Part 2
Terkadang kita terlampau sombong seakan tahu jika kita sekuat baja. Padahal kenyataannya, kita selemah kaca yang mudah hancur berserakan.
****
Aku duduk di bangku kantin seorang diri. Rahma sudah berkumpul dengan teman sekelasnya. Sedangkan aku? Lebih memilih untuk berdiam diri sambil membaca sebuah novel karya Dan Brown berjudul Origin. Entah kenapa novel ini menjadi novel favoritku di kala aku ingin menguras otak. Apalagi sekarang aku lagi sendirian dan tak ada perusuh macem Kakak tercintaku, jadi aku bisa sepuasnya membaca novel tersayangku ini.
Tukk....
Baru saja aku merasakan sebuah ketenangan, kenapa tiba-tiba ada yang mengganggu kebahagiaanku?! Apa mungkin Kakak sudah mengutukku ya? Ah atau aku kualat sama Kakak jadinya kaya gini. Memang dasar aku ini, bisa-bisanya melawan Kak Aufar tadi. Pasti lelaki itu lagi mengumpat di ruangannya sambil menyumpahiku, makanya aku bertemu orang-orang menyebalkan hari ini.
Kesal karena waktuku terganggu, aku langsung menatap sosok asing yang tidak aku kenali. Eh gak asing si, karena mereka adalah orang yang aku jumpai saat pertama kali menginjakkan kaki di sini. Terus juga mereka kan Dosen yang katanya banyak fansnya, jadi wajar saja jika kehadirannya membuat semua mata menatap ke arah mejaku sekarang. Lagian juga aku gak kenal sama mereka, bukankah seharusnya mereka mencari tempat lain untuk duduk? Kenapa juga harus di sini.
"Sendirian aja? Kamu gak gabung sama teman-teman yang lain?" Kenapa aku harus gabung? Malas sekali gabung sama mereka. Paling mereka hanya sibuk membicarakan berbagai macam merek make up yang sama sekali tidak membuatku tertarik sedikit pun. Lebih baik aku menyendiri di sini bersama buku Dan Brown kesayanganku, dan tenggelam dalam ribuan kata yang penuh pesona. Bukan pesona si tapi penuh misteri, karena banyak teka-teki di dalamnya.
"Kenapa Bapak di sini? Kan masih ada tempat lain. Lagian juga ya Pak, kehadiran Bapak-Bapak ini menarik yang lain. Lebih baik Bapak pindah tempat deh." Sindirku membuat mereka tidak juga beranjak pergi.
"Ahh...Pasti kamu bingungkan? Kenalkan, nama saya Andri Sebastian. Sahabat makhluk es dari jabang orok. Dan kamu pasti sudah tahukan dia siapa? Dia Ardi Wijaya lelaki yang masih jomblo sampai detik ini."
"Ouhh, aku Aurellia Atmadja Pak." Mencoba ramah pada lelaki di depanku, padahal nyatanya aku malas apalagi melihat temannya. Dih sok dingin sekali. Dan apa tadi? Masih jomblo? Wajar si sosok dingin macem kutub utara itu persis kakaknya, kalau gak dapat jodoh ya wajar siapa juga yang mau sama dia.
"Siapa juga yang mau sama kamu? Badan kurus kerempeng aja." Sindiran tajam itu membuat aku menatapnya dengan serius. Dari mana lelaki itu tahu isi hatiku?!
"Kok Bapak tahu apa yang saya pikirkan? Ah Bap--"
"Mudah sekali terbaca dari wajah jelekmu itu."
"Dih ngeselin banget. Mending Bapak berdua pindah deh, ganggu waktu saya aja." aku berusaha mengusir lelaki di depanku tapi sahabatnya yang terdiam tadi berseru dengan keras membuat semua orang semakin menatapku penasaran.
"Kamu adiknya Aufar Atmadja?!" Hadeh orang satu ini. Tidak bisa ya untuk tidak hiperaktif? Aku kan malas jika ada orang-orang yang nanti merusuhiku mengenai hal yang berhubungan dengan Kak Aufar. Mengurus fansku saja kadang aku suka pusing, ya karena memang aku tidak bisa melihat keramaaian kalau sampai terjadi auto pingsan akutuh.
"Ya kak, aku adiknya dia. Kenapa ya?" Tanyaku malas.
"Kebetulan! Nanti pulang kampus anak-anak basket mau ke rumahnya. Jadi kamu wajib anter kita ya!" Seru Pak Andri riang. Apa hubungannya kakak dengan dua makhluk di depanku? Astaga aku lupa! Kakak kan dosen di sini jadi wajar saja jika mereka saling mengenal bukan? Aurelia bodoh sekali kamu.
"Udah janjian sama Kakak?" Tanyaku membuat sosok di hadapanku menunjukkan sebuah chat bertuliskan "Datang saja."
'Aishhh..Kakak menyebalkan sekali! Padahal hari ini aku berniat untuk bersemedi di dalam kamar, kalau gini kan bisa gagal. Karena pasti aku jadi babunya nanti.' Batinku meronta. Kakak ku memang terbaik dalam hal menghancurkan hari-hariku.
"Yaudah nanti kita sama-sama ke sana." Aku melanjutkan kembali bacaan yang sempat tertunda dan membiarkan kedua cowok di depanku berbicara banyak hal mengenai basket. Ah, basket? Entah kenapa novel Dan Brown di tanganku tidak jadi menarik saat mereka membahas masalah basket di hadapanku. Ah.. aku rindu basket.
***
Benar dugaanku, lepas di jemput oleh makhluk yang aku sebut dengan kakak. Pria berusia 25 tahun yang sialnya sangat cerdas bak einstein itu mengajak beberapa makhluk ke rumah kami, termasuk dua Dosen yang mengganggu jam istirahat aku tadi.
"Mama Lia pulang!!!"
"Berisik!!" Kak Aufar memarahiku di depan teman-temannya. Sedangkan aku langsung menghentak-hentakkan kaki sambil memasuki rumah.
"Kenapa si merengut hem?" Wanita cantik dengan gaun rumahannya keluar dari lantai atas, dia adalah wanita terhebat yang melahirkan aku ke dunia ini, Aila Atmadja. Bukannya menjawab wanita yang paling kucintai ini, aku malah memeluknya.
"Kenapa lagi hem?"
"Kakak marahin Lia Ma, hikss."
"Drama aja terus! Mending bikinin temen-temen kakak minum sana!"
"Kakak! Adiknya jauh aja kamu kangen, giliran deket kaya gini. Kamu maunya gimana si kak?" Tegur Mama.
"Maaf ya Mama ku tersayang, anak Mama yang satu ini sudah melanggar janji!"
"Maksud kamu apa si?" Tanya Mama membuat Kak Aufar tersenyum mengejek ke arahku. Kini, saatnya aku pengalihan situasi!
"Ma, temennya Kakak gak di suruh masuk dulu?" Tanyaku tanpa melepaskan pelukan kami.
"Ouh ya! Masuk semuanya! Anggap rumah sendiri ya." Teman-teman Kak Aufar yang berjumlah 10 orang memasuki kediaman kami. Kalian bisa bayangkan acara pulang tadi heboh dengan rombongan motor yang mengikuti kami, namun aku tidak peduli akan hal itu. Yang aku pedulikan hanya satu, aku akan jadi babu hari ini. Yang aku herankan kenapa dosen muda itu sangat senggang sekali? Apa dia tidak memiliki kerjaan ya?
"Aku ketemu dia Ma." Perkataanku menghentikan gerakan Mama yang tengah beramah tamah. Menjadi menatapku dengan khawatir. Tatapan yang sama peris yang ia tunjukan padaku kala itu.
"Apa maksud kamu ketemu dia?!" Bentakan Kak Aufar menarik perhatian semua orang yang ada di kediaman kami. Termasuk teman-temannya.
"Jangan bentak adik kamu di depan Papa." Pria tampan, baik hati dan tegas itu turun dari tangga dengan pakaian santainya. Dia, Arsen Atmadja. Pengusaha sekaligus papa terbaik yang aku miliki. Seorang Papa luar biasa yang tidak bisaku deskripsikan dengan kata-kata karena aku sangat mensyukuri memiliki Papa sepertinya.
'Waw! Tumben sekali papaku yang gila kerja sudah ada di rumah sesore ini.' Batinku berteriak seakan menolak keberadaannya di rumah. Padahal ya, setiap kali Papa tugas ke luar negeri. Pasti aku sangat merindukannya. Memang ya namanya juga manusia.
"Dih! Papa juga baru turun, itu namanya bukan di depan papa." Jawab Kak Aufar malas.
"Songong sekali kamu anak muda. Jadi kamu ketemu si b******k itu? Papa pikir dia sudah mati." Papa menjawab dengan ketus. Dih, si Papa mah tidak melihat apa teman-teman Kak Aufar jadi kepo. Termasuk dua orang yang sialnya menjadi penggangguku hari ini.
"Serah kalian lah. Aku mau naik dulu ganti baju terus aku mau main ke rum--"
"Gak boleh! Enak aja lagi banyak tamu main pergi. Kamu di rumah aja temenin Mama sama si Mbo Darsi buat makanan." Tuh kan? Sudah aku duga waktu tenangku akan terganggu oleh mereka semua. Ihh.. menyebalkan sekali hari ini! Udah ketemu mantan kaya setan, Kakak paling menyebalkan dan sekarang? Ahhh... aku tidak bisa seperti ini!
"Tapi Ma, aku kan mau main sama Bunda." Aku merengut tanpa melepaskan pelukan kami. Memang dari tadi aku tidak mau melepaskannya. Habis aku kangen sama Mama yang kadang di culik sama Papaku tercinta demi menemaninya bertugas.
"Gak boleh! Kamu tuh gak kangen sama Mama? Mama baru sampe loh di sini. Tapi kamu malah kaya gini, oke kamu sekarang gitu ya. Mama kasih orang semua coklat yang Mama bawa." Drama queen. Mama sama aku itu sama persis, suka mendramatiskan keadaan padahal mah kenyataanya tidak seperti itu. Tapi bicara coklat, aku tidak bisa menolak untuk hal yang satu itu. Jadi Bunda, maafkan anakmu yang tidak bisa kesana sekarang.
"Jangan dong Ma. Baik, anakmu yang manis dan imut ini akan melaksanakan tugas negara. Kalau gitu aku keatas dulu, bye semuanya!!"
Meninggalkan keramaian yang ada di lantai bawah aku bersiap untuk berperang melawan kompor dan segala jenisnya. Andai saja hari ini tidak ada, pasti aku sudah main ke rumah Bunda atau tidur nyenyak bak putri Aurora. Karena aku suka tidur. Karena tidur itu lebih nikmat dibandingkan keliling mall bersama Mama dan Bunda. Karena aku tidak suka keramaian.
Tidak perlu membutuhkan waktu lama untukku berganti pakaian, aku sudah berada di dapur. Menyiapkan cemilan cepuluh untuk teman-teman Kakak, tak lupa sambil menggerogoti coklat oleh-oleh dari Mama tercinta.
"Ma kita mau main basket, nanti makananya di antar ke belakang aja ya. Terima kasih ciwi-ciwi." Kak Aufar muncul dengan celana pendek serta baju basketnya.
"Aku ikutan boleh Kak?" Pertanyaanku dibalas dengan gelengan kepala. Membuat aku ingin sekali melempar pisau kearahnya. Dasar pelit!
Setelah merapikan makanan di atas nampan. Kami langsung berjalan menuju belakang rumahku yang memang adalah kawasan olahraga. Karena bukan hanya lapangan basket, melainkan ada kolam renang, serta tempat kebugaran berada. Memang lokasinya di buat di taman belakang karena itu permintaan Kak Aufar dulu. Ah sampai lupa! Ruang bela diri yang bersebelahan dengan lokasi tempat kebugaran. Terus ada juga taman yang lokasinya berada paling belakang dari tempat ini, dan biasanya taman itu kami gunakan saat kumpul keluarga atau ada acara barbequean gitu.
"Papa mau tantang anak muda seperti kalian! Papa akan satu tim dengan Lia, Ardi, Andri, dan kamu anak muda siapa nama kamu?"
"Rich Om."
"Ah, ya Rich! Dan kamu anak luknut tercintaku pilihlah anggotamu." Aku bersorak riang! Tak salah aku memakai training olahraga hari ini, karena Papa sangat peka dengan kondisiku. Aku yakin Papa kenal mereka berdua karena keduanya satu lokasi yang sama dengan Kakak.
"Kalau Papa kalah, Papa harus turutin kemauan Aufar! Termasuk suatu hal yang menyangkut Lia." Kalau seperti ini bahaya! Aku harus menang. Apapun caranya akan aku lakukan supaya aku bisa memenangkan pertandingan ini. Aku yakin hal yang dimakud oleh Kak Aufar berhubungan dengan masa laluku.
"Setuju! Kalau kamu kalah, kamu jadi babu Lia selama sat--"
"Tiga bulan!" Seru ku membuat Papa melanjutkan kembali ucapannya.
"Ya tiga bulan! Maafkan Papa Aufar, papa hanya butuh kamu jadi babunya selama satu bulan." Ledek Papa namun dibalas dengusan oleh Kakakku.
Setelah berfoto ria. Akhirnya pertandingan dimulai. Tingkat kefokusan permainan ini aku katakan sangat luar biasa. Bahkan aku sangat mempercayai talenta dua orang yang tadi mengangguku. Merek tidak buruk juga.
Silih berganti kami mencetak poin, hingga tiba di babak penentuan, aku mulai berkonsentrasi penuh terhadap permainan. Karena ini menyangkut hidup dan matiku. Kan lumayan jika Kak Aufar menjadi babu bukan?
"Lia lempar ke Papa!" Teriakan Papa membuat aku bingung. Aku harus lempar ke siapa? Papa, makhluk es, Kak Andri atau Kak Rich? Sedangkan Kakak tengilku sudah mulai menggangu jalanku.
"Papa bantu Lia!!!" Aku mengoper ke Papa dan ternyata Papa mengoper kearah makhluk es dan....
Brakkkk....