Yang Harus Diselesaikan

1003 Kata
"Sudah berakhir? Tidak ada hal yang kamu sembunyikan? Pertemuan dengan Clif, hanya di kedai? Tak ada lagi pertemuan lain?" San memberikan banyak pertanyaan kepada Tora yang dari kemarin tinggal di ruangan bawah tanah yang agak pengap. Meskipun tidak diikat, tapi Tora tak berkeinginan untuk pergi atau kabur dari sana. Ia menyadari tak lagi memiliki kekuatan yang cukup. "Ya, seperti yang kau lihat. Aku sudah pasrah dengan apa yang mungkin terjadi dengan hidupku setelah ini. Mau kau apakan aku, dengan cara apa kamu menyingkirkanku, silakan saja. Bebas. Aku tidak peduli lagi. Dan pacarmu itu, aku mau cerita sedikit." Tora memberi isyarat agar San mendekat. Lebih dekat, Tora berbisik. "Dia, lumayan seksi juga." Seketika San melayangkan tinju kepada Tora. "Jangan main-main, sialan!" Tora tertawa, terbatuk-batuk. Pipinya memerah, panas. Ia merasakan perih yang lumayan. "Lihat, ternyata San yang biasanya terlihat dingin dan terlihat bisa mengontrol semuanya dengan santai, rupanya bisa terbawa emosi juga. Malah, terbawa emosi hanya karena seorang perempuan. Aku hanya bercanda. Ada banyak perempuan yang lebih seksi darinya. Haha." San menyadari ia sudah bersikap berlebihan. Secara tak langsung, ia sudah memperlihatkan kelemahannya kepada Tora. "Berhenti main-main denganku dan jawab pertanyaanku. Itu saja." San berusaha menurunkan emosinya. Ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk membuat semuanya jelas dan selesai. Sebelum ia benar-benar memutuskan untuk menyingkirkan Tora. "Dengar. Sekali lagi, aku ingin kamu jawab dengan penuh kejujuran. Apakah kamu tidak lagi bertemu dengan Clif setelah di kedai itu? Jawab dengan benar. Aku akan menyingkirkanmu dengan caraku sendiri. Aku tidak ingin besok pagi, mendengar berita mayatmu ditemukan di sungai atau dimutilasi. Tidak. Jadi, jawab." "Apa maksudmu? Bukankah, seseorang yang mengusik Kristo Wijaya sudah pasti akan dimatikan?" "Diam. Jawab saja." "Oke. Benar. Itu pertemuan terakhirku dengan Clif. Tak ada yang kubicarakan, selain aku minta tolong untuk mentraktirku makan. Dan selebihnya, semua percakapan basa-basi saja." San terdiam. Ia merasa dihadapkan pada pilihan yang sulit. Ia kebingungan antara harus percaya atau tidak kepada Tora. Kalau ia tidak percaya, maka ia harus dengan rela Tora disingkirkan dengan cara yang tragis. Ia masih memiliki cukup simpati kepada teman lamanya itu. "Oke. Sebaiknya kamu memang benar-benar menjawab pertanyaanku dengan jujur, Tora. Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan darah seseorang yang dulu pernah sama-sama berjuang untuk meraih cita-cita yang sama." Ada senyum yang tersungging di bibir Tora. "Aku pikir, kamu sudah lupa bahwa kita pernah memiliki tujuan yang sama. Nyatanya, baik aku atau kamu, sudah melenceng dari tujuan awal sebagai seorang penulis. Akui saja, San. Itu kebenaran yang tidak bisa dienyahkan." San tak ingin menanggapi soal itu. Meskipun memang apa yang Tora katakan itu benar, tapi itu tidak penting lagi. Sudah sangat jauh ia melangkah. Jadi, tak ada jalan untuk kembali. "Dulu, kita sama-sama bercita-cita untuk hidup sebagai penulis yang idealis. Yang menjunjung tinggi kebenaran dan makna yang dalam dari sebuah karya seni. Tapi, nyatanya jadinya harus seperti ini, haha. Lucu sekali hidup kita ini memang." "Tidak, Tora. Aku tidak sama denganmu. Kau gagal. Aku tidak." San berusaha memberi penyangkalan atas apa yang sebenarnya memang terjadi. Mereka sama-sana sudah kalah, gagal dan mengkhianati cita-cita semula. "Kau juga gagal. Jangan menutup mata untuk itu. Sebab apa? Kegagalanmu lebih buruk dibandingkan kegagalanku." "Berhenti bicara yang membuatku sakit kepala. Aku sudah pesankan tiket. Pergi saja besok. Romi akan mengawasimu. Dan ingat, tidak ada kesempatan bagimu untuk kembali ke negara ini. Jadi, menetaplah di sana, kalau kau masih ingin tetap hidup." Tora menarik napas panjang. Mengembuskannya kasar. "Sebenarnya, kalau pun kau ingin aku mati, kalau pun kau ingin menyingkirkanku dengan cara yang tragis dan buruk, itu tak masalah. Aku sudah menyerah dengan hidupku." "Diam dan menurutlah. Jangan banyak bicara." San segera keluar dari ruangan pengap tersebut dan menyuruh Romi untuk mempersiapkan segala sesuatunya. "Siapkan keberangkatan untuk besok. Kau harus mengawasinya sampai Tora benar-benar pergi. Dan jangan biarkan ia punya kesempatan untuk kembali." "Haha. Tenang saja, di sana, akan ada yang mengawasi dan dapat kupastikan hidupnya akan pas-pasan. Tidak ada kesempatan untuk bisa makan enak atau kembali ke sini." "Ya, bagus. Memang sebaiknya begitu. Aku sudah membuat laporan bahwa kita sudah membereskan Tora. Jadi, jangan sampai ada hal yang mengacaukan semuanya di kemudian hari." "Baik. Aku akan melakukannya dengan benar." *** Clara kembali memperhatikan selembar kertas yang ada di mejanya. Setelah diingat-ingat, kertas itu hampir sama dengan kertas yang dipungut Pak Edo ketika bertabrakan dengannya kemarin. Ah, gadis itu lupa-lupa ingat, sebab kejadiannya begitu cepat. Apa sebaiknya ia tanyakan itu kepada Pak Edo? Sebenarnya ia agak ragu untuk itu. Atau ia tanyakan saja kepada Tora? Bukannya laki-laki itu sudah dipenjara? Pastinya, tidak mungkin Clara dapat menghubungi Tora. Iseng, Clara betul-betul menelepon nomor Tora. Tersambung, memang. Tapi, tak ada yang mengangkat. Ah, tentu saja. Itu akan sia-sia saja. Clara menebak bahwa memang ada sesuatu yang besar, yang tersembunyi di balik ketenaran dan popularitas, nama baik Kristo Wijaya beserta jajarannya. Gadis itu perlahan mulai menyadari bahwa memang tidak mungkin seorang politisi sesempurna apa yang ditampilkan oleh Kristo Wijaya. Namun, mengungkap itu tak akan mudah. Apalagi, selembar kertas yang mungkin Tora sengaja tinggalkan di ruang tamu Clara, bisa jadi adalah sebuah jebakan semata. Clara tak mau jadi orang bodoh. Ia tak ingin gegabah. Ah, seandainya saja ia bisa bercerita semuanya kepada San, tanpa harus ada yang ditutup-tutupi, mungkin perasaannya akan sedikit membaik. Tidak galau dan bingung terus. Ya, benar. Kejujuran memang adalah sesuatu yang paling tepat. Kapan pun dan di manapun, jujur adalah pilihan paling benar. Clara menyusun rencana untuk memberitahu San semuanya. Lagi, Clara juga ingin tahu apakah benar San bekerja di bawah Kristo Wijaya atau tidak. Itu juga harus ia ketahui. Ia ingin mengetahui semuanya sejelas mungkin, agar tak ada lagi prasangka buruk yang terus menari-nari di pikirannya tentang Tora. Gadis itu sudah bertekad. Pertama, ia harus memberitahu pelan-pelan soal selembar kertas, ah, tidak. Mungkin pertama-tama, ia harus jujur soal pertemuan terakhirnya dengan Tora, kedua bertanya apakah benar San bekerja di bawah Kristo Wijaya seperti yang Tora katakan, ketiga mencari tahu kebenaran soal selembar kertas yang ada di tangannya. Benar. Itu yang harus ia lakukan. Tidak ada jalan lain, sebab kalau ia terus menyimpannya, Clara merasa akan benar-benar jadi orang gila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN