6 : Memohon sebuah kesempatan

1281 Kata
Wajahnya terpaku memandang permohonan cerai Belle. Hingga sampai saat ini, Phill tidak mau menandatangani surat cerai itu. "Saya tidak akan menandatangani ini. Ijinkan saya bertemu dengan Belle. Katakan dia ada di mana!" ucap Phill dengan puncak emosi. "Maaf, Pak. Nyonya Belle tidak mau bertemu dengan anda. Beliau tidak mau bertemu lagi dengan anda hingga perceraian ini selesai."  Harris tetap merahasiakan keberadaan Belle. "Kalau gitu dia tidak akan pernah mendapatkan apa yang diinginkannya. Saya tidak akan pernah menceraikannya!" "SIAL!!!" Prang. Phill melempar piring makannya setelah menikmati sarapan. Kepalanya pusing terus memikirkan Belle. Terlebih lagi, dia merindukan Kimora. "Pulanglah, Belle..." . . . . . Aktivitas kerjanya yang tinggi membuat Belle kembali ceria. Dia tidak lagi membuang tenaganya untuk menangisi 'calon' mantan suaminya. Dia tidak pantas ditangisi Belle lagi. Untuk apa? Dia sudah dapat kebebasan untuk mencintai orang lain. Layar smartphone Belle menampilkan nomor Pak Harris selaku pengacaranya, dia sangat antusias menerima telepon Harris berharap Phill mempermudah proses perceraian ini. "Halo, Pak. Bagaimana?" tanya Belle dengan nada riang. "Pak Phill menolak menandatangani surat itu jika anda tidak menemui Pak Phill dulu, Bu. Saya sudah jelaskan dengan baik tapi dia tidak mau."ucap Harris dengan nada lemah. "Kenapa seperti itu? Harusnya dia senang dong, dia sudah bisa mendekati Meisha sekarang." "Saya sarankan anda lebih baik menelpon Pak Phill atau-" "Saya tidak mau! Tolonglah, Pak Harris... Uang bukanlah masalah. Saya harap Pak Harris bisa menyelesaikan ini semua." "Saya usahakan, Bu." Belle tertunduk lemas, tidak mengerti kenapa Phill mempersulit ini semua. Belle menekankan punggungnya dan memandang langit ruangan kerjanya. Klek. Suara pintu terbuka mengalihkan pandangan mata Belle dan menemukan sosok Maxy, atasan kerjanya. "Kami tidak makan siang?" tanya Maxy yang berjalan menghampiri Belle. "Pak Maxy! Kenapa tidak panggil saya saja?" Belle merasa tidak enakan dengan atasannya. "Gak apa kok. Saya mau ajak kamu makan siang bareng. Kalau kamu gak keberatan sih." Maxy melirik ke sebuah foto anak perempuan di samping komputer. "Ini anakmu?" Belle mengangguk. "Iya, Pak. Namanya Kimora. Umurnya hampir 3 tahun." "Anaknya cantik seperti Ibunya." senyum Maxy sambil memuji Belle. Wajah Belle merona. Sudah lama tidak ada pria yang memujinya cantik. Phill hanya bisa protes jika Belle memakai kosmetik. "Apaan sih pakai dandan di rumah. Gak lelah wajahnya pakai dempulan terus? Hapus saja. Lebih bagus alami." "Belle?" panggil Maxy yang melihatnya sedang melamun sekejap. "Ah-iya Pak! Saya juga mau makan siang. Tapi traktir ya? Hahaha." Belle mencoba menutupi lamunannya tadi. "Wah, baru kali ini ada pegawai saja yang berani mibta traktir sama saya. Apalagi terang-terangan begini." Maxy menatap Belle sambil tersenyum tipis. "Maaf Pak. Saya gak sopan yah?" "Gak kok. Saya suka kamu yang coba akrab dengan saya. Selama ini seluruh pegawai disini selalu segan sama saya. Mungkin tampang saya yang dingin kali ya? Padahal saya orangnya suka bercanda juga, yah-saya sih garing memang, tapi untuk bercengkrama seperti ini saya juga suka. Hanya saja, seluruh pegawai saya sudah menjauh duluan karena takut. Kamu beda, Belle." puji Maxy. "Hahaha. Pak Maxy... Anda itu seperti Bos saya dulu waktu kerja di Indonesia. Persis! Tampilan dan kepribadiannya terbalik." "Ganteng juga gak kayak saya?" narsis Maxy yang membuat Belle terbahak-bahak. "Gak, Pak. Bos saya dulu gemuk dan pelontos. Hahaha." Setelah mengambil tas mungilnya, Belle keluar dan Maxy membukakan pintu ruangan untuk Belle. Banyak orang yang melihat dan Belle merasa risih. "Pak Maxy, jangan berlebihan..." bisik Belle. "Sengaja..." jahil Maxy dan membuat Belle sedikit jengkel. . . . . . "Kamu belum resmi bercerai?" Maxy sedikit terkejut dengan cerita hidup Belle. Belle mengangguk dan membersihkan mulutnya selepas makan tenderloin steak. "Begitulah, Pak. Suami saya mempersulitnya. Dia tidak mau menandatangani surat gugatan cerai saya." Mengamati wajah lelah Belle, Maxy merasa sangat prihatin. "Kamu gak mau memberikan dia kesempatan? Dia sudah bilang mau belajar mencintai kamu kan?" "Pak Maxy... Apakah anda tidak sakit hati jika selama anda menikah dengan orang yang anda yakini dia memiliki perasaan yang sama dengan anda, ternyata dia malah mencintai orang lain?" "Ya. Saya akan terluka." "Itu juga yang saya rasakan. Bahkan menjelang tahun ketiga pernikahan saya, dia masih memilih mengkhawatirkan wanita lain. Saya padahal sudah berusaha sekuat tenaga merubah diri sampai saya melupakan jati diri saya. Saya berpikir 'dia tidak pernah mencintai saya yang sesungguhnya' dan akhirnya saya menyerah. Mau saya berusaha sekuat tenaga juga, dia tidak akan pernah mencintai saya." "Lalu apakah yang dihadapan saya ini adalah Belle yang sesungguhnya? Belle yang meluap-luap karena emosi dan juga Belle yang menyukai penampilan sempurnanya?" "Saya sudah tidak tahu lagi. Entahlah... Saya juga tidak peduli lagi." "Belle... Inilah kamu. Ini kamu yang sebenarnya. Tidak perlu lagi kamu pikirkan masa lalu lagi. Di luar sana masih banyak pria yang menyukai wanita seperti kamu yang apa adanya ini. Termasuk saya. Hehehe." Pak Maxy! Saya lagi sedih malahan di bercandain." gerutu Belle. "Biar semangat lagi. Hahaha. Oh iya, panggil saja saya Maxy. Lagipula umur kita gak begitu jauh kok. Saya juga baru umur 30 tahun, jadi kalau dipanggil "Pak" rasanya... grrrr." Maxy sok merinding dan Belle terkekeh geli. "Saya gak bisa tapi... Saya gak enak panggil atasan saya dengan nama saja. Formal saja lah." "Padahal saya baru anggap kamu sahabat saya loh, Belle. Kamu kan tahu saya di kantor di segani. Tega banget kamu sama saya." Belle semakin tertawa dan dalam sekejap Maxy sukses mengeluarkan Phill dari hati dan pikirannya. "Maxy... Makanya berubah jadi ramah." . . . . . Seperti biasa, setelah pulang kerja Belle akan membelikan makanan jadi untuk Kimora dan Ayla yang juga sudah pulang lebih dulu dan.menjemput Kim dari tempat penitipan anak. Di supermarket, Belle juga membeli kebutuhan pokok untuk besok. Di akhir pekan, Belle akan masak untuk anaknya yang sudah pasti merindukan masakan Ibunya. Setelah selesai berbelanja, mata Belle melihat sosok Maxy yang juga keluar dari tempat supermaket yang sama. Namun Maxy keluar lebih dulu dan sedang mencari sesuatu dari dalam plastik belanjanya. "Pak Maxy!" Maxy terkejut, tapi dia menyadari panggilan Belle tadi. "Pak Maxy?" "Eh lupa! Maxy maksudnya. Hehehe." Belle tersenyum lebar menutupi kesalahannya. "Kamu habis belanja juga?" tanya Maxy. "Iya. Besok karena libur saya mau masak. Belanja di sini juga?" Maxy mengangguk. "Apartemen saya kan di sini. Itu gedungnya." "Saya juga tinggal di sana. Lah... Kita tetanggaan. Hahaha. Ini kebetulan yang lucu! Lagi cari apa sih?" "Saya lagi cari smartphone saya. Tadi saya langsung masukin aja ke kantong. Tapi dimana ya? Coba kamu telepon ke nomor saya deh. Biar kedengaran bunyinya." Belle menuruti permintaan Maxy dan ternyata smartphonenya ada di dalam kantong lain. "Hahaha. Bos saya ini lucu juga. Ternyata ceroboh juga." "Kamu mau dipecat?" Maxy pura-pura menggertak. "Ampun... Kamu tinggal sendirian? Belanjanya khas orang yang malas masak. Makanan instan semua. Gak sehat tuh." cibir Belle melihat isi belanjaan Maxy. "Mau gimana lagi. Saya belum punya istri. Pacar juga gak ada. Yah sudah mending masak yang praktis." "Yee, walaupun gak ada pasangan hidup tetap harus masak yang sehat. Besok ada acara gak?" Maxy menggeleng. "Kenapa?" "Besok makan di tempat saya aja. Saya masak banyak. Tenang saja, gak hanya berdua kok. Teman saya juga ada." Mata Maxy melebar. "Kamu gak takut digosipin sama saya kalau ada orang kantor yang lihat?" "Kan kita sahabat..." jawab Belle.demgan cuek melangkah di depan Maxy. Wanita yang unik, batin Maxy yang entah kenapa menyukai memandang Belle dari belakang saat ini. . . . . . Kedua orang tua Belle mendatangi rumah Phill yang sudah terlihat kusam karena tidak pernah dibersihkan. Sejak Belle menghilang, Phill membiarkan rumah itu tetap sama seperti yang ditinggalkan oleh Belle. "Papa... Mama?" Phill mengusap wajahnya begitu melihat kedua mertuanya. "Kita perlu bicara. Ini soal permintaan anakku yang minta cerai darimu." Bagaikan terasa gempa, tubuh Phill seperti tidak bisa berdiri tegak. Ferry dan Anna, kedua orang tua Belle tampak serius dan marah melihat Phill. "Sudah saatnya... kita pertegas semua ini." ucap Ferry dan Phill belum siap dengan semuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN