3. Remuk!

1811 Kata
Begitu tiba di Rumah Sakit Medika, Marwa dan Marsya langsung berlari ke ruang UGD. Tapi langkah mereka terhenti begitu melihat dua sosok yang berdiri di depan pintu dengan wajah tegang. Bu Ida dan Haryo! Bu Ida berdiri berkacak pinggang dengan wajah penuh kemarahan. Sementara Haryo yang berdiri di sisinya memandang dengan ekspresi sinis. Rasa jijik jelas terlihat di wajah keduanya. "Kalian tahu Ibu kalian kecelakaan bersama siapa? Bersama Marno, suamiku!" Bu Ida menepuk dadanya keras. "Ibumu memang perempuan murahan!" Nada suara Bu Ida meninggi. "Suami Ibu juga murahan dong. Kok Ibu cuma mengatai Ibu saya saja?" ejek Marsya sinis. "Sudah, Kak. Kita langsung temui Ibu saja." Marwa menggamit lengan sang kakak. "Aku lihat cuma kamu yang paling waras di antara keluargamu yang lain." Bu Ida mendekati Marwa. Menahan langkahnya yang siap melesat pergi. "Harusnya kamu bisa memperingati ibumu agar tidak selingkuh dengan suami orang! Haryo sudah memperingati kamu bukan?" amuk Bu Ida lagi. "Sudah, Bu. Saya juga sudah menanyakannya pada ibu saya. Ibu saya bilang, ia tidak berselingkuh dengan Pak Marno, Bu. Pak Marno datang sendiri ke club menemui Ibu saya," kata Marwa jujur. "Halah, kalau Ibumu tidak menggoda suamiku, mana mungkin suamiku kepincut. Dasar anak l***e!" Tidak punya alasan lagi untuk membantah, Bu Ida memaki sembarang. "Mulut Ibu busuk banget rupanya. Pantas Pak Marno lebih betah di club daripada di rumah. Mana ada laki-laki yang tahan pada istri judes cemburuan seperti Ibu?" Marsya meledek Bu Ida. "Kelakuan kamu sama persis seperti ibumu. Awas, azab pasti akan melanda keluarga kalian!" Bu Ida menyumpahi Marsya. "Udah, Kak. Udah. Kita ke Ibu saja." Marwa menarik tangan sang kakak yang bersiap melawan. Marwa berusaha meredam keributan yang lebih besar. Saat mereka melewati Haryo, pemuda itu menggumam dengan nada rendah, tapi cukup jelas untuk didengar oleh Marwa. "Keluarga sampah bau bangkai. Kehadiran kalian hanya mencemari lingkungan. Cuih!" Haryo meludah jijik. Langkah Marwa terhenti sejenak. Ia menoleh, menatap Haryo lurus-lurus. Ia sangat terluka. Namun ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. "Aku beri kalian waktu seminggu untuk mengosongkan rumah. Aku tidak mau melihat wajah-wajah sampah kalian ada di sekitar keluargaku lagi. Enyahlah kalian semua dari hidupku!" Haryo menatap kedua mata Marwa lurus-lurus. "Kak Haryo harus menunggu sampai tahun depan kalau ingin mengusir kami. Ibu sudah membayar uang sewa untuk satu tahun ke depan pada Pak Marno minggu lalu." Marwa tidak mau diintimidasi begitu saja. "Apa bukti kalau ibumu sudah membayarnya?" Haryo berkacak pinggang. Di antara semua anggota keluarga keluarga, wajah Marwa ini yang paling mirip dengan ibunya. Saat sedang berhadapan muka seperti ini, ia langsung teringat pada Bu Mariana. Orang yang sekarang paling dibencinya! "Lagi pula, ibumu membayarnya dengan apa? Dengan uang atau selangkangannya?" tantang Haryo dengan sikap melecehkan. Marwa terperangah. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Haryo sampai hati mengejeknya dengan kata-kata yang sangat kotor. Marwa menghitung satu sampai sepuluh sebelum memberi jawaban. Ia tidak punya bukti bahwa ibunya telah membayar uang sewa. Kata ibunya, Pak Marno belum sempat memberi kwitansi pembayaran kontrak rumah minggu lalu karena lupa membawa kwitansi. Marwa sadar, bahwa ia telah kalah. Namun ia tidak mau menyerah. Siapa tahu Pak Marno nantinya sadar dan mengaku bahwa ia telah menerima uang kontrakan dari ibunya. "Tidak keduanya." Alih-alih Marwa, Marsyalah yang menjawab pertanyaan Haryo. "Tapi dengan ini." Marsya membuat gerakan tangan seperti orang yang sedang menjilat es lilin. Ia memang sengaja memprovokasi Haryo, agar laki-laki sok suci ini emosi. Misinya sukses. Air muka Bu Ida dan Haryo seketika gusar. Mereka marah besar! "Anjing! Dasar p*****r kecil! Kamu ini sama najisnya dengan ibumu!" Haryo menyumpah-nyumpah kasar. Marwa tidak merespon amarah keduanya. Ia segera mengajak Marsya menjauh, agar kekacauan tidak berlarut-larut. Mereka harus segera melihat keadaan Ibu mereka. "Aku puas sekali melihat ibu dan anak itu kejang-kejang, Wa. Dasar keluarga sok suci!" desis Marsya sinis. "Sudah, tidak usah dipikirkan lagi. Ayo kita lihat Ibu sekarang. Semoga saja ibu selamat dan baik-baik saja." Marwa membawa Marsya masuk ke ruang UGD. Di sana mereka diberi pakaian khusus oleh petugas sebelum melihat keadaan ibunya. Suara monitor jantung masih berbunyi ketika Marwa dan masuk ke ruang UGD. Langkah Marwa dan Marsya terhenti saat mereka melihat seorang perawat menurunkan kain putih, menutupi wajah ibunya yang berlumuran darah. "Ibu...?" suara Marwa nyaris tak terdengar, hanya bisikan yang putus di tenggorokannya. Perawat menatapnya dengan penuh iba. "Maaf ya, Dik... kami sudah berusaha." Marwa tersentak, dadanya terasa sesak, dunia di sekelilingnya seakan runtuh. "Tidak!" Marwa berlari ke sisi tempat tidur, menarik kain putih itu dengan kasar. "Ibu! Bangun! Jangan pergi!" Tapi tubuh itu tetap diam. Waktu seakan berhenti. Dunia Marwa hancur dalam sekejap. Ibunya-bagaimanapun kelakuannya, bagaimanapun kesalahannya-adalah jantung dari rumah mereka. Sumber kehangatan, sekaligus perisai dari segala kerasnya hidup. Dan kini, perisai itu telah pergi. Marwa dan Marsya menangis meraung-raung. Tangisan yang bukan sekadar kesedihan, tapi ketakutan akan hari esok. Bagaimana mereka bisa bertahan tanpa ibu? Siapa yang akan berdiri di depan untuk melindungi mereka? Di seberang ruangan yang hanya dibatasi tirai kain, tangisan lain terdengar. Bu Ida meraung, tubuhnya bergetar hebat saat dokter melepas masker oksigen dari wajah Pak Marno yang kini tak lagi bernyawa. Bu Ida menjerit seperti orang kesurupan. Ia terus memanggil-manggil nama suaminya. "Lihat apa yang sudah ibu kalian lakukan!" Bu Ida menyibak tirai. Menunjuk ke arah Marwa dan Marsya dengan tatapan beringas. "Suamiku mati, anak p*****r sialan!" pekik Bu Ida lagi. Marwa mengangkat kepalanya perlahan. Air matanya masih mengalir, tetapi kini ada kilatan lain di matanya. "Sudah, Bu..." suaranya parau. "Tolong, jangan membuat kekacauan... kita semua merasa sangat kehilangan," rintih Marwa parau." "Ini semua gara-gara ibu kalian!" Bu Ida kembali memekik histeris. "Mariana itu pembawa sial! Perusak rumah tangga orang! Sekarang suamiku sudah mati! Kalian puas?" Bu Ida kembali berteriak histeris. Marwa tidak menjawab. Ia tidak bisa. Namun, di antara amukan Bu Ida, ada tatapan lain yang lebih menusuk. Haryo. Pemuda itu berdiri di samping ibunya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Sorot matanya penuh kebencian, seolah ingin mencekik Marwa hidup-hidup. "Ibumu pembawa bencana," gumam Haryo, suaranya rendah tetapi tajam. "Kalian semua cuma sampah!" Marwa menatap Haryo tajam, tapi ia tidak membalas u*****n Haryo. Ia terlalu shock menghadapi semua musibah ini. Haryo boleh membenci. Bu Ida boleh mencaci. Tapi tidak ada satu pun kata yang bisa lebih menyakitkan daripada fakta bahwa ibunya kini telah pergi. Tanpa sadar, Marwa menggenggam tangan Marsya erat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap berpijak di dunia. Mereka hanya punya satu sama lain sekarang. *** Sudah tujuh hari ibunya berpulang, namun suasana rumah masih terasa seperti kuburan. Duka menyelimuti setiap sudutnya. Ayahnya tak henti-henti merintih dan memanggil nama ibunya dalam kepedihan yang tak berujung. Seperti inilah hidup. Pada saat ibunya masih ada, keduanya kerap bertengkar dan saling mencela. Namun setelah tiada, ayahnya terus merindukan ibunya. Rasa sedih dan kecewa membuat ayahnya kian menenggelamkan diri dalam botol-botol minuman keras. Marco, abangnya, melampiaskan kesedihannya dengan kemarahan. Tanpa dukungan dana dari ibunya, ia menjadi pria pemarah. Emosinya mudah tersulut dan kerap melempar barang tanpa alasan. Ia sedih, tapi caranya meratap adalah dengan menghancurkan segala yang ada di sekitarnya. Sedangkan Marsya, kakaknya lebih memilih pergi. Ia sering menghabiskan waktu di rumah pacar barunya, meninggalkan rumah yang memang sejak dulu tidak pernah membuatnya betah. Marwa menghadapi semuanya sendirian. Di malam hari yang ketujuh, Marwa terbangun karena merasa sesak napas. Dadanya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menindihnya. Marwa pun membuka mata dan langsung tersentak. Asap ada di mana-mana! Ia juga merasa kepanasan. Sejurus kemudian, matanya terbelalak ketika melihat nyala api yang mulai merambat di langit-langit kamar. Dinding merah menyala dengan panas yang menguliti tubuhnya. Marwa seketika tersadar. Rumahnya kebakaran! "Ayah!" Marwa berteriak sekuat tenaga. "Marco! Marsya!" Marwa batuk-batuk hebat, tubuhnya limbung saat mencoba berdiri. Panas merayap ke kulitnya, diiringi udara yang berbau hangus. Marwa berjalan merayap, mencari keluarganya. Di tengah kepulan asap, ia menemukan ayahnya tergeletak di lantai ruang tengah. Napasnya pendek-pendek dan tersengal. Tubuhnya dipenuhi luka bakar, tapi tangannya masih menggenggam erat selembar kertas kusut. "Dekat sini, Marwa..." Suara ayahnya lirih, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh api. Marwa merangkak, meraih tangan ayahnya dengan gemetar. Ayahnya juga batuk-batuk hebat. "Ambil ini..." Dengan susah payah, ayahnya menyodorkan kertas itu. "Kalau Ayah tidak selamat... pergilah ke alamat ini." Marwa menggenggam kertas itu erat, air mata mengalir di pipinya. "Jangan bilang begitu, Yah! Kita pasti selamat. Aku akan membawa Ayah keluar dari sini!" Ayahnya tersenyum tipis. Senyum yang penuh kepasrahan. "Belajarlah yang baik... Biar nanti Ibu bangga... Ayah berusaha memberikan hidup terbaik untukmu... untuk terakhir kalinya." Dan di detik berikutnya, genggaman itu melemah. Napas ayahnya hilang. "Ayah?" Marwa mengguncang tubuhnya. "Ayah, bangun!" Tapi ayahnya tidak bergerak lagi. Tangis Marwa pecah, tetapi api tak memberi waktu untuk berduka. Setelah menyelipkan kertas di sakunya, Marwa kembali merangkak, mencari Marco dan Marsya. Tebalnya asap membuat paru-parunya seperti terbakar. Tapi ia harus mencari abang dan kakaknya. Api berkobar di segala penjuru, melahap rumah itu seperti monster lapar yang tak mengenal belas kasihan. Asap hitam membumbung tinggi, membuat udara begitu pengap dan beracun. Marwa terbatuk-batuk, paru-parunya terasa terbakar, matanya perih hingga sulit terbuka. Namun, di tengah gemuruh api, samar-samar ia mendengar sesuatu. "To-long..." Suaranya lemah, tersendat di antara bunyi kayu yang retak dan dinding yang runtuh. Marwa menegakkan tubuhnya, mengabaikan panas yang menyengat kulitnya. Itu suara Marco! Dan... Marsya! "Bang Marco, Kak Marsya!" Marwa berteriak, suaranya serak karena diiringi batuk-batuk keras. "Tunggu! Aku datang!" Langkahnya terseok-seok saat ia berusaha maju, tetapi asap semakin pekat, membutakan segalanya. Dadanya sesak, tubuhnya mulai melemah. Napasnya semakin sulit, rasa panas membakar kulitnya seakan ia sudah mulai menjadi bagian dari api itu sendiri. Lalu tiba-tiba—seseorang meraih tubuhnya. Marwa tersentak. Lengan kuat menyeretnya ke belakang, menjauhkannya dari sumber suara Marco dan Marsya. "Tidak!" Marwa meronta, mencoba melepaskan diri. "Lepaskan aku! Mereka masih di dalam! Ayah, Abang dan Kakakku masih di dalam!" Namun orang itu tak mengindahkannya. Sosok itu terus menariknya dengan paksa, berlari menembus api dan asap, membawanya keluar dari neraka yang membakar rumahnya. "Lepaskan!" Marwa menjerit, air matanya bercampur dengan jelaga dan keringat. Dan kemudian—tubuhnya dilempar keluar. Marwa jatuh terguling di tanah, rasa panas masih menyengat kulitnya. Udara dingin malam menusuk paru-parunya yang sudah hampir tak sanggup bernapas. Ia ingin bangkit, ingin berlari kembali ke dalam, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Lalu, di saat pandangannya mulai kabur, ia melihatnya. Haryo. Ia berdiri di antara kerumunan orang, di samping mobil pemadam kebakaran. Tatapan Marwa membelalak. Haryo menatap kebakaran itu dengan ekspresi yang sulit diartikan, tetapi bagi Marwa, hanya ada satu kesimpulan dalam pikirannya. "Dia benar-benar melakukannya... Haryo benar-benar membakar rumah ini..." Kata-kata Haryo di rumah sakit terngiang di kepalanya-ancaman yang ia ucapkan dengan dingin. "Aku beri kalian tujuh hari. Setelah itu, aku tidak ingin melihat wajah kalian di rumahku lagi." Dan kini, tujuh hari berlalu. Rumah itu telah rata dengan api. Keluarganya—Ayahnya, Marco, Marsya— mereka masih di dalam! Tidak salah lagi. Ini semua pasti perbuatan Haryo! Mata Marwa membara dengan kemarahan yang mengalahkan panas api. Sebelum kesadarannya menghilang, ia berjanji dalam hati. Jika Haryo benar-benar pelakunya, ia akan memastikan pria itu membayar semuanya-dengan harga yang setimpal!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN