"Naik."
Grey menarik napas panjang sebelum menerima helm yang diberikan Xabiru. Pria itu sudah menaiki motor besarnya. Tanpa menjawab, Grey mengambil helm itu lalu naik ke atas motor.
"Sudah?" tanya Xabiru menoleh melihat Grey yang tampak sudah siap. "Pegangan!" serunya.
Grey lagi-lagi tidak menjawab namun segera memegang demper belakang motor milik Xabiru. Sejujurnya saat ini ia tengah menahan malu karena permintaan gilanya tadi pagi. Grey merasa ingin menenggelamkan dirinya ke dasar jurang samudera agar tidak dilihat oleh Xabiru.
Xabiru mendengus kesal melihat sikap Grey yang keras kepala. Tanpa mengatakan apa pun ia langsung memasukkan gigi motornya lalu menancap gas hingga membuat tubuh Grey sontak terhempas ke depan karena sangat mendadak.
"Biru!" teriak Grey reflek langsung memukul punggung Xabiru karena gerakan itu tak sengaja membuat dadanya terbentur punggung Xabiru dengan keras.
"Aku tidak sengaja." Xabiru menjawab gagap, masih kaget akan sesuatu empuk yang menyentuh punggungnya.
"Bohong! Kamu sengaja melakukannya, dasar c***l! Aku akan turun kalau begitu." Grey mengamuk kesal buru-buru turun dari atas motor Xabiru namun pria itu langsung menahan pahanya.
"Eh, eh. Jangan rese jadi cewek. Kamu nggak denger tadi Mama ngasih perintah apa? Aku yang harus antar kamu pulang," tukas Xabiru yang tau jika Grey pasti takut dengan Mamanya.
"Awas saja kalau kamu seperti itu lagi, aku akan lompat dari motormu saat itu juga," ancam Grey.
"Makanya kamu pegangan!" Xabiru kembali menarik kedua tangan Grey lalu dilingkarkan ke perut. "Katanya mau ngajak selingkuh, pegang perut doang nggak berani. Dasar aneh," cibir Xabiru.
Grey mendesis jengkel mendengar ucapan Xabiru, ia awalnya ingin marah namun merasa kesal setelah Xabiru meremehkan dirinya. Tanpa diminta ia langsung memeluk perut Xabiru lebih erat seraya menggeser tubuhnya hingga benar-benar menempel.
Xabiru menyeringai puas saat merasakan kehangatan di punggungnya. Sedikit sentuhan seperti ini membuat jiwa penasarannya semakin besar. Segera ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi membuat Grey memeluknya semakin erat.
*
"Aku mau pulang ke rumah Ayah aja."
Ketika di jalan Grey meminta Xabiru mengantarkan ke rumah Ayahnya saja. Masih trauma akan perlakuan suaminya semalam membuat ia enggan sekali pulang. Mungkin ia perlu beberapa waktu untuk memulihkan dirinya.
"Mana rumahnya?"
"Ada di jalan Rajekwesi. Turunkan saja aku di sana nanti."
"Oke."
Xabiru menyanggupi tanpa banyak protes. Mengantarkan Grey ke rumah yang dimaksud. Daerah itu cukup terkenal dengan daerah padat penduduk. Jadi setiap jalannya sangat ramai pedagang dan kendaraan yang berlalu lalang.
"Dimana rumahnya?" tanya Xabiru sambil berteriak.
"Berhenti di Polres saja." Grey menunjuk Kantor kepolisian yang tak jauh dari posisinya. Xabiru menghentikan motor di sana dan Grey langsung turun seraya melepas helm.
"Terima kasih," ucap Grey pelan.
Xabiru tidak menyahut, ia memperhatikan memar di pipi Grey yang terlihat semakin jelas saat diluar seperti ini. Ditambah tatapan mata Grey yang sayu membuat wanita itu semakin menyedihkan.
Grey segera pergi setelah memberikan helm kepada Xabiru. Rumahnya memang harus masuk ke gang kecil yang terletak di belakang kantor kepolisian. Banyak tetangga yang beraktivitas namun Grey enggan untuk menyapa, ia yakin akan ada banyak pertanyaan jika melihat kondisinya nanti.
Begitu sampai di rumah kecil miliknya, Grey langsung masuk ke dalam bermaksud untuk sedikit melepas beban di hidupnya dengan bercerita dengan sang Ayah. Membuka pintu kamar yang tertutup rapat, melihat sosok pria paruh baya yang duduk di kursi roda seraya memandang ke arah jendela yang terbuka.
"Ayah," panggil Grey mendekat.
"Greysia." Danu—Ayah cukup terkejut melihat kedatangan putrinya. "Kamu kenapa datang kesini?"
"Ayah kok tanya gitu?" Dahi Grey sontak berkerut dalam mendengar perkataan Ayahnya. "Ayah nggak seneng kalau Grey dateng?"
"Bukan seperti itu." Danu menghela napas panjang. Segera memutar kursi rodanya agar menghadap ke arah putrinya. "Kamu kalau ada masalah jangan suka kabur. Bastian tau nggak kamu kesini?"
Grey membuang muka dengan ekspresi jengah. "Ayah lebih peduli sama anak orang lain daripada aku?"
"Bastian kurang baik apa sama kamu Grey? Keluarga dia udah banyak bantu Ayah berobat. Kamu tolong jangan buat masalah, kasihan ibu kamu kalau harus ngurus Ayah terus."
Grey tak kuasa menahan tangisnya. Disaat seharusnya seorang Ayah menjadi pelindung putrinya namun Ayahnya sendiri justru memihak orang lain. Rasa sakit di hati Grey semakin menjadi-jadi hingga ia tak sanggup lagi. Grey langsung duduk bersimpuh di bawah kaki Ayahnya.
"Ayah ... kenapa harus aku yang berkorban untuk semua ini? Aku tidak sanggup lagi Ayah, ini semua sangat menyakitkan. Aku tidak sanggup Ayah ...." Grey menangis meraung di bawah kaki Ayahnya. Benar-benar tak sanggup lagi jika terus disiksa batinnya seperti ini.
"Kamu nggak mau Ayah sembuh, Grey? Tolong bertahan sebentar saja."
Grey menggeleng cepat-cepat. "Ayah lihat, kemarin dia memukuliku, lihatlah putri Ayah dipukuli seperti ini. Apa Ayah tega melihatku diperlakukan seperti ini terus?" Air mata Grey semakin menderas memenuhi wajahnya.
"Itu pasti karena kamu membuat kesalahan. Kalian sudah menikah 1 tahun dan dia tidak pernah kasar padamu selama ini."
Grey menangis tersedu-sedu, tak tahu lagi bagaimana mengungkapkan perasaannya saat ini. Kenapa Ayahnya begitu tega?
"Greysia."
Seorang wanita paruh baya terlihat baru saja masuk ke dalam kamar. Wanita itu adalah Nisa—Ibu tiri Grey yang selama ini merawat Ayahnya yang lumpuh karena kecelakaan beberapa waktu lalu. Nisa menarik tangan Grey cukup kuat.
"Apa lagi ini, Grey? Baru kemarin mertua kamu menghubungi Ibu karena kelalukanmu yang buruk. Kamu mau buat masalah lagi?" omel Nisa.
Grey menatap Nisa dengan wajah berlinang air mata. "Apa seburuk itu aku dimata Ibu?"
"Aduh kamu nggak usah drama. Kamu lihat rumah tangga anak-anak Ibu, nggak ada yang bermasalah dari dulu. Kamu ini apa-apa nangis, apa-apa ngadu ke Ayah kamu. Nggak bersyukur kamu udah dinikahin sama Bastian yang mau menanggung biaya berobat sama kebutuhan kita. Kurang apa lagi sih, Grey?"
"Ibu nggak akan tau karena Ibu nggak mengalaminya!" jerit Grey tak tahan.
"Udah, udah. Anggap aja kamu berkorban demi keluarga kamu. Kalau mau cerai, coba pikir siapa yang ngasih kita duit buat kebutuhan dan biaya berobat."
Grey tersenyum penuh ironi, mengusap air matanya dengan kasar seraya bangkit dari posisinya. "Aku kadang heran, apa benar ibu adalah ibuku? Atau seorang mucikari yang menjual anaknya demi uang?"
"Greysia!" bentak Danu membuat tubuh Grey terjingkat kaget.
"Ayah bentak aku?" Air mata yang semula hampir mengering kembali berkaca-kaca.
"Yang sopan dengan Ibumu, dia yang rawat Ayah."
Grey tersenyum tipis menutupi lukanya, ia yang tadinya datang ingin mencari kedamaian justru mendapatkan hal yang lebih menyakitkan dari perlakukan suaminya.
Grey segera pergi meninggalkan rumah orang tuanya karena tak tahan lagi akan setiap kata yang terlontar dari bibir mereka membuat hati Grey semakin sakit. Entah harus seperti apalagi ia menjalani hidupnya nanti, mungkin jika memang akan hancur ia yang akan hancur sendirian.
Saat Grey keluar rumah ia tidak melihat sosok Xabiru yang berdiri di samping pintu. Pria itu tadinya memang sengaja mengikuti Grey untuk memastikan wanita itu aman sampai di rumah. Namun ia justru mendengar sesuatu yang cukup mengejutkan.
Tidak menyangka jika wanita cantik dengan senyuman manis itu memiliki masalah yang lebih rumit dari yang ia kira.
"Aku rasa ... sekarang waktunya aku mendekat," ucap Xabiru menyeringai licik.
Bersambung~