Bab 7. Sikap Manis Biru

1453 Kata
Keheningan melingkupi suasana malam itu. Dimana Grey tengah duduk di kursi tunggu Bandara dengan ditemani oleh Xabiru. Mereka sudah kembali dari pantai setalah Grey merasa puas menenangkan hatinya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 3 pagi. Grey tampak memeluk dirinya sendiri karena udara malam yang begitu dingin. Di sana bukan hanya ada mereka berdua, masih ada beberapa orang yang juga sepertinya akan melakukan pemberangkatan pada pagi hari nanti. "Dingin?" Xabiru bertanya pelan, melirik wajah Grey yang tampak pucat. Grey mengangguk pelan. Enggan untuk banyak berbicara karena tubuhnya sudah cukup lelah. Pun mata yang terasa mengganjal karena kantuk. "Kemari." Xabiru membuka kedua tangannya membuat dahi Grey mengernyit. "Aku tidak bawa jaket, jika aku melepas kemejaku yang ada aku yang masuk angin. Jadi, aku berikan pelukan agar bisa membuat tubuhmu lebih hangat," ujar Xabiru. Grey menarik sudut bibir menjadi senyum sebal. "Apa yang kamu harapkan? Aku datang ke pelukanmu begitu?" cibir Grey. "Pilihannya hanya dua. Yang pertama mau aku peluk atau—" "Aku memilih pilihan kedua," tukas Grey tanpa menunggu Xabiru menyelesaikan perkataannya. "Yang kedua, lepas baju dan aku akan tetap memelukmu." Xabiru melanjutkan ucapannya yang tertunda dan berhasil membuat Grey terkejut bukan kepalang. Xabiru menyeringai, membuka kemejanya dengan cepat hingga bertelanjang d**a. Grey semakin syok, ingin berbicara namun ucapannya tertahan di kerongkongan saat melihat perut kotak-kotak yang begitu menggoda. Xabiru memakaikan kemeja miliknya untuk membalut tubuh Grey. Wanita itu diam memaku, ia duduk di sampingnya dan tanpa ragu langsung mengulurkan tangannya, menyandarkan kepala Grey tepat pada bahunya. "Tidurlah, kamu sudah tidak akan kedinginan," ucap Xabiru. Grey memaku dengan tatapan linglung, aroma parfume dan tubuh Xabiru bisa ia cium dengan jelas. Kini kehangatan melingkupi dirinya, memaksa kepalanya mendongak untuk menatap wajah pria yang rela kedinginan demi dirinya. "Biru," panggil Grey. "Hem, aku berjanji tidak akan melakukan apa pun. Tidurlah sekarang, ini masih jam 3 pagi," sahut Xabiru seraya mengusap-usap rambut Grey perlahan. Grey menggigit bibir, tubuhnya sudah tak lagi kedinginan. Berganti dengan jantungnya dibuat berdebar-debar tak karuan. Ia berusaha untuk menolak segala perhatian ini, akan tetapi hatinya yang hampa merindukan kasih sayang seperti ini. Tanpa sadar pelukan hangat ini sangatlah ia butuhkan dan memaksa hatinya yang rapuh mulai menerimanya tanpa terpaksa. "Ini hanya perasaan nyaman sesaat, aku tidak boleh terlena. Mas Bastian ... maafkan aku," lirih hati Grey menahan perih saat memberanikan diri untuk membalas pelukan hangat Xabiru. Meski hanya penghiburan sesaat, Grey benar-benar tenang akan pelukan ini. *** Hari silih berganti dengan cepat. Roda kehidupan di bumi terus berputar tanpa bisa ditunda atau dihentikan. Grey menjalani kehidupan rumah tangga yang lebih hambar dari sebelum-sebelumnya. Masalah awal yang belum terselesaikan justru tertimpa oleh masalah baru yang membuat masalah itu bertumpuk dan berlarut-larut. Bastian pun seolah menganggap tidak terjadi apa pun setelah kejadian di Bali beberapa waktu lalu. Bastian bahkan tidak menanyakan kenapa Grey memilih pulang lebih dulu. Pria itu entah berpura-pura tidak peduli, atau memang tidak peduli. Grey sudah sangat muak sekali rasanya. Grey lebih suka menghabiskan waktunya bekerja di restoran yang selama ini menjadi tempat pelampiasan amarahnya. Memasak banyak makanan sampai benar-benar lelah agar lupa akan masalah yang ia hadapi selama ini. "Mba Grey, tadi Bu Widia pesen, katanya jam 3 sore mba diminta ke ruangan. Mau ada yang diobrolin." Seorang wanita yang terlihat masih cukup muda menghampiri Grey di dapur. "Oke. Semua orderan udah semua 'kan? Aku mau langsung pulang setelah ini." Grey membasuh tangannya di wastafel. Rambutnya masih terlihat berantakan dan diikat cepol asal. Lagipula untuk apa berdandan, toh pekerjaannya cuma di dapur. "Udah, besok kayaknya yang banyak. Harus berangkat subuh nih kita." "Kamu berangkat jam kayak biasa aja, Din. Aku bisa handel semuanya dulu. Kasihan, kamu masih bagi waktu sama kuliah juga. Yang ada kamu capek dan nggak konsen pas di kampus." "Wah, beneran boleh mba?" Dina—salah satu partner kerja Grey tampak sangat sumringah. Grey mengangguk mengiyakan. Selama bekerja di sana, Grey memang cukup dekat dengan Dina meski disana banyak juga pelayan yang sering membantu. Mereka ditugaskan untuk mengurus restoran, sementara Grey fokus pada katering makanan. Jadi, jarang sekali ada yang melihat Grey jika tidak masuk ke dapur. Semua pekerjaan ini Grey lakukan atas izin suaminya sendiri. Pria itu tidak mempermasalahkan selagi pekerjaan rumah beres. "Makasih banyak mba, aduh. Mba ini udah cantik, baik banget lagi. Beruntungnya suami mba Greysia," puji Dina. Grey tersenyum tipis, andai saja Dina tahu bagaimana rumah tangannya. Tak yakin ada yang bertahan sejauh ini. Selesai membereskan pekerjaan, Grey segera melepaskan apron miliknya lalu pergi ke ruangan Bu Widia—owner sekaligus orang yang membawa Grey untuk bekerja di tempat ini. Ruangan itu terletak di lantai dua yang dimana Grey harus naik menggunakan tangga karena memang tidak ada lift. Saat Grey melewati sebuah lorong dimana karyawan menyimpan barang, ia mendengar suara yang cukup menganggu. Seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu dan berbisik-bisik. "Suara apa itu?" gumam Grey heran. Semakin lama suara itu cukup gaduh membuat Grey penasaran. Ia melirik sekelilingnya yang sepi, pasalnya anak-anak sedang sibuk dengan para tamu di depan. Grey sedikit mendorong pintu untuk mengintip apa yang terjadi. Suara itu semakin jelas membuat ia semakin penasaran. Namun, sebelum ia melihat apa yang terjadi terdengar suara Dina yang mengejutkan. "Mba Grey, astaga malah disini. Udah ditungguin loh sama Bu Widia." "Oh sebentar." Grey memupuskan rasa penasarannya, ia bergegas naik ke lantai dua untuk menemui Bu Widia. Sesekali ia sedikit menoleh untuk melihat ruangan itu kembali. Entah kenapa ia merasa ada sesuatu di dalam ruangan itu. * "Mas Biru, suka?" Xabiru membenarkan celananya setelah membuang beberapa lembar tisu. Ia mengambil rokok lalu menyulutnya dengan kemeja yang masih kusut di beberapa bagian. Matanya melirik ke arah seorang wanita yang baju atasnya sudah amburadul dengan buah d**a yang menggoda. "Keluarlah, jangan sampai ada orang yang melihat," titah Xabiru dingin. Wanita merengut dengan bibir mencebik, ia bangkit dari duduknya lalu memberanikan diri memeluk Xabiru. Menyusupkan tangannya pada celah kancing kemeja pria itu dan mengusap dadanya. "Kenapa sih nggak mau dateng ke kos aja? Biar lebih puas, aku nggak keberatan kalau Mas Biru mau yang lain," bisik wanita itu dengan manja. Xabiru mendesis pelan, ekspresinya tampak cukup muak dengan cara mengundang wanita ini. Ia memang suka bermain-main, tapi untuk bercinta, ia tentu punya standart partner ranjang. Bukan wanita rendahan yang hanya bekerja di restoran Mamanya ini. "Aku rasa, aku sudah tidak membutuhkanmu sekarang. Pergilah! Jangan sampai Mamaku tau, kamu tahu 'kan siapa yang akan rugi nanti?" Xabiru melepaskan tangan wanita itu, ekspresinya tiba-tiba berubah muak. Padahal tadi ia sempat memuji cara wanita itu memuaskan dirinya meski tanpa bercinta. "Mas Biru minta kita putus?" Xabiru terkekeh-kekeh geli, ia melirik wanita itu kembali. Wajahnya pasti cukup oke, tapi wanita seperti ini terlalu biasa untuk dirinya. "Putus? Satu kata yang lucu, Luna. Sedangkan kita tidak punya hubungan apa pun." "Maksud Mas Biru apa?" Mata Luna berkaca-kaca. "Ah jangan membuat aku muak. Pergilah! Dari awal kita hanya bermain-main, ingat juga, kamu yang datang padaku, bukan aku!" Xabiru melirik Luna dengan ekspresi jijik, sudah sangat bosan dengan wanita yang haus akan validasi seperti itu. Meski Luna menangis, Xabiru tak peduli. Toh ia tidak mengambil apa pun dari wanita itu, hanya sedikit tenanga untuk memuaskan miliknya. Itupun dilakukan Luna dengan suka rela. "Cih apa-apaan dia. Wanita seperti itu sangat membosankan," gerutu Xabiru. Memastikan ruangan itu sudah sepi baru Xabiru keluar. Disaat yang bersamaan terlihat seroang wanita yang berjalan terburu-buru dari lantai atas. Karena terlalu cepat membuat wanita itu hampir tersandung namun masih bisa menjaga keseimbangan. "Astaga!" Grey berseru kaget, hampir saja ia terjatuh karena tidak berhati-hati. Xabiru melihat jelas sosok Grey di depannya. Ia tampak sangat kaget saat melihat wajah wanita itu kembali. Tatapan matanya yang tajam itu membuat Grey tersadar dan balas menatap dirinya. "Kamu?" Grey jauh lebih kaget saat melihat sosok Xabiru. Terakhir kali ia bertemu pria ini adalah saat di Bandara. Dimana Xabiru merelakan membuka kemejanya agar Grey tidak kedinginan. Sekarang mereka justru bertemu kembali setelah sekian lama. "Ah kita bertemu lagi, kemejamu ...." Bukannya menunggu Grey menyelesaikan perkataannya, Xabiru justru tiba-tiba berjalan mendekat ke arah wanita itu membuat Grey kaget hingga langsung mundur ke belakang. Grey memperhatikan tatapan mata Xabiru cukup tajam membuat ia cukup kesusahan menelan ludah. "Apa ehm ... apa kamu ingin bertemu Bu Widia?" tanya Grey. Dalam hatinya menyimpan sebuah kata, yaitu terima kasih atas perhatian kecil pada malam itu. "Apa kamu punya hak bertanya seperti itu? Minggirlah, kamu menghalangi jalanku!" titah Xabiru datar dan dingin. Grey yang diperlakukan sedingin itu kaget pastinya. Merasa perlakukan Xabiru cukup aneh. Pria ini kemarin sangat hangat, sekarang tiba-tiba dingin dan acuh. Grey geram sekali rasanya, merasa sangat dipermainkan. Tapi bukankah Xabiru tidak melakukan apa-apa? Pria itu bahkan hanya diam saja, tapi kenapa Grey resah. Grey tiba-tiba merasa kesal sendiri akan sikap Xabiru barusan. Terkesan cuek dan abai, Grey merasa tidak suka diperlakukan seperti itu. "Menyebalkan, ini tidak boleh aku biarkan." Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN