Kebimbangan

1191 Kata
"Halo," ucap Clara, ketika berhasil menemukan satu sudut yang dirasa tak terlalu ramai. "Iya. Clif, saya ajudan Pak Kristo. Kamu tahu, kan?" "Ah, iya, Pak. Saya tahu. Sebelumnya, saya sudah berbicara dengan Pak Kristo. Beliau juga menjelaskan soal tawarannya." "Iya, Clif. Kamu hanya punya satu kesempatan. Kamu ke sini saja. Ke kantor. Kamu bisa menandatangani kontrak kerja kalau memang setuju dengan syarat dan ketentuan yang kami berikan. Tenang, kamu diberikan waktu untuk membaca semua surat kontrak dan berkas-berkas dari kami. Tidak ada paksaan sama sekali. Silakan dipikirkan. Saya tunggu besok, ya. Besok pagi, pukul delapan." "Baik, Pak. Saya akan memikirkan tawaran itu lagi." "Baik. Terima kasih, ya, Clif. Selamat sore." "Sore kembali." Telepon pun ditutup. Clara menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan agak kasar. Ia sungguh dilanda perasaan bingung sebenarnya. Ia tidak mau terikat, tapi menjadi penulis lepas juga tidak memberinya kepastian apa-apa. Novelnya yang sudah booming itu pun, belum tentu diperpanjang kontraknya oleh penerbit yang kini kerja sama dengannya. Kalau tidak salah, kontraknya akan segera berakhir. Dan lagi, ia bukan salah satu yang masuk dalam deretan penulis terkenal di penerbit tersebut yang buku-bukunya selalu best seller. Clara sadar diri. Ia bukan penulis yang menulis apa pun, akan langsung booming. Tidak seperti San. Ah, ia iri kepada laki-laki itu. San sangat sempurna. Gadis itu kembali ke perkumpulan BBA yang kini, sudah tambah satu orang lagi. Sam, sudah datang. Maka, perkumpulan itu pun semakin ramai. "Ada yang baru dapat telepon, tuh," ucap Anrez. "Kalian ini, kepo sekali. Siapa, Clif? San, bukan?" tanya Lora. "Eh, bukan, Ra. Bukan San." "Hehe. Kukira dia." "Ya ampun, Lora. Tidak akan semudah itu seorang Clara berpaling dari Naren. Rasanya akan sulit, menyingkirkan satu nama yang sudah terpaku bertahun-tahun," ucap El agak sinis. Ya, seringnya ia gregretan kepada Clara, karena gadis itu terus bertahan kepada kisah cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan. Terlalu fokus kepada cinta yang penuh ketidakpastian. Terjebak friendzone pula. Lengkap sudah kisah cinta Clara yang acakadul. Clara hanya tersenyum meringis mendengar kata-kata El yang memang sangat pas dengan realitas yang sedang ia alami. "Sudah, kalian ini. Bersikaplah bijak, agar Clif bisa beritahu kita soal siapa yang tadi meneleponnya. Sayang, kamu terlihat agak gelisah," ucap Mami Ren. "Iya, Clif. Aku yang sudah lama tak melihatmu saja, agak cemas. Kenapa?" tanya Sam. Mata semua anak BBA pun hanya mengarah kepada Clara seorang. Semuanya penasaran. "Tadi itu, yang menelepon adalah ajudannya Pak Kristo." "Kristo Wijaya?" tanya Anrez setengah berteriak. Clara mengangguk. "Aku sebenarnya bingung. Ini tentang tawarannya beberapa waktu lalu, soal dia ingin menjadikanku salah satu bawahannya. Salah satu staf-nya. Aku tidak terlalu paham, tapi sepertinya penjelasannya akan dijabarkan besok pagi. Di berkas-berkas yang harus aku cek." Hening beberapa saat. Seperti ada keraguan yang menyelimuti mereka semua. Masing-masing, tak tahu mana yang tepat dan baik bagi seorang Clara. Clara, masih penulis pemula yang baru saja hendak melebarkan sayapnya. "Coba kamu pikirkan baik-baik, Sayang. Kalau sekiranya kamu memang butuh waktu berpikir sendiri, maka kami tidak akan menyampaikan pendapat apa pun." Clara tersenyum mendengar perkataan Mami Ren yang selalu bijak dan sejuk itu. "Iya, Mami. Terima kasih. Menurut kalian, berkerja di bawah politisi itu, bagaimana? Apa pandangan kalian? Aku tidak tahu apakah itu akan mengekang kreativitasku atau tidak, yang pasti, tentu akan ada kekurangan dan kelebihannya. Iya, kan?" tanya Clara dengan lebih bersemangat dan dengan nada yang lebih mantap. Clara menatap satu demi satu teman-temannya itu. "Ehm, oke. Biar aku beri pandanganku soal apa yang sedang Clif hadapi. Begini, Clif. Dalam kasusmu, kamu adalah penulis baru yang maksudku, kamu sudah lama berjuang, tapi namamu baru muncul akhir-akhir ini. Itu berarti, bagi semua orang, kamu adalah penulis baru. Benar? Nah, karena masih baru, kupikir tidak ada salahnya untuk mencoba hal-hal baru. Meskipun ya, kamu benar. Akan ada kekurangannya. Mungkin, tidak akan sebebas seperti saat kamu jadi penulis lepas," ucap Sam menyampaikan pendapatnya. "Setuju. Kenapa aku setuju? Karena itu adalah Kristo Wijaya. Siapa yang tidak tahu politisi itu. Dia adalah politisi dan anggota dewan paling bersih sampai detik ini. Tidak ada citra buruk apa pun. Sama sekali tidak. Ya, aku tahu mungkin dia punya tim khusus untuk menaikkan citranya. Tapi, tidak mungkin bisa sebersih itu. Bayangkan, bahkan netizen saja, semuanya memihak dirinya. Dia tidak punya keburukan. Kebijakan dan kata-katanya selalu tepat dan pas." Anrez juga berpendapat panjang lebar. "Benar. Karena itu Kristo Wijaya. Kalau itu politisi lain, mungkin aku juga tidak akan mendukung," ucap Sam kembali menambahkan." "Begini," El mulai ikut membuka suara. "Aku paham kenapa kamu ragu. Padahal, sudah jelas banyak faktor bagus yang mungkin akan membuat kehidupanmu terjamin kalau-kalau kamu setuju untuk bekerja di bawah Kristo Wijaya itu. Kamu takut kecewa, betul? Kamu takut ekspektasimu terpatahkan? Atau mungkin, kamu memiliki sedikit firasat mengenai ini?" Clara cukup tertarik dengan pernyataan El. Apakah ia memiliki satu firasat buruk? Entah. "Aku tidak tahu, El. Aku tidak tahu apakah aku perasaan ini hanya keraguan tak berarti, atau justru sebuah firasat buruk." Clara menatap El. Dan El membalas tatapan Clara, seolah El memang tak cukup setuju jika Clara harus menulis di bawah kontrak kerja dari seorang politisi, sekalipun itu adalah seorang Kristo Wijaya. "Ah, sudah. Baiknya kita jangan membicarakan ini dulu. Ya, kan? Kenapa kita tidak menikmati dulu momen langka ini? Kita harus pesan banyak makanan hari ini. Anrez kan sudah janji mau bayar," ucap Clara, mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin sore itu jadi sore yang sedikit buruk, karena acara kumpul-kumpul anak-anak BBA yang seharusnya fun, jadi aneh gara-gara keresahan darinya. *** Clara pulang diantar oleh Anrez. Laki-laki itu tersenyum sebelum Clara menutup pintu mobilnya. "Terima kasih, ya. Atas makanannya, pendapatnya, semuanya. Dan ide soal kumpul-kumpulnya. Kalau kamu tidak bilang tidak akan bayar semisal kita semua tidak hadir, itu ide paling hebat." "Haha. Iya, Clif. Kalau tidak begitu, sepertinya salah satu dari kita ada yang tidak akan hadir." "Iya. Apalagi banyak yang sibuk." "Itu. Kamu juga, pasti akan segera sibuk, Clif." "Entah," ucap Clara. "Ya sudah, masuk sana." Clara mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan gadis itu aman, Anrez pun menancap gas dan segera pergi. *** Clara terdiam. Ia memikirkan apa yang ajudan Pak Kristo katakan. Lagipula, memang tidak ada salahnya jika besok ia pergi ke kantor Pak Kristo, meskipun hanya untuk melihat-lihat dan membaca kontrak tersebut. Seperti kata-kata ajudannya itu, tidak ada paksaan. Berarti, ia tak harus setuju. Ia hanya harus memeriksa kontrak tersebut terlebih dahulu. Ya, benar. Sesederhana itu. Di tengah kebimbangan itu, Clara memilih untuk mencurahkan perasaannya kepada Naren. Ia tidak peduli akan pesannya akan dibalas atau tidak atau bahkan pesannya mungkin akan dibalas dua hari kemudian. Ia juga tidak peduli kalau ia mungkin akan mengganggu laki-laki yang sedang serius belajar itu. Entah. Hanya saja, ia memang butuh Naren untuk mengungkapkan semua isi hatinya. Tidak ada yang lain lagi. Hanya Naren saja. [Naren. Kalau kamu baca pesan ini dan sibuk, abaikan saja. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu. Aku sedang bingung. Aku bingung antara memilih menjadi penulis biasa, tapi dengan penghasilan yang tanpa kepastian, atau menjadi penulis yang bekerja di bawah seseorang. Seperti menjadi staf Kristo Wijaya. Kamu juga pasti tahu dia, kan? Nah, itu. Aku bingung. Sangat bingung.] Setelahnya, gadis itu pun agak lega. Ia merebahkan dirinya dan karena hari sudah beranjak malam, ia pun memutuskan untuk beristirahat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN