6

1125 Kata
Namanya Kania Somantri Atmadja. Dia teman kecilku saat di Bandung. Saat ayah masih ada. Dia juga yang dulu meredakan tangisanku saat ayahku pergi. Kania ini sebenarnya anak panti asuhan. Aku mengenalnya saat ikut ibu ke panti untuk kegiatan sosial. Ibu bilang saat kita punya penghasilan lebih, maka kita harus berbagi dengan sesama. Makanya sebagian dari keuntungan perusahaan ayah dipakai untuk kegiatan sosial. Katanya sih biar lebih berkah. Sampai suatu hari aku ikut ibu ke panti. Saat itu aku terjatuh dan mainan di tanganku terlempar ke kolam. Tiba-tiba seorang anak perempuan seusiaku turun ke kolam dan mengambil mainanku. Dari sanalah aku akrab dengannya. Bermain bersama. Bahkan aku minta izin sama ibu untuk mengajaknya ke rumah. Awalnya ibu keberatan. Tapi karena aku merengek akhirnya ibu mengizinkan. Setiap ibu berkunjung ke panti itu, Kania pasti ikut ke rumahku. Bahkan saat ayahku pergi, Kania dan ibu panti datang ke rumah. Lalu kami berpisah karena ibu memutuskan untuk pindah ke Tasikmalaya agar ibu tidak terus menerus bersedih. Hanya Kania yang memanggilku Abin. Dia bilang kalau manggil aa Bintang (panggilan abang/kakak dalam bahasa sunda) kepanjangan. Jadi Abin saja. Aku menatapnya tak percaya. Benarkah ini Kania sobat kecilku? Dia benar-benar berbeda. Aku hampir tidak mengenalnya! "Hai .. kamu Kania?" Kania tersenyum. "Akhirnya kamu ingat. Hei.. semudah itu kau melupakanku Abin?" Kania berseloroh. Dia benar. Aku hampir tak ingat masa laluku. Mungkin karena sudah banyak cerita baru dalam hidupku. Seperti gadis gugupku yang datang dan pergi. Hhh... Aku merindukannya! "Hahaha.. mana mungkin aku lupa! Bagaimana kabarmu? Ini..?" Aku melirik lelaki tua di samping Kania. "Oh ini. Kenalkan ini Ayahku." Aku menatapnya bingung. "Hallo Om..? Saya Bintang." "Saya Bambang Wijaya." Om Bambang menyambut uluran tanganku. Ayah Kania tersenyum maklum. Mungkin Kania sudah bercerita tentangku yang tahu siapa Kania sebenarnya. Ibu datang dan ikut duduk bersama kami. "Bintang, ini ayah Kania. Waktu kita pindah dulu, Kania diadopsi Om ini. Dan Om ini adalah teman ibu dulu saat masih SMA." Ibu tersenyum. Begitu juga Kania. Dan mengalirlah perbincangan hangat diantara kami. Seperti sebuah reuni kecil. Om Bambang ini pengusaha. Katanya datang ke rumahku untuk bersilaturahmi karena sudah lama tidak bertemu. Aku hanya menanggapi dan sesekali tersenyum. Pikiranku masih tertuju pada seseorang yang entah ada dimana. Aku mengusap wajahku. Ya Tuhan.. Aisha kau ada dimana? *** Aisha : Ada banyak hal yang harus ku syukuri saat ini. Sejak dr Bintang menemuiku di tempat dr Ilyas, aku dipanggil dr Ilyas. Awalnya aku kaget, aku kira aku benar-benar dipecat. Namun pada kenyataannya, aku malah disuruh pindah kerja ke sebuah rumah sakit swasta. Dan aku diberi kesempatan untuk melanjutkan studyku. Aku tidak tahu alasannya apa. Hanya saja, dr Ilyas tersenyum penuh arti padaku. Beliau bilang aku harus bisa membuktikan pada dunia bahwa aku bisa sukses. Dan disinilah aku. Aku mengganti nomor ponselku. Setelah masuk kuliah, aku mengganti handphone. Tidak mungkin kan, aku memakai handphone jadul. Sekarang ini, segala macam memakai teknologi. Tugas, info dari kampus dan sebagainya pasti memakai aplikasi di handphone. Yah.. akhirnya aku menabung dan menyisihkan sebagian gajiku. Sekarang aku bisa tahu bagaimana susahnya mencari uang. Aku bertekad menyelesaikan studiku dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Ada banyak hal yang terjadi dua tahun terakhir ini. Ada banyak orang pula yang hadir dalam perjalanan hidupku. Seperti Rohan yang kemarin sore menyatakan perasaannya padaku. Dia satu kampus denganku. Hanya saja dia sudah punya usaha sendiri. Dia buka restaurant. Aku suka melihat dia yang rajin dan ulet. Dari mulai jualan pesan antar sampai punya resto sendiri. Tapi aku hanya kagum saja. Tidak lebih dari itu. Aku masih menyimpan nama lain di hatiku. Bintang Respati Mahendra. Ya, dokter itu. Aku merindukannya. Sangat. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Rindu ini begitu menyiksa. Seperti rindu yang tak berujung. Tidak ada yang tahu tentang rasa ini. Semua kusimpan sendiri. Aku cukup tahu diri tentang siapa aku dan siapa dia. Aku bukan apa-apa. Sedangkan dia adalah segalanya. Dia punya banyak hal yang didambakan setiap wanita. Tampan? Tentu saja. Sekali saja melihat senyumnya wanita manapun pasti terpikat. Kaya? Tidak diragukan lagi. Dia orang terkaya di kampungku. Bahkan keluarganya semua orang sukses. Semua itu membuatku malu sendiri dengan perasaan ini. Rasanya terlalu tinggi untuk kugapai. Jadi kuputuskan merahasiakan semua rasa ini. Hanya buku diary yang tahu semuanya. Aku selalu menulis apapun yang terjadi antara aku dan dia. "Hai Aisha? Ngelamunin apa tuh? Anteng amat!" Rini mengagetkanku. Dia teman kerjaku. Aku kerja di rumah sakit ini di bagian pendaftaran. Walaupun gajinya tak seberapa, tapi cukuplah buat membiayai hidupku. Soal biaya kuliah, aku banyak dibantu dr Ilyas. Sebenarnya aku merasa tidak enak. Tapi dr Ilyas memaksa. Katanya hitung-hitung bayar zakatnya. "Aku hanya ingat orang kampung." "Halah.. pasti ingat pacar, ya kan?" "Apaan sih? Aku gak punya pacar. Kamu tahu sendiri kan, aku males pacaran. Mending kalo udah jodoh mah langsung nikah aja." "Ya,ya. Nona. Baiklah. Tapi ngapain juga kamu nolak Rohan kemarin?" "Ya... Aku kan gak ada rasa buat dia?" "Hei.. kamu bilang mau langsung nikah. Ajak nikah, Rohan pasti mau!" Mata Rini berbinar semangat. Apa-apaan ini anak. Ngotot banget pengen lihat aku punya pasangan. "Rini sayang.. nikah itu bukan mainan. Buat seumur hidup lho! Aku gak mau nyesel nantinya." "Eh, tapi kata orang UGD, kepala UGD mau diganti, bener gak sih?" Aku mengangkat bahu. Dari kejauhan aku melihat Andre tunangan Rini berjalan ke cafe ini. Kami baru pulang kerja. Rini minta ditemani dulu sampai tunangannya menjemputnya. "Entah. Aku tidak tahu. Siapapun dia, yang penting dia tidak mengganggu pekerjaan kita. Ya kan?" Aku berusaha memberi kode pada Rini dengan menunjuk ke arah belakang dengan daguku. Tapi ya.. namanya Rini. Selalu bersemangat kalo urusan orang ganteng. "Ya juga sih, tapi kamu gak mau tahu siapa dia? Katanya masih muda lho! Tampan lagi!" "Tampan atau jelek, emangnya bisa naikkin gaji kita? Enggak kan?" "Idih... si ibu yang satu ini. Normal gak sih? Ya kan kalo ganteng mah kita semangat kerjanya, tiap hari bisa cuci mata." "Yey.. cuci mata pake air tuh, inget Andre tunanganmu!" Aku tertawa geli. Rini tidak sadar kalo Andre sudah berdiri dibelakangnya. Biar tahu rasa dia, hehehe. "Ya kan cuma hiburan doang." Rini manyun. "Apa kamu tidak cukup terhibur saat bersamaku, hm?" Rini membelalakkan matanya. Dia segera menutup mulutnya. Dan berbalik. "Eh.. hehehe... sayang! Kamu udah lama?" "Hmm.. begitulah." "Benarkah? Sejak kapan??" Rini menatap Andre tak percaya. "Sejak kamu bilang ada kepala UGD baru itu." Aku tidak bisa lagi menahan tawaku. "Bwahaha... makanya neng, di kasih kode gak ngerti juga." Rini mencubit lenganku. "Aww.. kau ini, kebiasaan!" Duh, perih juga. "Sayang maafin aku ya, aku cuma bercanda kok. Kita jalan yuk.. Aku nunggu dari tadi. Untungnya ada kutu buku yang satu ini nemenin aku!" Rini mendelik kesal. Bibirnya mengerucut. Lucu sekali. Hahaha. Tapi begitulah. Rini sahabatku. Ceria dan apa adanya. Akhirnya aku duduk sendiri. Aku bergegas pulang. "Aisha!!!" Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Ya Tuhan, apa itu dia???
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN