Nessa menatap Attar dengan serius, lalu berkata dengan nada rendah, "Attar, tante tidak mengatakan yang sebenarnya pada Sandra. Sandra tidak tahu bahwa kamu sebenarnya telah menikah." Matanya tampak penuh kekhawatiran saat dia melanjutkan, "Kata dokter, kondisi Sandra akan memburuk jika ia mendapat kabar yang mengganggu. Tante mohon, kamu harus benar-benar merahasiakan pernikahanmu ini, ya?"
Attar langsung mengangguk dengan tegas, "Tentu saja, tante. Saya juga memang akan merahasiakan ini dari Sandra." Suara dan ekspresinya tampak sungguh-sungguh. Attar berjanji untuk menjaga rahasia ini dengan setulus hati.
Nessa tersenyum lega mendengar jawaban Attar. Namun, saat itu, di balik dinding, Zahra merasa terpaku di tempatnya. Hatinya terasa hancur mendengar percakapan ini. Ia merasa seperti menjadi seorang figuran dalam permainan yang rumit ini, sebuah peran yang disembunyikan dan dilupakan. Rasa nyeri di dadanya semakin dalam, dan ia merasakan betapa sulitnya posisinya saat ini. Ia ingin berbicara, ingin berteriak, namun dia merasa tak mampu melangkah lebih jauh.
Beberapa saat kemudian Attar memutuskan untuk pamit pada Sandra, "Sandra, aku harus pergi. Aku akan menjengukmu lagi nanti, baik? Kamu harus istirahat dan sembuh dengan baik."
Sandra mengangguk dengan senyum tipis, "Tentu, Attar. Aku mengerti. Terima kasih sudah datang."
Namun, sebelum Attar sempat pergi, Sandra berkata. "Zahra, bisakah kamu menemaniku malam ini? Aku merasa butuh teman bicara."
Zahra pun mengangguk dengan lembut, meskipun perasaannya masih penuh dengan kebingungan dan pertanyaan yang tak terjawab. Sandra tidak menyadari bahwa Zahra adalah istri Attar sekarang, dan Zahra pun menyetujui permintaan Sandra dengan sekuat tenaga, meskipun terasa berat.
Setelah Attar meninggalkan kamar perawatan Sandra, Nessa seperti biasa menyapa Zahra dengan ramah dan bersikap seperti biasanya. Zahra mencoba untuk menjaga sikapnya, meskipun di dalam hatinya masih terasa hancur akibat semua rahasia yang terungkap. Sandra pun tak menyadari kenyataan yang sebenarnya, dan dia terus terlibat dalam dunianya sendiri.
Zahra duduk di samping ranjang tempat Sandra berbaring, senyum lembut terukir di wajahnya saat melihat sahabatnya. "Bagaimana perasaanmu hari ini, Sand?" tanyanya dengan nada lembut.
Sandra tersenyum dan melihat Zahra dengan mata hangat, "Hari ini agak lelah, tapi berbicara denganmu membuatku merasa lebih baik."
Zahra mengangguk mengerti, "Aku senang bisa datang dan menemanimu. Memang, selalu saja menyenangkan berbincang denganmu."
Sandra mengangguk setuju, "Aku juga merasa begitu. Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih ringan, Ara."
Keduanya pun tertawa, mengingat semua kenangan dan momen lucu yang mereka bagikan selama bertahun-tahun persahabatan mereka. Mereka bercerita tentang apa yang terjadi di pekerjaan masing-masing, berbagi gosip kecil, dan juga merenungkan masa lalu yang indah.
"Ingat saat kita pertama kali bertemu di SMA?" tanya Sandra dengan mata berbinar-binar.
Zahra mengangguk sambil tersenyum lebar, "Tentu saja! Kamu yang dengan penuh semangat mendekat dan bertanya, 'Kamu mau jadi sahabatku?'"
Sandra tertawa, "Aku masih ingat itu! Dan kamu dengan santainya menjawab, 'Kenapa tidak?'"
Keduanya pun saling tertawa, mengenang kenangan indah masa lalu mereka. Tidak ada yang tahu bahwa di balik tawa dan obrolan ringan itu, Zahra menyimpan rahasia besar yang berkaitan dengan Sandra dan Attar. Namun, di saat ini, mereka bisa kembali menjadi sahabat seperti biasa, tanpa ada beban rahasia yang mengganggu.
Saat Sandra sudah tidur dan beristirahat, Nessa mengajak Zahra keluar dari kamar untuk berbicara. Zahra mengangguk, meskipun dalam hatinya ada perasaan cemas akan apa yang akan Nessa bicarakan.
Setelah mereka berdua berada di luar kamar, Nessa memandang Zahra dengan tatapan sinis. "Bagus ya kamu, mau maumu menggantikan posisi Sandra menjadi pengantin. Tidak punya harga diri. Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Sandra jika tahu kenyataan ini."
Zahra menunduk, merasakan beratnya kata-kata yang diucapkan oleh Nessa. Ia merasa terpojok dan merasa kesalahan yang ia buat terus dihempaskan padanya. Air mata mulai mengalir dari matanya ketika Nessa terus memojokan dan menghina Zahra.
Nessa terus melanjutkan ucapannya dengan nada mengejek, "Kamu selalu mengatakan dirimu sebagai sahabat Sandra, tapi kamu bahkan tak peduli dengan perasaannya. Kamu mengkhianati persahabatan dan kesetiaan. Kamu pikir kamu bisa memenangkan semuanya dengan cara ini?"
Zahra mencoba untuk menahan air matanya dan berbicara, "Saya tidak bermaksud seperti itu, tante. Saya tahu saya salah..."
Namun, Nessa tak memberi kesempatan pada Zahra untuk melanjutkan ucapannya. Ia terus menyudutkan dan merendahkan Zahra dengan perkataannya, membuat Zahra semakin hancur dan terluka oleh hinaan yang diucapkan.
Nessa terus melanjutkan hinaannya, "Sudah cukup, Zahra! Aku tak ingin melihat wajahmu lagi di sini. Kamu bisa pergi sekarang dan jangan pernah mengganggu Sandra lagi. Aku ingin kamu menjaga jarak dari dia. Dia akan menderita karena ulahmu."
Zahra mencoba mengontrol emosinya, tetapi kesedihannya begitu besar hingga tak bisa ditahan. "Maaf, tante. Saya sungguh menyesal atas semua ini."
Nessa hanya menggelengkan kepala dengan nada meremehkan, "Penyesalanmu tidak akan mengubah apa-apa. Sama sekali tidak akan memperbaiki kerusakan yang sudah kamu sebabkan. Pergilah, Zahra. Jangan pernah kembali lagi."
Zahra merasa hatinya hancur oleh penolakan dan hinaan yang ia terima dari Nessa. Dengan langkah berat, ia berbalik dan meninggalkan tempat itu, tetapi tidak sebelum mengucapkan maaf sekali lagi. Ia merasa sedih dan terluka oleh akibat dari pilihan yang ia buat.
Dengan langkah ragu, Zahra memasuki rumah Liliana dan diarahkan oleh salah seorang pegawai untuk masuk ke kamar Attar. Detak jantungnya berdegup kencang saat melihat Attar terbaring di ranjang, tidur lelap. Wajahnya tampak tenang, seperti tidak ada masalah yang sedang terjadi.
Zahra merasa dilema. Hati nuraninya bertentangan dengan perasaan kantuk yang mulai menghampiri. Kamar itu tampak nyaman dan sofa panjang di sebelah tempat tidur menarik perhatiannya. Dengan ragu, ia mendekati sofa dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tubuhnya merasa lelah setelah perjalanan emosional yang panjang.
Zahra memejamkan mata, dan seiring dengan lelahnya, ia pun akhirnya tertidur di sofa panjang itu. Tanpa sadar, ia memasuki alam mimpi yang penuh dengan perasaan campur aduk mengenai pernikahan yang tiba-tiba dan kompleks yang terjalin di antara mereka.
Sementara itu, Attar yang tidur di tempat tidurnya tidak menyadari kehadiran Zahra di ruangan. Ia terus mendapatkan istirahat yang ia butuhkan, tanpa tahu betapa Zahra ada di dekatnya, tidur dengan hati yang terbebani oleh rahasia yang tersembunyi.
Tidur Zahra tidak terlalu nyenyak, dihantui oleh mimpi-mimpi penuh kebingungan dan perasaan campur aduk. Namun, tiba-tiba dia merasakan dorongan keras dari samping. Ia terbangun dengan kaget dan melihat bahwa Attar sedang berdiri di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi kesal.
"Kamu apa-apaan di sini?" tanya Attar dengan suara yang tajam dan dingin. "Apa kamu tidak mengerti instruksi untuk menjaga jarak?"
Zahra yang masih merasa terkejut dan bingung mencoba menjelaskan, "Aku... aku hanya ingin beristirahat sebentar, Attar. Maaf kalau aku mengganggumu."
Attar merasa semakin kesal dan mengangkat tangannya untuk menunjuk pintu. "Kalau begitu, keluar dari sini sekarang. Kamu tidak punya hak untuk berada di dalam kamar ini."
Zahra merasa tersinggung oleh perlakuan Attar yang kasar dan tak mendengarkan penjelasannya. Dengan hati yang berat, ia mengangguk dan berdiri dari sofa. Ia melewati Attar yang masih berdiri dengan wajah kesal, lalu keluar dari kamar dengan langkah berat.
Pintu kamar itu ditutup dengan keras di belakangnya, dan Zahra merasa semakin hancur oleh perlakuan Attar. Ia merasakan kesedihan dan frustasi yang mendalam, bertanya-tanya mengapa semuanya bisa berubah secepat ini. Dalam hati, ia berharap agar segalanya bisa kembali seperti sebelumnya, ketika persahabatannya dengan Sandra dan perasaannya terhadap Attar tidak rumit dan menyakitkan seperti sekarang.