Part 11

2024 Kata
Belum sampai di situ, pertandingan basket masih berlanjut. Azra dan Nana masih setia duduk dengan manis menonton pertandingan itu sampai selesai. Sejak tadi, Azra tak henti-hentinya menyemangati Hans. Ia sampai teriak-teriak tidak jelas seperti suporter yang hilang akal. Nana hanya bisa menutup telinganya rapat-rapat dan membiarkan dirinya menjadi santapan empuk Azra yang sedang bucin. Selang beberapa jam kemudian, akhirnya selesai juga pertandingan basket itu. Pertandingan basket tersebut dimenangkan oleh SMA yang notabene-nya adalah sekolah Azra yang menyabet juara satu. Sedangkan juara kedua dimenangkan oleh sekolah Hans.  Hans tidak mempermasalahkan hal tersebut karena baginya menang dan kalah itu sudah biasa dalam suatu pertandingan. Ia sudah menerima segala konsekuensi yang akan diterimanya. Hans keluar dari lapangan basket dengan keringat yang mengucur dengan derasnya. Rambutnya yang basah karena keringat itu membuat suatu badai yang besar bagi kaum hawa yang melihatnya. Apalagi saat Hans mengambil handuk kecil yang ia usap-usapkan di rambutnya. Para siswi mulai berteriak kagum melihat pemandangan indah ciptaan Tuhan di depan mereka, begitu pula dengan Azra. Azra dengan gesitnya mengambil air mineral yang ia beli di kantin untuk Hans seorang. Azra berlari dan mendekati Hans, ia pun segera memberikan air mineral itu kepada Hans. "Hans minum dulu." ucap Azra yang langsung menyodorkan air mineral itu. "Eh, Azra?" sapa Hans. "Minum dulu, Hans. Nanti kalau udah minum baru ngomong lagi sama Azra. Hans pasti capek banget kan? Udah, ayo diminum." tutur Azra. Tanpa Azra sadari, bibir Hans terangkat seketika itu juga. Ia merasa senang terhadap perhatian kecil Azra untuknya. Ya, walaupun baru first meet dengan Azra  tetapi Hans sudah bisa merasakan kenyamanan jika berada di dekatnya. "Iya, ini diminum kok." jawab Hans yang langsung meminum air mineral tersebut. "Iya, Hans." "Makasih ya, Zra. Enak banget airnya, mantep juga pula." kata Hans yang membuat Azra bingung mendengarnya. Apa katanya? "Enak banget airnya mantep juga pula." Astaga, apa yang ia katakan? "Air mineral rasanya enak dan sedap?" ujar Azra sembari menaikkan alisnya, "memangnya ada ya, Hans air mineral begitu? Perasaan Azra, air mineral sama semua rasanya nggak ada rasa sedapnya." Skakmat! Hans tidak tahu lagi ingin berkata apa. Ia benar-benar salah tingkah dibuat Azra kalau urusannya begini.  "Hans bodoh! Mana ada air mineral rasa sedap!" batin Hans merutuki takdirnya. "Hei, Hans! Are you okay?" Azra menyadarkan lamunan Hans. "Eh? Yes, im fine." "Syukurlah, Azra kira kenapa." "Hehe, iya. Nggak kenapa-kenapa kok." "Eh, Hans. Btw, selamat ya! Team basket Hans berhasil dapat juara dua." "Thanks, Azra,"  "Sama-sama, Hans. "Zra." panggil Hans. Azra menatap kedua mata Hans menunggu Hans untuk melanjutkan apa yang akan ia katakan kepadanya. "T-tapi maaf ya kalau gue nggak bisa menyabet juara satu dalam pertandingan ini." Tentu saja Azra yang mendengar Hans meminta maaf langsung bingung seketika itu juga. Kenapa ia meminta maaf karena tidak berhasil menyabet juara satu? "Hah? Maksudnya?" "Iya, gue sama team cuma bisa mendapatkan juara dua." "Lah, terus kenapa, Hans? Juara dua juga bagus kok kata siapa nggak bagus?" "Ya nggak ada sih. Tapi gue cuma takut buat lo kecewa karena kemampuan basket gue nggak sesuai sama ekspektasi lo." Sontak saja hal itu membuat Azra tertawa akan cara pikir Hans.  "Astaga, Hans. Nggak gitu juga lah. Hans kan sama team udah menunjukkan penampilan yang memuaskan. Mungkin memang belum rezeki, Hans aja. Juara dua kan dapat piala juga Hans, jadi Hans jangan berpikir kayak gitu ya." kata Azra menenangkan Hans yang berpikiran negatif. Hans yang mendapatkan respon baik dari Azra hanya bisa tersenyum dan tersenyum. Ia sangat bersyukur bisa bertemu seseorang yang dapat mendukung hobi yang ia sukai. Ya, ialah seorang Azra. Seorang perempuan yang ia temui di media sosial yang sekarang sudah berada di depan matanya. *** Setelah sesi pembagian piala untuk seluruh juara selesai, Azra mengajak Hans untuk pergi ke kantin yang ada di sekolahnya. Sebelum ke kantin juga Azra mengajak Hans untuk berkeliling sekolahannya menikmati udara yang berada di lingkungan sekolah tersebut. Mereka terlihat sudah saling kenal lama padahal mereka baru bertemu sekali saja. Sepanjang perjalanan, Azra selalu saja mengoceh dan mengoceh. Hans juga  selalu mendengarkan celotehanya dengan senang. Ia menanggapi hal tersebut dengan bahagia.  "Hans... Hans..." "Iya?" "Hans pernah pingsan nggak pas upacara bendera?" "Pingsan?" Hans memasang wajah sok berpikir, "hm, kayaknya dulu pernah deh pas masih SD." "Ih, serius?" kata Azra antusias. "Iya, pernah waktu SD. Kenapa memangnya, Zra?" "STOP!" Azra langsung memberhentikan langkahnya, ia juga meminta Hans untuk berhenti mengikuti apa yang ia lakukan. "Ada apa?" ujar Hans mengernyit bingung. "Hans stop di sini. Hans jangan jalan dulu. Hans harus ikut diam kayak Azra." "Mau ngapain?" "Pokoknya Hans diam dulu Azra mau nanya." "Kenapa harus diam? Kenapa nggak sambil jalan aja?" "Ini penting banget kayak misi 86." "Emang mau nanya apa?" Hans semakin bingung dengan Azra yang mendadak berganti profesi seperti detektif dadakan. "Hans bagi tips-nya cepat!" kata Azra to the poin. Hans yang tidak mengerti dengan apa yang Azra katakan itu segera bertanya, "Maksud lo tips apaan sih, Zra? Bingung gue asli." "Tips pingsan lah!" "HAH?" sontak saja pertanyaan aneh Azra  itu membuat Hans terkejut bukan main sampai-sampai ia berteriak sedikit keras membuat perhatian beberapa siswa yang lewat teralih padanya. "Ih, jangan teriak-teriak! Malu dilihat orang!"  Bukannya diam, Hans malah tertawa terbahak-bahak. Bahkan menambahkan volume suaranya. "Hans kok malah ketawa, sih? Apa yang lucu coba?" "Dasar aneh!" ucap Hans yang mencoba menetralkan detak jantungnya akibat terlalu banyak  tertawa, "bisa-bisanya lo iri sama orang yang pernah pingsan!" kekeh Hans sembari mengacak-acak rambut Azra. "Ih, memangnya kenapa? Kan, Azra belum pernah ngerasain pingsan." "Ya tapi nggak gitu juga, Zra." "Hans, plis ajarin Azra caranya pingsan! Azra pengin banget pingsan kayak di sinetron. Plis... ajarin ya." Azra memohon kepada Hans dengan memasang puppy eyesnya. Jujur saja Azra tidak melawak. Seumur hidup ia belum pernah merasakan yang namanya pingsan. Ia hanya bisa melihat orang lain pingsan melalui upacara bendera atau sinetron yang terkadang ia suka tonton. Tetapi kalau diri sendiri ia belum pernah merasakan yang namanya pingsan. Kadang juga Azra suka iri kepada orang yang dapat dengan mudahnya pingsan. Ia ingin menambah pengalaman hidupnya dengan bisa pingsan. Entah lah, dia memang wanita yang aneh. "Hans, ayo ajarin Azra caranya pingsan!" ulang Azra kembali. "Nonton aja di YouTube." "Udah semua. Tapi nggak ada yang berhasil." "Nggak usah makan." "Udah juga. Tapi malah sakit perut." "Ya Tuhan, lo ada masalah hidup apaan, sih, Zra? Ngapain juga lo maksain diri buat pingsan." Hans menepuk jidatnya tak habis pikir dengan apa yang Azra katakan. Walaupun Hans sedikit gila tetapi ia tidak pernah melakukan hal aneh yang Azra lakukan. Azra memang manusia yang primitif. "Udah, ayo pergi ke kantin kita makan," sambung Hans, "selama ada gue lo harus makan. Lo nggak boleh nggak makan karena kepengin pingsan." *** Azra dan Hans memasuki kantin. Terlihat jelas jika kantin itu sepertinya sedang ramai-ramainya dikarenakan banyak murid luar sekolah yang ikut membeli makanan di kantin sekolahan Azra.  Azra dan Hans sulit untuk mencari tempat duduk karena banyaknya manusia yang berada di sana. Bahkan untuk berjalan pun susah. Mirip sekali seperti mengantre sembako.  Hans melihat Azra dengan wajah yang terlihat kelelahan karena efek antrean yang panjang. Melihat suasana yang tidak kondusif tersebut, Hans pun memilih untuk memesankan makanan Azra dan meminta Azra untuk duduk manis sampai menunggu pesanan tiba. Biarlah ia yang mengantre panjang asalkan Azra tidak kelelahan. "Zra," panggil Hans. "Iya, Hans?" "Yuk cari tempat duduk." "Tapi kan kita belum pesan makanan?" "Gampang yang penting lo duduk dulu." "Nggak apa-apa kok Azra antre juga." "Nggak boleh nanti lo capek. Gue nggak mau lihat lo capek!" "Azra mana bisa capek Hans, kalau ada Hans di samping Azra!" cengir Azra lebar membuat Hans mengacak rambutnya karena gemas. "Delay dulu gombalnya. Cari tempat duduk dulu pokoknya!" tukas Hans. Ia tetap tidak mau jika Azra mengantre.  Mereka pun mencari tempat duduk di kantin. Namun sayangnya mereka tidak menemukan tempat duduk yang kosong. Semua kursi dan meja kantin sudah full  diisi oleh beragam murid yang berasal dari berbagai macam sekolah. "Yah, nggak ada yang kosong. Gimana ini Hans?" "Tunggu, lo di sini aja." suruh Hans. "Hah? Ngapain Azra di sini aja?" Hans tidak mendengar apa yang Azra katakan. Azra melihat Hans mendekati salah satu meja kantin yang berada di pojok kanan. Terlihat di sana Hans sedang berbincang-bincang dengan murid yang menduduki kursi tersebut. Azra tidak tahu apa yang Hans katakan kepada murid tersebut. Namun ia melihat Hans mengeluarkan dompetnya dan memberikan tiga lembar uang berwarna merah kepada murid tersebut. Sehabis Hans memberikan uangnya, murid itu pergi dari meja tersebut. Hans pun menoleh ke arah belakang yaitu tempat di mana Azra tidak jauh berdiri dari sana. "Sini, Zra. Udah kosong nih." kata Hans. "Oh, iya, Hans." Azra pun berjalan menuju meja kantin yang dimaksud. "Sekarang lo mau pesan apa biar gue yang pesan." "Ih, Azra nggak enak sama Hans. Azra ikut aja ya—" "Nggak," potong Hans cepat, "lo tetap di sini aja, oke? Ramai banget tuh pasti lama kalo lo ikut antre ntar lo bisa kecapekan." "Yahhh..." Azra memelas. "Lo suka bakso kan? Mau gue pesanin?" "Eh, kok Hans tahu?" "Tahu lah. Muka lo kan bulat kayak bakso." "Ih, dasar!" "Minumnya mau apa tuan putri?" "Terserah." "Cewek mah gitu, ditanya maunya apa malah jawab terserah. Aneh." "Ya terserah Hans aja. Azra bingung mau minum apa."  "Oke, beli minum rasa terserah!" tukas Hans yang langsung ngacir pergi menuju tempat jualan bakso. "Hans! Ini uang Azra!" "Nggak usah. Gue traktir!" "Ih, nggak lah. Malu!" "Idih, malu-malu kucing segala!" Sepeninggal Hans, Azra diam-diam tersenyum bahagia. Menurut Azra pribadi, sosok Hans itu adalah seseorang yang lucu dan perhatian. Sifatnya 11-12 dengan sifat yang ia punya. Itulah yang membuatnya tertarik dengan sosok Hans. Beberapa menit kemudian Hans datang membawa nampan yang berisi dua bakso dan satu es teh. "Udah lama nunggu ya, Zra? Sorry ya, antreannya panjang banget. Mau pakai orang dalam juga nggak bisa." "Eh? Hahaha, ya ampun Hans. Ngapain minta maaf seharusnya Azra minta maaf karena Azra, Hans jadi harus antre." "Santai atuh neng geulis," kata Hans gombal, "nih, bakso bulat yang mirip pipi Azra." "Yeay! Makan bakso!" seru Azra senang. "Sesuka itukah lo dengan bakso?" "Suka banget pake banget pokoknya!" "Kalau gue suka nggak?" "Eh?" "Santai, Zra. Bercanda doang." "Hans mah sukanya bercanda doang. Kalau anak orang baper gimana?" "Gampang. Tinggal nikahin beres." "Idih! Dasar f**k boy!" Azra menoyor kepala Hans. Bukannya marah Hans malah juga ikut tertawa atas apa yang ia perbuat. Memang sedikit cringe tapi ia tidak peduli. "Oh, ya, Hans. Azra mau tanya." "Tanya apa?" "Ini es tehnya cuma satu ajakah? Belum diantar ya es teh satunya lagi?" tanya Azra yang memang bingung dengan Hans yang hanya membawa satu es teh. "Nggak kok gue memang pesan es teh satu gelas aja." "Terus Azra-nya gimana? Nggak minum gitu?" "Kan tadi kata lo terserah. Yaudah terserah gue mau beli apa. Beli es teh aja satu." "Oh, gitu ya? Hehe." Azra tersenyum kecut. Hans yang menyadari perubahan suara Azra diikuti dengan mimik wajah Azra langsung bertindak cepat. Gawat kalau sampai Azra ngambek karena perkataannya. "Eh, Zra. B-Bukan gitu maksud gue." "Iya tahu kok, Hans." "Jangan ngambek dong nggak ada yang jual balon soalnya." "Hm. Nggak kok. Azra nggak ngambek." "Bohong itu buktinya apa? Suaranya kayak gimana gitu." "Gimana apanya?" "Beda aja." "Nggak kok." "Jadi, gue beli es teh satu gelas itu biar romantis loh, Azra. Bukan karena apa," Hans merajuk, "jangan marah dong calon pacar." Bukan Azra namanya kalau tidak baper dengan kata-kata cowok. Apalagi dengan cowok yang ia suka. Pipinya langsung memerah seperti buah tomat yang baru dipetik membuat Hans bernapas lega. Untungnya Azra mudah diluluhkan. "Nah, gitu dong pipinya jadi merah. Gue suka liatnya. Gemes." ucap Hans yang langsung mencubit pipi Azra membuat hati anak itu berbunga-bunga. "Dah yuk makan." sambung Hans tetapi Azra malah diam lagi. Hans pun menyeka rambut Azra dan membisikkan sesuatu ke telinga Azra, "Mau makan sendiri apa aku suapin?" "Sendiri!" jawab Azra cepat dengan mata yang melotot. Ia sudah tidak kuat lagi dengan gombalan yang dibuat Hans untuknya. Bisa-bisa jadi kepiting gila ia karena senyum-senyum sendiri disertai dengan wajah yang memerah. Hans terkekeh kecil melihat respon lucu dari Azra. Mereka pun menikmati bakso tersebut dengan bahagia. Mereka juga saling memperebutkan satu gelas es teh itu. Gelak tawa dan perkelahian kecil tidak henti-hentinya menghiasi percakapan mereka yang memang sama-sama tidak jelas. Ya, sesederhana itu membuat diri bahagia.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN