Grey menolak saat Bastian mencium bibirnya sangat kasar. Ia memang ingin disentuh, tapi tidak dengan kasar dan dalam amarah seperti ini.
Namun, penolakannya itu membuat Bastian semakin marah. Ia melepaskan ikat pinggangnya dan tiba-tiba saja mencekik leher Grey begitu kuat.
"Arghhhhhhhh!" Grey yang kesakitan berteriak, memukuli tangan suaminya berharap cekikan itu dilepaskan.
"Bagaimana? Apa kamu masih ingin aku sentuh?" Bastian melucuti pakaiannya sendiri, membuang kemejanya asal dan semakin menindih tubuh Grey. "Ini yang kau inginkan bukan? Kamu begitu murahan sampai terus ingin aku sentuh. Ya, kamu memang murahan!" Tak tahu apa yang ada dipikiran Bastian, pira itu tiba-tiba menampar pipi Grey dengan keras.
Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali hingga sudut bibirnya robek dan pipinya lebam. Meski Grey menangis kesakitan, Bastian mencium bibirnya membuat rasa perih semakin menjadi-jadi. Pria itu sesekali mencengkram lengan Grey dengan begitu kuat seraya mengeram begitu keras.
Grey menangis seraya menggelengkan kepala. Tubuhnya terasa remuk tak karuan karena terus dipukuli. Awalnya ia masih bertahan, namun lama-lama tubuhnya tak mampu menahan segala rasa sakit itu dan ia jatuh pingsan.
***
Suara minyak goreng meletup-letup cukup kuat saat beberapa potong ayam dimasukkan ke dalam wajan. Grey menutupnya lalu melanjutkan pekerjaan lain dengan memotong beberapa sayuran.
Jika ditanya bagaimana keadaannya saat ini? Tentu saja tidak baik-baik saja. Ia merasa seluruh tubuh nyeri pun dengan hatinya yang begitu sakit. Sesekali air mata turun membahasi pipinya, segera ia tepis dan berusaha melupakan rasa sakit itu dengan menyibukkan dirinya.
Pagi sekali ia sudah datang ke restoran, tak peduli luka di tubuhnya masih sakit Grey merasa akan semakin sakit hati jika terus berada di rumah. Bastian nyatanya orang yang begitu gila dan membuat Grey merasa ketakutan.
"Hei."
Grey mendengar sebuah panggilan dari arah pintu dapur. Ia mengabaikannya, lebih memilih fokus memotong sayuran yang ia butuhkan.
"Hei, apa kamu tidak mendengarku?" Panggilan selanjutnya memaksa Grey untuk menoleh. Cukup terkejut saat melihat sosok Xabiru yang ada di sana. Tidak ingin berpikir lebih, kepalanya sudah terlalu sakit sekarang.
"Ck, dasar wanita bodoh. Lihatlah kamu ingin membakar dapur ini?" Xabiru terburu-buru berjalan ke arah Grey, lebih tepatnya ke kompor yang apinya menyambar sangat besar.
Grey terkesiap saat melihat kain lap yang terbakar di sisi kompor. Terlalu banyak beban pikiran membuat ia tidak ingat meletakan kain itu sembarangan. Xabiru mengambil kain itu lalu menyiramnya dengan air setelah mematikan kompornya.
Xabiru berdecak kesal saat melihat kain itu sudah berhasil dipadamkan apinya. Semalam ia memang menginap di kantor Mamanya karena malas pulang, ia terbangun saat ingin mengambil minum akan tetapi malah dikejutkan dengan kondisi dapur yang hampir terbakar.
"Maafkan aku, tadi aku—"
"Tunggu." Xabiru mengerutkan dahi, menatap Grey dengan seksama. Ia terkejut saat melihat pipi Grey yang lebam serta sudut bibir yang terluka. "Kenapa dengan wajahmu?" Tak bisa menahan diri untuk peduli, Xabiru mendekat memeriksa luka itu lebih jelas.
"Aku baik-baik saja." Grey segera menghindar. Ia sudah banyak masalah, tidak ingin menambah masalah jika berhubungan dengan Xabiru.
"Kamu tidak sedang baik-baik saja." Xabiru menahan tangan Grey yang hendak melanjutkan pekerjaannya, ia sedikit menarik tangan wanita itu agar menjauh dari kompor. Memperhatikan lebih jelas luka lebam itu dibawah cahaya lampu.
"Bagaimana kamu mendapatkan luka seperti ini?" Xabiru heran sekali melihat luka di pipi Grey. Akan tetapi ia kembali dibuat kaget saat melihat luka lain yang ada di leher Grey. Kali ini terlihat bekas kuku yang begitu jelas dan masih merah, itu artinya lukanya masih baru.
"Ayo ikut aku."
Tanpa menunggu persetujuan Grey, ia menarik tangan wanita itu. Membawanya ke kamar yang terletak di lantai dua. Lebih tepatnya di samping kantor Mamanya yang biasa digunakan untuk beristirahat sejenak. Xabiru mendudukkan Grey di ranjang, ia beranjak mencari kotak obat yang ada di lemari kecil samping ranjang. Ia juga mengambil es batu serta sapu tangan untuk mengompres lebam di pipi Grey.
Grey hanya memperhatikan apa yang Xabiru lakukan tanpa ada niat untuk berkomentar. Pikirkannya benar-benar sangat kacau sekali sekarang ini.
"Jangan bilang dugaanku benar, suamimu melakukan kekerasan?" tebak Xabiru, mendekat mencoba mengobati luka di pipi Grey dengan mengompresnya. Grey hanya diam.
"Setidaknya jangan terus mengalah meskipun kamu seorang perempuan. Dia akan semena-mena denganmu kalau kamu hanya diam saja. Ck, laki-laki apa itu beraninya sama perempuan."
Sebagai pecinta wanita Xabiru merasa kesal akan sikap Bastian yang menurutnya sangat pecundang dengan memukul wanita. Tindakan itu sangat menjijikan sekali menurutnya.
"Sakit kah?" Xabiru kembali bertanya, melirik reaksi Grey yang hanya diam saja.
Grey benar-benar tidak bersuara apa pun. Ia hanya memandang mata Xabiru hingga pria itu sadar akan apa yang dilakukannya. Xabiru berdehem pelan, ia menekan luka itu sangat berhati-hati agar Grey tidak kesakitan.
"Setelah ini aku akan membantumu memakai salep. Boleh tunjukkan dimana saja lukanya?"
Grey membuka kemejanya dengan cepat di depan Xabiru. Tak peduli keterkejutan yang terlihat dari sorot matanya, ia tetap membuka kemeja itu lalu membuangnya asal.
Xabiru sampai ternganga tak percaya, ia pikir Grey hanya menggunakan kacamata saja, untungnya tidak. Wanita itu masih memakai singlet berwarna putih yang menutupi tubuhnya. Meksipun begitu, Xabiru bisa melihat jelas lekuk tubuh Grey yang sangat menggoda.
"Lakukanlah," kata Grey singkat.
Xabiru mengalihkan pandangannya lagi, otak mesumnya berpikiran begitu liar. Ia mengambil salep di kotak lalu mendekati Grey lagi. Posisinya sangat dekat sekali membuat Xabiru menelan ludahnya kasar. Perlahan ia mengoleskan salep itu pada sudut bibir Grey, ke leher dan juga lengannya yang masih membekas kemerahan.
Diam-diam sejak tadi mata Xabiru berpusat pada d**a Grey yang begitu padat. Ia membayangkan akan senikmat apa jika ia menenggelamkan wajahnya di sana.
Grey menarik sudut bibirnya menjadi senyum sinis. Terlalu muak sekali dengan yang namanya laki-laki. Pria ini sama saja dengan yang lain, baru kemarin bersikap sangat acuh seolah tak mengenal. Sekarang tiba-tiba berubah baik dalam waktu sekejap.
Xabiru menyelesaikan olesan terakhir pada leher Grey, pada saat itu ia sadar jika sejak tadi Grey terus menatap wajahnya. Ia mengangkat pandangannya, beradu pandang dengan mata indah Grey yang berwana kecoklatan itu.
"Kenapa?" Xabiru bertanya dengan suara berat. Wanita ini hanya diam saja, tapi kenapa membuat ia cukup resah.
Tangan Grey terulur menyentuh rahang tegas Xabiru, pria itu menoleh dan terlihat sangat terkejut akan sikapnya. Grey melanjutkan aksinya, mengusap bibir Xabiru dan menyentuh pipinya perlahan.
Sikapnya itu membuat Xabiru cukup tertantang, wanita di depannya tampak sangat polos tapi sentuhannya meresahkan.
"Aku tau kamu hanya penasaran denganku. Bagaimana, mau selingkuh?"
Bersambung~