Bab 7. Masih Sakit

1502 Kata
Jeff bangun lebih dulu dari ranjang lalu mengambil pakaiannya satu persatu. Ia mencoba untuk tak melirik Gita yang masih menangis saat mengenakan celananya. Ia lantas membuang napas panjang. "Di rumah sakit mana ayah kamu?" tanya Jeff. Ia juga harus membereskan pria itu. Ia tak ingin malu jika ketahuan memiliki mertua yang kecanduan judi online. Ia harus menyingkirkan pria itu sejauh mungkin agar tidak muncul dan mengusik Gita selama masa pernikahan mereka nanti. "Rumah sakit Teratai," jawab Gita dengan suara serak khas orang menangis. "Oke. Kamu ganti baju dan kita ke sana sekarang," tukas Jeff. Jeff berjalan menuju toilet. Ia ingin membasuh wajahnya dan merapikan pakaian. Sembari berjalan, ia menoleh ke arah Gita. Gadis itu terlihat meringis saat menurunkan kakinya. "Sial, apa sakit banget?" batin Jeff. Ia menggeleng pelan. Tentunya itu sakit, ia memaksa Gita. Semuanya mereka lakukan tanpa hasrat dan cinta. Hanya nafsunya yang bekerja. Jeff berdiri di depan cermin besar di toilet tanpa atasan. Ia memiringkan tubuhnya hingga ia bisa melihat luka cakaran di punggung dan gigitan besar di bahunya. Sudah jelas, itu adalah cara satu-satunya Gita membalas apa yang tadi ia lakukan—ia merenggut paksa kesucian Gita. "Sial, ini sakit juga," desis Jeff. Ia menyapu wajahnya dengan air lalu mengenakan pakaian. Ia menoleh ke pintu toilet. Apakah Gita baik-baik saja? Haruskah ia peduli? Jeff segera keluar dari kamar. Dilihatnya Gita telah memakai pakaian seadanya. Wajah Gita tampak merah, mungkin karena tangis dan juga amarah. Kedua mata Jeff kini menyapu ranjangnya yang berantakan dengan cairan dan bercak darah. Seharusnya ia meminta Gita berbaring lebih lama agar cairannya benar-benar masuk ke rahim. Bukankah begitu caranya agar benihnya bisa membuahi benih Gita? "Aku mandi bentar," ujar Gita. Jeff tak ingin beradu mulut dengan Gita dan hanya mengangguk. Ia duduk di tepi ranjang lalu menarik seprai. Jika pelayan melihat semua ini, mereka akan tahu ia meminta Gita pura-pura hamil. Segera, ia membawa kain itu ke ruang cuci di lantai satu. Beruntung hari sudah malam dan semua pelayan tampaknya telah beristirahat. Jeff menunggu Gita turun sambil membereskan cucian seprai itu. Ketika ia selesai menjemur, Gita terlihat menuruni anak tangga dengan perlahan. Masih ada ekspresi kesal di wajah Gita. "Dengar, kita harus bicara sama ayah kamu," kata Jeff dengan tangan berada di pinggang. Gita memasang tampang waswas. Ia tahu apa yang akan dikatakan oleh Jeff. Ia sendiri sudah malu dengan kelakuan ayahnya. "Aku nggak mau ayah kamu gangguin kehidupan kamu. Setidaknya selama kita menikah. Bisa dia diandalkan buat datang ke acara pernikahan kita tanya bikin masalah?" tanya Jeff sangsi. "Asalkan dikasih uang, semuanya beres." Gita menjawab apa adanya. Itulah yang paling disukai ayahnya. Namun sayang, ayahnya tidak pernah puas dan selalu haus akan uang. "Oke. Aku bisa kasih berapa aja asalkan ayah kamu nggak menimbulkan masalah," kata Jeff. Ia mengedikkan dagunya ke pintu depan. "Ayo!" Gita melangkah di belakang Jeff dengan tangan mencengkeram tali tas selempangnya. Ia benar-benar membenci Jeff. Pria itu membuat ia kesakitan sekali dan bicara dengan nada mencela. Sungguh menyebalkan! Jeff menoleh tepat ketika Gita hendak mengangkat kepalan tangannya di udara. Namun, Gita cepat-cepat berpura menggaruk kepalanya yang tak gatal. Jeff berhenti di depan pintu, ia tahu Gita pasti membencinya. "Jangan katakan kamu marah gara-gara yang tadi," ujar Jeff. Tentu saja Gita marah. Seharusnya Jeff lebih pelan-pelan dan lembut. Namun, apa yang bisa ia harapkan? Sungguh menyebalkan! "Kamu bakal dapat banyak uang, tenang aja," kata Jeff. Sekali lagi, Jeff bicara dengan nada mencela. Oke, baiklah! Gita mengumpulkan tekad dalam hatinya. Ia akan mengambil banyak hal selama pernikahan ini dari Jeff. Ia sudah terlanjur masuk ke kubangan dan ia tak ingin keluar dalam keadaan merugi. Ia akan mengambil banyak kesempatan untuk membuat Jeff menebus semuanya. Dengan tertatih, Gita pun mengikuti Jeff ke mobil. Jeff melirik Gita sesekali. Ia sungguh tak tega, tetapi ia enggan menampakkan rasa bersalahnya di depan Gita. Ia membuka pintu mobil lalu berlari ke arah kemudi dan duduk. Sepanjang perjalanan, Gita menekuk wajahnya dan merapatkan kedua pahanya. Aksi itu tak luput dari pengamatan Jeff. Barangkali Gita takut padanya. Barangkali Gita waswas jika ia akan meminta mereka bercinta lagi. Ia tak sekejam itu pada gadis yang sakit. Sama seperti Gita, ia tetap diam hingga mereka tiba di rumah sakit Teratai. Gita turun dari mobil dengan cepat, tetapi karena inti tubuhnya yang nyeri, ia kembali berjalan pelan menuju UGD. Ia langsung mencari ayahnya. "Papa saya ...Bowo Irawan di mana, Sus?" tanya Gita pada perawat. "Oh, di sana, Mbak," ujar perawat seraya menunjuk ke ruang 3A. "Mari saya antar. Kondisinya cukup memprihatinkan." Gita menelan saliva. Ia memang membenci ayahnya, tetapi Bowo adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki sekarang. Ia mengikuti perawat dengan tak sabar. Gita dibuat terkejut dengan penampilan ayahnya yang mengenaskan. Wajahnya hampir tak terlihat seperti wajah ayahnya dan lengan serta kakinya dibalut perban besar. "Papa!" panggil Gita pilu. "Papa kenapa ... ya ampun!" Bowo yang tertidur pun menggeliat saat mendengar suara Gita. Ia membuka matanya yang bengkak. Ia agak terkejut melihat Gita datang bersama seorang pria tampan berkemeja putih yang tak pernah ia lihat sebelumnya. "Papa kenapa nyampe kayak gini?" tanya Gita sambil menahan air matanya. "Papa ... oh ... kamu tahu sendiri Papa punya banyak utang," ujar Bowo seraya mencoba bangun. Ia mengernyit karena rasa sakit di tubuhnya. "Papa yang bikin masalah! Harusnya Papa selesaikan sendiri semuanya! Kenapa harus selalu aku yang beresin?" Gita berseru tanpa peduli dengan pasien lain yang ada di ruangan. Jeff merangkul bahunya tanpa permisi. Ia tahu Gita sedang sangat marah saat ini, tetapi ia juga tak ingin diusir dari UGD. "Kita di rumah sakit, tenang." "Aahhh! Sial!" Gita menepis tangan Jeff dari bahunya. Ia lalu berjalan keluar dari ruang UGD. Gita terduduk di koridor dan menangis dengan tangan memeluk kaki dan kepala yang tersembunyi di balik lututnya. Jeff mengulum bibirnya. Ia tahu Gita tak sedang menangisi kondisi ayahnya saja, tetapi Gita pasti sedang menangisi hidupnya yang kacau dan barangkali tangisan itu juga adalah bukti penyesalan Gita atas malam panas mereka tadi. Jeff menyusul Gita ke pintu, ia menatap bahu Gita yang bergerak naik-turun. Ia cemas karena Gita pernah hampir bunuh diri—ia mengira begitu. Hidup Gita memang tak mudah, ia mengerti. "Siapa kamu?" tanya Bowo memecah benak Jeff. Jeff menoleh, ia tak segera mendekati Bowo tetapi melambai pada perawat. "Saya titip tunangan saya, tolong jangan perbolehkan dia pergi. Biarin aja dia nangis di sini, dia baru tertekan." "Oh, ya." Perawat itu mengangguk. Beruntung tak banyak pasien di sini. Ia cukup maklum dengan reaksi keluarga pasien yang aneh-aneh. Ditambah ia tahu Bowo tadi tidak membawa sepeser uang pun dan tidak memiliki jaminan kesehatan. Jeff kini mendekati tempat tidur Bowo. Ia menarik kursi lalu duduk di sana dengan satu kaki di atas kaki yang lain. "Nama saya Jeffry Ethan Dirgantara dari Brilliant Company." Jeff menatap wajah bingung Bowo. Ia yakin ucapannya akan membuat pria itu semakin terkaget. "Saya putra pertama pemilik Brilliant Company dan saya adalah calon suami Gita." Benar saja, Bowo langsung ternganga dengan bibirnya yang bengkak dan berdarah. "Kamu ... Anda ... mau menikahi putri saya?" "Ya, dua minggu lagi," jawab Jeff. Ia berdiri kini dan membuat Bowo harus mendongak ke wajahnya. "Saya harap setelah ini Anda nggak akan mengusik kehidupan Gita." Bowo menelan keras, membuat jakunnya bergerak naik-turun. Ia tak tahu banyak soal Jeff, tetapi ia tentu tidak asing dengan Brilliant Company yang merupakan perusahaan kontraktor terbesar. Dan Jeff rupanya adalah putra pemiliknya? Tak heran Jeff terlihat begitu menawan dan berwibawa. "Saya tahu Anda butuh banyak uang, saya bisa berikan berapa saja. Tapi jangan buat malu Gita dan ... saya," kata Jeff. Bowo tersenyum miring kali ini. Seperti mendapat durian runtuh, ia begitu senang. Kenapa Gita tak memberitahunya bahwa ia berpacaran dengan pria konglomerat? Jeff mungkin jauh lebih dewasa dibandingkan Gita, tetapi Jeff sungguh tampan. Usia bukan soal, yang penting Gita menikah dengan pria berduit. "Berapa yang kamu bisa berikan?" tanya Bowo. Jeff menahan diri untuk tidak marah. Ia tahu pria di depannya sangat licik dan mencintai uang. "Saya akan melunasi semua utang Anda dan menyediakan rumah untuk Anda di luar kota ... Semarang mungkin, atau Bali? Anda juga bisa bekerja di sana nanti, saya akan urus." Bowo tertawa dengan janggal karena ia juga menahan sakit. "Benarkah?" "Ya, tapi jangan pernah muncul lagi di kehidupan Gita! Gita udah jadi milik saya," ujar Jeff. Bowo mengangguk. Untuk saat ini ia sudah mendapatkan lebih dari cukup. Semua utangnya beres, ia juga akan memiliki tempat tinggal dan pekerjaan. Jika ia butuh uang suatu hari nanti, ia tinggal minta dari Gita ataupun Jeff. "Oke. Kalau gitu kita sepakat. Anda harus segera sembuh agar bisa hadir di pernikahan kami," ujar Jeff. "Saya akan minta orang untuk mengurus Anda di rumah sakit." "Ya," sahut Bowo. Ia menelengkan kepalanya untuk melihat Gita yang ada di luar ruangan, tetapi ia tak melihat apa pun. "Gita tinggal dengan saya, jangan khawatir." Jeff meninggalkan Bowo yang masih mencerna situasi. Jeff menepuk bahu Gita pelan hingga gadis itu terlonjak. Buru-buru, Gita mengusap wajahnya yang basah kuyup. "Ayo kita pulang, semuanya beres," kata Jeff. "Beres?" Gita berdiri limbung. "Papa ...." "Udah aku ajak bicara. Revi yang bakal urus dia, tenang aja. Kita pulang," ajak Jeff.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN