apa yang terjadi dengan Viola?
Dia yang awalnya ketakutan, membeku, lalu seperti ini? Sebenarnya apa yang tengah terjadi dengan tubuhnya?