Setelah hari di mana Clara dan San berdebat, keduanya beraktivitas seperti biasa. San menjemput Clara, namun keduanya tak terlalu saling bicara. Seolah ada tembok besar yang terbentang. San sebenarnya ingin sekali menghancurkan tembok itu, tapi ia merasa hal tersebut akan membawanya kembali kepada perdebatan-perdebatan rumit seperti tempo hari.
"Sudah sarapan?" tanya San berusaha agar tidak hening-hening amat.
"Sudah."
"Baik. Emm, kamu tidak mau tanya apa aku sudah sarapan atau belum?" tanya San lagi.
Yang ditanya tersenyum. "Kamu sudah makan?"
"Belum."
"Oh. Kalau begitu, apa kita mampir dulu ke suatu tempat?"
San menggeleng. "Tidak perlu. Aku akan beli makanan ringan saja."
Setelah kalimat itu, sisa perjalanan menuju kantor Clara, tak diisi lagi perbincangan apa pun. Dingin.
Clara sesekali terfokus kepada ponsel. Meskipun pikirannya tak bisa benar-benar teralihkan dari San dan semua permasalahannya kemarin-kemarin.
Sesampainya mereka di depan kantor Clara, San ikut turun.
"Aku akan jemput lagi nanti," ucap San.
Clara tak langsung pergi. Gadis itu diam sebentar dan melihat San. San juga melakukan hal yang sama. Mereka saling menatap, tapi seolah tak merasakan apa pun.
"Tidak perlu menjemput, kalau kamu punya urusan yang lebih penting untuk diselesaikan."
Kata-kata itu tak mendapat bantahan dari San. "Oke."
Bagi San, kata-kata itu lebih terdengar seperti penolakan. San berpikir kalau Clara sedang tidak ingin sering-sering bertemu dengannya. Sedikit terlintas di pikiran San, tentang ia yang harus segera mengatakan yang sebenarnya kepada Clara. Namun, laki-laki itu berpikir ulang. Belum saatnya.
Ia belum memiliki keberanian untuk itu.
San tidak tahu. Tanpa ia harus mengatakan semuanya, Clara akan terus mencari tahu. Lambat laun, gadis itu akan segera mengetahui semuanya.
***
Clara masuk ke kantor. Ia tak sengaja mendengar beberapa pegawai yang berbisik-bisik soal apa yang terjadi di kantor. Pak Edo dipecat dan dilaporkan atas tuduhan pencurian data penting perusahaan. Katanya, data itu hendak dijualnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
"Pak Edo, bukannya Pak Edo yang anaknya sakit parah?" tanya salah satu pegawai.
"Iya, itu. Anaknya sakit parah dan sekarang, ayahnya sudah dapat dipastikan akan dipenjara. Ya ampun. Kasihan sekali."
Mendengar itu, Clara tetap meneruskan langkah untuk menuju ruangannya. Ia merasa kepalanya sudah penuh dengan permasalahannya sendiri dan tak ingin bertambah penuh lagi karena kasus Pak Edo. Biarlah.
Sekilas ingatan Clara kembali ke beberapa waktu lalu, saat ia bertabrakan dengan Pak Edo. Mungkinkah, saat itu Pak Edo sedang mencuri data penting?
Ah, Clara memukul kepalanya sendiri dengan pelan. Ia berusaha menghentikan pikirannya yang mulai memikirkan kasus tersebut.
Gadis itu berusaha fokus kepada apa yang seharusnya ia kerjakan. Dan walaupun ia berusaha keras untuk itu, walaupun pekerjaannya memang berhasil ia selesaikan, tapi tetap saja. Itu tak bisa membuat Clara benar-benar tenang.
Sampai istirahat makan siang tiba, Clara tak keluar dari ruangannya. Ia lebih memilih menonton video YouTube, mencari hal-hal yang mungkin bisa membuatnya lebih ceria. Namun, tamk bisa dipungkiri, rencana untuk tetap meminta penjelasan lebih kepada San, mulai kembali lagi.
Kenapa San tidak jujur dari awal bahwa ia juga bekerja di bawah seorang Kristo Wijaya?
Kenapa San tidak bisa menjelaskan perihal pekerjaan yang ia lakoni di bawah kepemimpinan Kristo Wijaya?
Apakah karena benar, pekerjaannya itu kotor?
Aih, Clara tak bisa menerima prasangkanya sendiri. Tidak mungkin, sangkalnya. Mana mungkin San melakukan pekerjaan yang kotor. Clara sangat ingin tahu. Kalau semuanya sudah jelas, akan mudah baginya untuk memutuskan apakah hubungannya dengan San itu memang patut untuk dilanjutkan atau tidak.
"Tidak mau makan siang?" tanya Sonia. Kepalanya menyembul di balik pintu ruangan Clasa. Tiba-tiba. Tanpa ketukan dan ucapan permisi. Persis kebiasaan Tora saja.
"Sepertinya, tidak."
"Yakin? Ada yang harus kita bicarakan. Tapi, jangan di sini."
"Apa? Katakan saja. Bicarakan saja di sini. Aku malas keluar kantor."
"Tidak bisa. Ini penting untuk kelangsungan pekerjaan kita di kantor."
Clara sebenarnya tidak ingin, tapi melihat bagaimana Sonia begitu antusias dalam mengajaknya berbicara, gadis itu tak tega jika harus menolak. Clara sudah mulai memahami. Sonia adalah tipe orang yang sangat suka didengarkan. Maka, bagi Clara, benar atau tidaknya cerita atau dugaan Sonia, Clara selalu berusaha menghargainya.
"Oke. Aku akan ikut makan siang denganmu."
"Nah, bagus. Sepertinya kamu sedang ada yang dipikirkan. Akan lebih baik jika kita saling bertukar pikiran."
Clara hanya tersenyum. Membicarakan masalahnya kepada Sonia? Bisa saja, tapi tidak akan terlalu gamblang. Nanti bahaya. Sonia nanti akan memberinya berbagai praduga macam-macam. Makin ruwetlah.
Salah satu restoran favorit Sonia yang agak jauh dari kantor. Makanannya tidak terlalu enak, tapi suasana yang disuguhkan oleh restoran itu cukup nyaman. Mungkin, itulah salah satu alasan kenapa restoran tersebut jadi favorit Sonia.
Setelah memesan beberapa menu, Sonia memulai pembicaraan.
"Mari bertukar pikiran. Melihatmu seperti zombie, itu tidak menyenangkan."
"Zombie? Apa aku terlihat seperti itu di matamu?"
Sonia mengangguk.
"Apa orang-orang kantor juga berpikir yang sama denganmu? Aku terlihat aneh?"
"Entah, mungkin mereka tidak terlalu memperhatikan, atau bahkan tidak terlalu peduli denganmu. Hanya saja, aku merasa akhir-akhir ini, wajahmu memang seperti zombie. Pucat, tidak bersemangat, ya, seperti itulah."
"Ya, mungkin memang aku terlihat seperti itu. Tapi, aku baik-baik saja."
Jelas, Clara sedang berbohong dan kepura-puraannya itu mengundang tawa Sonia.
"Clif, kamu ini. Ah, sudahlah. Ceritakan saja apa yang ingin kamu ceritakan kepadaku. Bebas saja. Siapa tahu, ya, siapa tahu, ceritamu menginspirasi."
"Bukan kalimat itu yang harus kamu ucapkan. Orang-orang, biasanya akan berkata siapa tahu aku bisa bantu. Begitu."
"Ah, maafkan aku, Clif. Tapi aku bukan orang biasa. Jadi, mana bisa aku mengatakan apa-apa yang orang biasa katakan. Aku berbeda."
Tidak ada gunanya memperdebatkan soal itu. Clara melihat Sonia dan merasa, memang tak ada orang yang cukup bisa ia jaditkan tempat bicara selain Sonia (sementara ini) karena anak-anak BBA sedang sibuk, dan ibunya? Tidak mungkin ia bicara soal permasalahan peliknya bersama San kepada ibunya. Nanti, ibunya jadi ikutan memikirkan hal itu dengan keras.
Hanya, mengatakan semuanya kepada Sonia, itu juga bukan hal yang tepat.
"Oke, begini saja. Menurutmu, dalam suatu hubungan, apakah kejujuran itu yang paling penting?"
Sonia tak langsung menjawab. Ia berpikir dulu sebelum menanggapi.
"Hubungan yang seperti apa dulu?" Ia malah bertanya balik.
"Ya, hubungan yang biasa. Sebuah hubungan cinta. Antara laki-laki dan perempuan."
"Baik. Kalau menurutku, tergantung."
"Tergantung?"
"Ya, tergantung hubungannya seperti apa. Kalau memang si perempuan dan si lelaki ini saling menghargai, maka keduanya akan saling jujur dan tentu saja, kejujuran itu jadi penting. Tapi, kalau si perempuan dan si laki-laki tidak yakin, mungkin mereka akan saling menyembunyikan sasuatu."
Benar dugaannya. Mendengar penjelasan Sonia, Clara malah semakin pusing.