Kecewa

989 Kata
Gia mengerjapkan mata, memegangi kepalanya yang begitu pusing. Ia membuka mata, menyipitkan pandangannya. "Aku dimana?" tanya Gia saat mengedarkan pandangannya pada ruangan serba putih. "Kamu di rumah sakit," jawab Adam, membelai puncak kepala Gia. "Dam," panggil Gia lirih saat menoleh ke samping, Adam tengah duduk di sebelahnya. "Kamu istirahat Gii, kata Dokter kamu kurang tidur, kamu begadang lagi?" tanya Adam, sedikit khawatir mengingat Dokter Agung menyarankan Gia harus diopname. Gia terdiam, ingatannya kembali pada masa di mana dirinya berada di villa Kevin. Pria itu sama sekali tak memberikan kesempatan istirahat untuk Gia, di mana pun kapan pun Kevin selalu menggagahinya. Memperlakukan Gia layaknya jalang, Gia tersenyum kecut. Terlebih mengetahui fakta bahwa yang Kevin lakukan bukan atas kemauannya sendiri, melainkan untuk mengancamnya, agar mengembalikan investasi papanya. "Are you okay?" tanya Adam yang melihat gurat kesedihan di wajah Gia. Gia mengangguk, tersenyum tipis. "Giia, apa Kevin menyakitimu?" Gia menggeleng, ia tak ingin Adam berurusan dengan Kevin karena dirinya. "Tapi ...." "Dam, aku cuma kecapekan dan aku mau istirahat," tukas Gia. Adam  menghela napasnya, kembali kecewa saat merasa tak berguna untuk Gia. "Ok, kalo gitu gue pergi dulu," ucap Adam. Gia terperangah saat Adam mengecup keningnya. Meski ini bukan yang pertama tapi rasanya aneh. Ada sesuatu yang tiba-tiba menelusup ke dalam hatinya. ______ Kevin mengetuk pintu kamar Zahra, sudah sepuluh menit ia berdiri di depan pintu kamar namun Zahra tak kunjung membukakan pintu. Hingga tiba-tiba ponselnya berdering. Kevin menghela napasnya saat melihat nomor papanya di layar. "Halo," jawab Kevin ketika sambungan telepon diangkat. "Apa?" Kevin mengerjapkan mata, ia langsung pergi dari tempat itu. Sedangkan di sisi lain Zahra tengah meringkuk di sudut kamar dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Zahra menangis, ia tahu Kevin ada di luar tapi ia tak mungkin keluar dalam keadaan seperti ini. Zahra belum siap jika Kevin pergi meninggalkannya, sungguh Zahra tak pernah berharap hidup seperti ini. Jika saja orang tua Kevin merestuinya, Zahra takkan tinggal serumah dengan Kevin tanpa ikatan pernikahan. Meskipun Kevin berjanji akan memperjuangkan itu, tapi rasanya mustahil mengingat bagaimana sifat Baskoro. Zahra tersenyum kecut. b******k! Lagi-lagi ia mengumpat setiap kali mengingat pria tua bangka itu, tak puaskah dia setelah sekian lama menghempasnya. Lalu sekarang dia datang kembali memporak porandakan hidup Zahra lagi. "Kenapa?" Zahra terisak menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Apa aku tak pantas bahagia?" gumamnya. Zahra tak pernah berharap hidup seperti ini, jika saja dulu ayahnya tak menjual dirinya. Mungkin kini Zahra masih punya harapan akan masa depan. Sedangkan tua bangka itu yang merenggut kesuciannya dengan seenak jidat membuang Zahra saat ia tengah hamil. Disaat Zahra terpuruk, kenapa harus Kevin yang datang jadi penyembuh lukanya? Kenapa harus anak si tua bangka itu? Zahra terus merutuki nasib malangnya. Aku gak akan lepasin kamu Kevin, sekalipun aku harus menjadi jalangmu seumur hidup. ______ Kevin sudah jengah hanya berdiri menonton, setelah kepergian Adam ia langsung masuk mengunci pintu. Membuat Gia yang sudah memejamkan mata langsung membuka matanya kembali dan menoleh ke arah Kevin dengan tatapan horor. "Kamu!" pekik Gia, ia takut saat Kevin terus melangkah mendekatinya. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Gia dengan gugup. "Apa aku gak boleh jenguk istriku di rumah sakit?" Kevin menyunggingkan senyumnya, duduk di tepi ranjang. Gia langsung duduk, ia sudah waspada. Takut jika Kevin akan melakukan  hal yang tak diinginkan. "Hey, kenapa? Wajah kamu pucet gitu?" Kevin membelai pipi Gia, wanita itu menegang dan Kevin tersenyum sinis mendapati Gia ketakutan. "Kenapa kamu jaga jarak sama suami kamu? Sedangkan dengan pria lain kamu justru pasrah saat dikecup." Kevin mendecih. "Apa kamu nganggep aku istri atau sekedar jalangmu saja?" Kevin menatap tajam Gia, wanita itu kini terlihat lebih tenang. "Aku gak ingin berdebat pergilah," usir Gia, ia kembali berbaring tak mempedulikan perubahan ekspresi Kevin. "Kevin!" hardik Gia saat Kevin berusaha menindihnya, Gia jelas terkejut dan panik. "Apa?" Kevin menaikkan sebelah alisnya. "Kamu mau apa?" sarkas Gia ketika Kevin menatap tajam dirinya seolah dia siap melahap Gia hidup-hidup. "Tentu saja mau ...." Kevin membelai pipi Gia, membuat wanita itu langsung memalingkan wajahnya. "Kamu." "Kenapa?" Kevin masih menatap Gia dengan amarah yang memuncah mendapati Gia menolaknya. "Kamu istriku gia," bisik Kevin, setelah itu dia langsung mencium Gia. Memegangi kedua tangan Gia yang terus memukulnya. Bahkan Kevin sampai membuat infus Gia terlepas, Kevin tak peduli yang ia mau hanya Gia berada dibawah kekuasaanya. Kevin terus memburu bibir Gia, meski Gia terus memalingkan wajahnya. Sekuat apapun Gia meronta seakan sia-sia mengingat kondisinya yang lemah itu sangat mustahil. "Diamlah Gia, nikmati saja," bisik Kevin. Gia mendesis jijik pada pria itu. Kevin benar-benar gila, ia merobek baju Gia, melemparkannya kesembarang arah. Kevin memburu leher Gia, kembali menyematkan tanda kepemilikannya di atas tanda-tanda yang belum juga pudar. "Kevin, hen ... tikan ... asshh." Gia sudah tak bisa mengendalikan tubuhnya, Kevin benar-benar mengambil kuasa akan tubuhnya. Gia hanya bisa menagis saat Kevin kembali memasukkan miliknya. "Arrrrrghhh!" Kevin terus mengerang, menghentak-hentakkan miliknya, memenuhi milik Gia. Ranjang rumah sakit itu sampai berderit mengikuti gerakan Kevin. Gia membungkam mulutnya, ia takkan membiarkan desahan itu lolos, Kevin mencium ceruk leher Gia. "Mendesahlah Gia," bisik Kevin. Gia menggeleng air matanya terus turun membasahi pipi. "Panggil namaku!" hardik Kevin, menyingkirkan tangan Gia dari mulutnya. Kevin terus menghujam Gia dengan kasar. "Ahmmmp." Gia merapatkan bibirnya saat desahan itu menerobos keluar. "Jangan ditahan Gia." Kevin terus menghujamnya, menghentakkan punyanya secara membabi buta. "Ahhhhsshh." Sial. Gia benar-benar merutuki tubuhnya yang tak berdaya dan mulutnya yang terus mendesah. "Bagus, panggil namaku Gia." Kevin mengerang, menambah kecepatannya. "Kev ... asshhh, Vinn ... cu ... ahhhhwww ... kup." Gia benar-benar tak tahu lagi harus bagaimana, Kevin benar-benar gila. Bahkan pria itu tak peduli jika mereka saat ini berada di rumah sakit, meski ruangan Gia VIP tetap saja ini rumah sakit. "Aasssh, Kevinn ... ahh." Kevin menyunggingkan senyumnya, saat Gia terus meracau menyebut namanya. Meskipun sebenarnya Gia tengah mengumpati Kevin. Braaaakk. Pintu kamar itu didobrak dan keduanya menoleh pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Gia menangis, merasa malu. Tapi Kevin tak peduli, dia hanya memutar bola matanya dan kembali menghujam Gia, lebih kencang. Bughhh Kevin tersungkur jatuh dari atas ranjang. Ia menyeka sudut bibirnya yang berdarah menatap pria menyebalkan yang kini tengah memeluk Gia. "Lepasin istri gue!" sarkas Kevin mendorong pria itu dari Gia. "Apa?" Kevin menahan kepalan tangan pria itu. Lalu melirik ke arah Gia. "Gia inget lo istri gue dan hanya gue yang berhak nyentuh lo bukan orang lain, apalagi pria ini!" Kevin tersenyum sinis ke arah pria di dedapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN