24

2029 Kata
“Duduk dulu ya, Om belum cuci muka.” Gentala menjawab dengan anggukan, ekor matanya memperhatikan bagaimana pria yang memanggil dirinya sendiri “Om” itu menjauh. Anak itu menatap pada figura yang di gantung di dinding seberang sana. Wajah itu, Gentala mengingatnya. Apakah wanita yang membukakannya pintu adalah wanita yang sama yang ada di buku tahunan Papa? Ini terlalu menarik. Pikir Gentala. Kalau benar Om Abid tidak berbohong berarti buku pertama itu memang buku yang pagi tadi ia dapatkan. Buku pertama yang menceritakan bahwa Shakka menikah dengan Bella ditulis pada saat orang-orang ini masih SMA. Gentala bisa mengatakan hal itu karena ia mengetahui tahun berapa Shakka yang ada padanya dicetak. “Karena buku ini karangan manusia. Mengerti Gentala? Semua yang ada dibuku ini ga bener.” Ucapan Om pagi ini bergema di kepalanya. Tentu saja semua ini tidak benar. Tidak ada yang bisa meramalkan masa depan bukan? “Papa sama Bella sudah putus kali, ya?” gumam Gentala lirih. Andai Abid berada di dekat ponakannya itu maka ia pasti sudah mendengus keras karena yang bisa Gentala pikirkan hanyalah Bella, Bella, dan Bella. “Wyn, Gentala kemari nyariin elo,” ucap June setelah menarik paksa tangan adiknya yang bersarang di depan daun telinga. June bahkan bisa memanggul Wyne dan membawanya kepada Gentala saat ini juga tapi ia tau Wyne pun butuh waktu untuk mencerna semua ini. Gentala yang mendatangi rumah mereka tidak pernah ada dalam rencana. “Mau lo apasih?” “Gentala, nama anak itu, kemari mau minta sesuatu sama lo.” “Ga ada yang bisa gue kasih. Bapak anak itu punya segalanya bukan?” Kedua kakak beradik itu beradu pandang untuk beberapa saat. Tidak ada dari keduanya yang mengerti dengan sikap masing-masing mengenai kedatangan anaknya Shakka hari ini ke rumah mereka. “Wyn, ponakan gue cuma satu dan gue ga bakal nyianyiain dia,” ucap June yang kedua bahunya turun, menyerah untuk menghadapi Wyne dengan sama kerasnya dengan sang adik. “Oh gitu?” tanya Wyne ketika sang Abang akan membuka pintu kamarnya. Kemudian dengan suara bergetar ia kembali berujar. “Semudah itu lo pindah hati? Lo tau dia anaknya Shakka tapi lo dengan sadar sebut dia ponakan karena dia hidup? Gue baru tau kalau seseorang ingin jadi ponakan lo, dia harus hidup terlebih dahulu.” June meremas tuas pintu dengan segenap tenaga kemudian berjalan keluar meninggalkan Wyne dan semua penghakiman bodohnya untuk sang Abang. Pada akhirnya pria itu benar-benar mencuci muka sebelum kembali menemui Gentala. Jujur saja, ini kali pertama June mengetahui wajah Gentala berikut namanya. Media memang mengetahui bahwa Shakka memiliki anak tanpa pernikahan. Jenis kelamin anak itu laki-laki tapi tidak ada yang berhasil mengetahui wajahnya. Dari balik layar televisi, yang bisa June lihat selama ini hanyalah punggung anak itu ketika Shakka menggendongnya. “Om, boleh coba itu?” tanya Gentala menunjuk pada toples kacang tojin di depannya. “Kamu suka kacang??” tanya June. Fakta bahwa anak ini menyukai apa yang ia dan Wyne sukai, membuatnya merasa senang. Hal ini menunjukkan bahwa anak ini memang memiliki hubungan dengan mereka. Gentala mengangguk kemudian menjelaskan ia lebih suka kacang, sama seperti Mama Key. Namun begitu ia tetap memakan keju seperti Papa. Keju hanya terlalu membosankan karena rasanya tidak pernah berubah meski dibuat ke dalam bentuk makanan apapun. Berbeda dengan kacang. “Menurutku sih, ya,” ucapnya memberi penjelasan. “Kenapa kamu memanggil kembaran Papamu, Mama?” tanya June tidak senang namun pria itu mengulurkan toples yang sudah terbuka pada ponakannya. Gentala menggaruk tengkuknya bingung. Beberapa orang yang mengetahui bahwa Mama Key adalah kembaran Papa memang selalu bertanya hal ini. “Jadi aku punya temen namanya Tavisha.” “Oh, anaknya Icin?” “Iya. Adiknya Tante Icin, Om Rega memaksa Tavi memanggil dia Papa sejak Tavi mulai bisa bicara. Mama Key-ku berteman dengan keluarga Tante Icin dan dia ikut-ikutan sama Om Rega.” June mengangguk mengerti. Selama sisa dua jam ia dan Gentala bicara banyak. Ia bahkan memasakkan matasapi untuk Gentala yang perutnya berbunyi saat mereka asyik bicara. Wajah anak itu saat ketahuan menahan lapar sungguh menggemaskan sekali. Batang leher sampai telinganya merah padam. “Yakin ga mau tambah?” “Engga. Ini udah cukup.” “Besok mau datang lagi?” “Besok? Kenapa?” tanya Gentala bingung. Jujur, ia bukan bocah yang bermain dengan orang dewasa. Gentala lebih memilih Tavi daripada bermain dengan Om Galih dan Om Evan. Tapi Om June memang agak beda sih. Om ini menyenangkan dan alih-alih diajari ini itu, ia merasa benar-benar bermain dengan Om June. Tidak seperti Om Abid yang sebentar-sebentar menyebutnya durhaka lah, ini lah, itu lah. Tapi tetap saja, ‘kan? “Kamu, ‘kan, belum dapat tanda tangan Wyne.” “Oh iya ya..” ucap Gentala yang melupakan sesuatu. “Tante Wyne kok ga keluar-keluar ya, Om?” “Jangan panggil Tante. Dia ga suka dipanggil Tante karena dia merasa tua. Panggil Wyne aja.” June tersenyum lebar melihat anggukan paham dari Gentala. >>> “Aku pulang dulu, ya, Om,” pamit Gentala pada Om June. Akhirnya Om Abid menjemputnya setelah matahari terbenam. Gentala pikir adik Papa ini melupakannya. “Hati-hati, Nak..” “Pulang dulu, Bang,” ucap Abid pada pria itu dan setelah mendapat anggukan, ia melajukan mobilnya. “Jadi gimana? Udah ketemu sama Line?” “Udah.” “Cantikan mana Line atau Bella?” “Cantiiik… Wyne,” jawab Gentala lirih. “Eh serius? Semudah itu Bella tergantikan?” kekehnya senang. Lihat siapa yang ogah-ogahan bertemu Kak Wyne, eh sekarang Abid sudah boleh menyebut nama mamanya Gentala dengan benar bukan? Mengingat semua orang sudah tau kecuali Gentala. “Om nanya barusan mau tau jawaban aku atau mau ngetawain? Wyne emang lebih cantik aku bisa apa?” tanya Gentala ketus. “Wyne?? Kamu panggil orang tuamu- maksud Om, kamu panggi orang tua pakai namanya aja?” Sama seperti pagi tadi, Abid kembali bicara sendiri. Tidak mendapat respon apapun dari ponakannya. Kecuali satu pertanyaan yang Gentala rasa memang perlu di jawab. “Aku belum dapat tanda tangannya.” Gentala beralasan bahwa hari ini Wyne sakit. Besok, anak itu ingin datang kembali ke rumah Om June tapi ada satu masalah. Papa selalu mengetahui keberadaannya. Tadi saja, Papa selalu menelfonnya dan karena tidak enak pada Om June, Gentala mematikan ponselnya. Ya bukan apa-apa sih, tadi selama Gentala yang bercerita, Om itu mendengarkannya dengan seksama. Masa ketika giliran Om June yang bercerita, Gentala malah izin untuk menerima telfon dari Papanya? Kemudian satu senyuman Om Abid menyelesaikan semua masalahnya. Keesokan harinya sepanjang pelajaran berlangsung, Gentala tidak bisa berhenti mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke lantai. Begitu bell pulang berbunyi, Gentala langsung menghambur keluar dan mendapati Om Abid sudah menunggunya. Sebelum turun dari mobil maka ia akan menyerahkan jam dan ponselnya pada Om Abid sehingga Papa akan berpikir Gentala seharian bersama Om. Ini adalah solusi yang kemaren Om Abid berikan padanya. Setiap harinya Gentala akan bermain di rumah Om June meski Wyne kadang entah berada di mana. Kadang Om June mengajaknya ke lapangan bola, bermain bersama Om dari pukul lima sore sampai Om Abid menjemput. Atau hanya sekedar tidur di atas lantai dengan pintu juga jendela dalam keadaan terbuka kalau cuaca terlalu panas. “Jeje,” pekik Tavi pada temannya yang seperti sedang dalam lomba lari. Beberapa hari ini Jeje selalu pulang lebih awal dan anak laki-laki itu melupakan janji mereka untuk membaca buku bersama. “Kenapa?” “Ibu dari kemaren udah nanyain kamu. Ibuk mau kamu pulang sama aku.” “Aku sibuk, Tavi. Besok aku ke rumah kamu.” “Kalo gitu pinjam aku bukunya aja,” ucap Tavi cepat. Gentala menghentikan langkahnya kemudian kembali berbalik pada Tavi. Ia tidak bisa memberikan Shakka pada Tavi karena ia butuh buku itu untuk ke rumah Om June, jadi kalau nanti Wyne tanya kenapa ia masih datang, Gentala bisa beralasan bahwa ia masih menunggu kapan Wyne mau memberikan tanda tangannya. “Besok, ya, Tav..” “Jeje!!!” teriak Tavi kesal karena bocah itu sudah berlari meninggalkannya. Gentala sudah berada di dalam mobil dan Om siap untuk mengantarkannya pada Om June tapi anak itu kembali berlari turun saat mobil sudah mulai bergerak. Ia berlari menghadang kerumunan anak-anak SD yang berebutan keluar dari gerbang sekolah. Tavisha selalu mengenakan tas berwarna pink menyala sehingga mudah bagi Gentala untuk menemukan temannya itu. “Besok,” ucap Gentala dengan napas memburu. “Besok aku akan kasih bukunya ke kamu. Tapi kamu harus bantu aku cari tau apakah Ibu kamu, Tante Bella dan teman-teman mereka yang lain kenal sama Wyne. Namanya Wyne Amelia.” Tavisha mengulang nama itu dalam hati kemudian matanya melotot, mengingat sesuatu tentang Wyne. Saat ia ingin mengatakan sesuatu, Gentala sudah berada di antara anak-anak lainnya. “Sialann,” ucapnya kesal. “Tavisha..” “Heheh.. maaf, Tante. Abisnya Jeje kurang ajar sih sama aku. Dia baiknya kalau lagi butuh aja,” ucap Tavi pada Tante Tzilla yang juga adalah gurunya di sekolah. “Kamu pulang sama siapa hari ini?” “Nunggu Ayah jemput, aja.” “Sama Tante aja.” “Tante juga mau bahas Tante Wyne?” tanya Tavi menyelidik. >>> “Kamu kenapa bisa masuk?” tanya Wyne saat mendapati Gentala di sofa ruang tamunya memeluk toples camilan kesukaannya. “Aku buka pintunya,” ucap Gentala tersenyum lebar. Rumah ini sudah seperti rumah bocah itu saja, dia bahkan tau bahwa kunci rumah ada di bawah pot agolonema yang ada di beranda. Dia juga tidak jera sama sekali walaupun kadang Wyne mengabaikannya. Anak ini mendapatkan sifatnya yang keras kepala dari Papanya tentu saja. “June ga ada disini.” “Om ga bilang begitu kemaren,” ucap Gentala mengikuti Wyne dari belakang. Gentala rasa-rasanya paham bagaimana kesalnya Om Abid saat ia tidak menyahut omongan Om nya itu. Jika berhadapan dengan Wyne maka dirinya lah yang sering dibiarkan bicara sendiri. Beruntung Om June sudah memperingatkannya sejak awal. Jadi Gentala bisa mengerti. Wyne masuk ke dalam kamarnya tapi tidak menutup pintu itu kembali. Hal itu diartikan oleh Gentala sebagai undangan untuk masuk. Bocah itu berbalik kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya. “Wyn..” panggilnya yang langsung mendapat tatapan peringatan dari Wyne. Wyne tidak suka seseorang memenggal namanya. Gentala tau ini tapi ia selalu keceplosan. Bocah itu menunjukkan dua buah buku pada Wyne. “Aku sudah dapat tanda tangan Om June,” Gentala menunjukkan buku berjudul Shafa Amelia pada Wyne. Yang ingin Gentala katakan adalah kapan Wyne akan memberikannya tanda tangan? “Kamu sudah membaca buku itu?” Gentala mengangguk. “Aku iri dengan Shafa,” buku yang ia tunjukkan pada Wyne adalah buku kumpulan surat-surat yang Om June tulis untuk seseorang bernama Shafa. Buku yang awalnya Wyne kira adalah kumpulan puisi ternyata adalah gambaran apa yang June juga Wyne rasakan saat keduanya merindukan Shafa Amelia. “Namanya Amel.” “Oke, Amel.” “Amel mungkin juga iri sama kamu,” ucap Wyne kemudian menggerakkan tangannya, meminta Gentala untuk mendekat. Gentala sudah tau terlalu banyak. Salah si June yang tidak menyaring mana yang boleh dan tidak boleh anak ini ketahui. Makanya Wyne akan memberikan apa yang Gentala mau sehingga bocah ini tidak akan datang lagi ke rumahnya. “Tambahkan tulisan : To Gentala.” “Wyne menyerngit, merasa dejavu dengan permintaan seperti ini. “Lalu?” “Lalu: Kamu boleh datang kapan pun kamu mau.” Wyne menegakkan kepalanya kemudian menatap datar Gentala Jayden Padmaja. “Kenapa aku harus ngizinin kamu datang kapan pun kamu mau?” “Karena besok aku ulang tahun dan aku selalu memilih hadiah yang aku inginkan.” Susah bagi Gentala menelan liurnya sendiri ketika Wyne mengatakan bahwa ia setuju untuk menuliskannya karena Gentala sedang berulang tahun. Bocah itu membuang wajahnya saat melihat air mata Wyne jatuh pada halaman terdepan Shakka. “Besok aku ga kesini, Wyn,” ucapnya mendekati meja rias milik Wyne. Memberi waktu Wyne untuk membersihkan wajahnya dari air mata. “Padahal kamu sudah dapat izin untuk datang kapan pun kamu mau?” tanya Wyne pada bocah yang membelakanginya itu. “Papaku pulang.” “A- astaga aku sampai lupa. Aku, ‘kan mau ke makamnya Amel.” Wyne bangkit berniat meminta Gentala tetap di rumah sampai June pulang tapi anak itu lebih cepat darinya. “Aku ikut,” begitu ucapnya. Bagaimana cara mengatakan tidak pada anak ini? Pikir Wyne.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN