11

1074 Kata
Hari ini sangat melelahkan! Jam 4 sore, akhirnya tiba waktunya pulang. "Aisha, nanti malam kamu ada acara?" Rini berjalan beriringan denganku. "Kenapa?" Jawabku tanpa menatapnya. "Tidak. Aku hanya bertanya." Rini manyun. Mungkin merasa dicuekkan. Hm.. merajuk deh ni anak! "Baiklah. Aku memang tidak ada acara apapun. Kau mau mentraktirku, hm?"Tanyaku sambil menatapnya. Rini tersenyum dan mengangkat bahu. "Tidak. Aku hanya bertanya itu saja. Baiklah selamat bersenang-senang!" Rini tersenyum riang lalu terlihat dia menelpon seseorang. "Ya. Saya sudah memastikan dia tidak kemana-mana malam ini. Ya, sama-sama." Rini menutup telponnya dan berbalik ke arahku. "Aisha aku duluan ya? Andre sudah menjemputku di depan. Bye...!" Aku hanya mengangguk. Seperti biasa saat awal bulan begini, aku pergi ke ATM dan mentransfer sejumlah uang ke kampung. Meskipun tidak besar tapi lumayan buat bantu-bantu ibu. Aku duduk di bangku taman. Aku menelpon orangtuaku di kampung. "Hallo, bu? Apakabar? Sehat semua?" "Sehat sayang. Kamu bagaimana?" "Sehat bu, alhamdulillah... bu barusan Aisha udah transfer seperti biasa." "Ya, terimakasih, nak. Nak ibu ada yang mau ibu bicarakan." Ada apa ya? Perasaanku tidak enak. "Ada apa bu?" Hening. Ibu nampaknya menarik nafas panjang. "Kau tahu? Dr Bintang pindah kerja ke Bandung?" "Ya, bu. Kenapa?" "Apa... Kau pernah bertemu dengannya?" Degh! Apa yang harus aku jawab? Apa aku harus jujur jika kami semakin dekat sekarang? "Jawablah nak... ibu akan selalu mendukungmu, apapun yang terjadi." Aku menghela nafas. Baiklah. "Kami sering bertemu. Bahkan dia tinggal dekat kostanku." "Benarkah? Apa tidak terjadi apa-apa diantara kalian?" "Sebenarnya ada apa bu?" "Sebelumnya maafkan ibu dengan keadaan keluarga kita. 2 hari yang lalu, ibu Bintang datang ke rumah. Dia bilang kalau bisa kamu jangan terlalu sering bertemu dengannya. Itu menimbulkan kecurigaan pada tunangannya." "I-iya bu.. " "Maafkan ibu sayang..." "Iya bu tidak apa-apa." "Kau tahukan bagaimana ibunya dr Bintang?" "Iya, bu. Aku mengerti." "Ya sudah. Kapan kau pulang? Ibu merindukanmu!" "Aku juga bu. Nanti sebelum Ramadhan insya Allah Aisha pulang. Sudah dulu ya bu? Aisha pulang dulu." "Ya, hati-hati!" Klik. Aku terdiam sendiri. Menatap rumput taman yang tertiup angin dengan damai. Kurasakan semilir angin sore menerpa wajahku. Berharap mampu mendinginkan hatiku yang memanas. Seandainya berandai- andai itu dibolehkan. Maka aku akan berandai seandainya saja aku sederajat dengannya maka semua ini akan terasa mudah. Mungkin rasa ini di izin kan ada. Tapi lihatlah... itu hanya khayalan. Perasaan ini bagai anak kecil bermimpi terbang ke bulan. Sungguh mustahil! Dia terlalu jauh dari jangkauanku. Kadang aku merasa cinta itu tidak adil. Kenapa ia datang pada orang yang tak mampu ku sentuh? Semua rasa ini hanya akan meninggalkan rasa sakit yang teramat sangat bagiku. "Hai...?" Aku menoleh, dr Rio menghampiriku. Dia membawa 2 minuman kaleng di tangannya. "Dokter? Sudah pulang?" Pertanyaan bodoh. Itu yang terlintas di pikiranku. Sudah jelas Rio mau pulang! "Begitulah... Kamu sendiri sedang apa disini? Melamun sendirian? Ntar kesambet lho?" Aku tersenyum. Rio memang sangat baik dan ramah. Sejak masuk rumah sakit ini dan jadi kepala UGD, dia dekat denganku. Dia orangnya terbuka dan apa adanya. Aku sering berbagi masalah hidup dengannya. Dia sering memberi solusi atau nasihat buatku. Aku nyaman ngobrol dengannya. Dia pandai menjaga rahasia orang kurasa. Makanya aku percaya padanya. Dan kau tahu siapa yang paling heboh kalau aku ketahuan jalan bersama Rio? Ya, Rini. Dia gencar mendorongku agar berhubungan lebih dengan Rio. "Aku sedang merenung saja. Apa aku akan bisa mewujudkan cita-citaku di kota Kembang ini." "Kau hanya tinggal yakin pada dirimu. Semua pasti tercapai." Nah.. dia mulai lagi nasihatnya. Aku meledeknya. "Memang kau tahu apa cita-citaku?" "Mmm... menjadi isteriku mungkin?" "Hei...! Jangan sembarangan, nanti ada yang dengar baru tahu rasa!" "Haha... sekalian saja deklarasi dan nyebar kartu undangan." "Rio.... sudah ah! Aku sedang tidak mau bercanda." "Baiklah..Baiklah... Aku tidak tahu nona, apa yang kau inginkan?" "Rahasia." Aku meneguk minumanku. Rio mengambil minuman dari tanganku secepat kilat. "Curang! Kau mau menerima minuman dariku, tapi tidak mau cerita!" "Hei.. Rio!! Kembalikan! Kau kan sudah memberikannya padaku! Mana boleh diambil lagi!" Rio berlari. Aku mengejarnya. Dia selalu seperti ini. Membuatku tertawa. Sejenak melupakan perasaan rumit yang kurasakan dengan Bintang. Kami berlari sampai merasa lelah. Aku berbaring di taman diikuti Rio berbaring disampingku. "Kau lelah?" Rio bertanya tanpa menoleh. Matanya melihat langit yang mulai menguning. "Jangan tanya! Kau membuatku mengelilingi taman ini!" Aku cemberut. Awas saja dia. "Aisha.." "Ya.." "Apa yang kau maksudkan ada kaitannya dengan Bintang?" Aku tidak menjawab. Aku menutup mataku. Aku ingin melupakan semua getaran tentang Bintang. Aku menghela nafas berat. "Cerita padaku jika kau merasa berat sendirian. Bahuku cukup luas untukmu bersandar. Dan jika kau sudah tak sanggup. Datang padaku. Aku akan selalu menunggumu." Ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku pada Rio. Dia selalu menjadi tempat curhatku tentang Bintang. Aku tidak tahu kalau dia menaruh hati padaku. Baru sebulan lalu aku tak sengaja mendengar Rio dan Bintang berdebat tentangku. Dan aku baru tahu kalau Rio juga menyimpan rasa padaku. Saat itu Bintang marah besar. Tapi Rio bilang dia tidak akan menuntut apapun dariku. Tak perlu memiliki asal melihat aku bahagia maka dia tidak akan memaksakan hatinya padaku. Aku membuka mataku. Dan betapa terkejutnya aku saat wajah Rio begitu dekat. Wajahnya sangat rupawan. Sejenak kami saling diam. Andai getaran itu ada sedikit saja untuk Rio maka aku akan dengan mudah melepas rasa untuk Bintang. Rio perlahan mengusap pipiku. "Kau kedinginan." Aku bangun dan merentangkan kedua tanganku. "Baiklah, kita pulang saja!" Rio ikut bangun. "Dengan senang hati tuan putri." Kami tertawa bersama. Sepanjang jalan Rio terus saja tidak berhenti bercerita tentang apa yang ia alami hari ini di UGD. Sesekali aku tersenyum bahkan tertawa. Kami mampir magrib di mesjid pinggir jalan sebelum pulang. Dan lagi, perutku sudah minta isi. Tak terasa sudah malam. Aku mengajak Rio langsung pulang. "Terimakasih atas hari ini. Dr Rio!" "Sama-sama, Nona Aisha." "Aku benar-benar terhibur." "O ya? Lain kali aku akan ajak kau berkeliling di taman lagi. Kuat berapa putaran hm?" "Hei.. jangan bercanda! Satu putaran saja membuatku ngos-ngosan!" "Hahaha... tenang saja kalau capek nanti digendong." "Maunya!" Aku mendelik. "Siapa bilang aku yang gendong? Nanti dipanggil tukang becak yang gendong kamu!" "Rio...!!!" "Hahaha..." Rio tertawa lagi menampakkan deretan gigi putihnya yang berbaris rapi. "Ya sudah , aku masuk dulu." Aku berbalik. Rio terdiam. Entah mengapa suasana jadi terasa canggung. "Aisha...." Rio memanggilku pelan. Aku berbalik aku kaget Rio tepat dibelakangku. Aku terkesima. Antara sadar dan tidak wajah Rio mendekat perlahan. Apa dia mau....menciumku??? Baru saja aku hendak mendorong badan Rio. Tapi seseorang datang entah darimana lalu berdiri diantara kami. Dan setelah kulihat dia... Bintang? Ya Tuhan... muncul darimana dia??? Apa dia melihat semuanya???
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN