Aku terbangun dengan kondisi sebelah mata setengah menutup. Nyeri yang mendera membuat ringisan ke luar dari mulut. Hal tersebut rupanya mengundang perhatian Mas Danu yang sedang melakukan panggilan telepon di ujung brankar. Tadinya dia berdiri dengan posisi membelakangi, tetapi begitu berbalik, dia melangkah cepat untuk mendekati. Ponsel langsung Mas Danu kantongi. Dengan tatapan khawatir, dia menunduk seraya mengusap rambutku. “Kau sudah sadar, Azkia. Katakan di mana sakitnya, biar aku memanggil dokter.” “Semuanya, Pak ...” jawabku lirih. Ada beberapa titik yang ngilunya tak tertahankan. Aku ingat semua itu didapat ketika teman wanita Mas Danu menggunakan tumit heelsnya yang runcing untuk menendang perut dan lenganku. Kalau tamparan saja yang kuterima, mungkin hanya ruam merah dan perih