10: COURAGE

1875 Kata
At least I had the courage. *** “Lho baby, kok sendirian?” tanya Eldra saat mendapati Sofi termenung sendiri di lobi hotel. “Yara mana?” Sofi bernapas dalam, ekspresinya tampak menyembunyikan kerisauan. Layar ponselnya yang menyala mengalihkan titik pandang Eldra, nama Ian muncul di sana, memanggil sang putri. “Iya, Pi?” “Ditanyain orang-orang lho Kakak di mana,” tanggap Ian. “Oke, Pi. Kakak otewe nih.” “Sama Yara?” “Kok Papi tau?” “Tadi ngobrol sama Eldra.” “Hmm,” gumam Sofi. “Yara sudah pulang, Pi. Salam buat Papi dan Mami katanya.” “Wa’alaikumsalam,” jawab Ian. “Langsung ke sini, ya Kak?” “Iya, Papi.” Panggilan pun usai. Eldra yang sudah duduk di samping Sofi menatapnya seraya bertopang dagu, menunggu jawaban Sofi akan pertanyaannya yang belum terjawab. “Tadi, Lita update instagr4mnya. Notifikasinya muncul di layar kan, El. Terus, aku refleks buka hape, Yara kayak kesal gitu,” ungkap Sofi, lalu mendengus keras. “Kenapa kesal?” tanya Eldra. “’Kok lo malah main hape sih?’ Awalnya dia bilang gitu. Terus aku kasih tau kalau Lita update feed-nya. Yara ngga ngomong apa-apa sih, tapi hawanya langsung berasa ngga enak di aku.” “Sambil jalan yuk, baby? Nanti kita malah keasikan ngobrol di sini.” Sofi mengangguk. Bungkusan batagor yang sepertinya belum tersentuh sama sekali ia masukkan kembali ke kantong plastik. Sofi tampak bingung apa yang harus dilakukannya dengan makanan itu. Eldra mengambil alih, menentengnya. “Tunggu di sini sebentar, ya baby?” “Kamu mau ke mana?” “Sebentar aja kok. Ngga sampai lima menit.” “Oke.” Eldra mengayun langkah, melewati pintu keluar dengan setengah berlari. Entah apa yang dilakukannya, yang jelas saat kembali bungkusan makanan itu tak lagi ada dalam genggamannya. “Kamu buang?” tanya Sofi. “Ngga. Aku kasih sama yang mau.” Sofi mengangguk, mungkin orang-orang di tepi jalan yang mencari nafkah beratapkan langit. Eldra membungkuk, menautkan jemari mereka sebelum menarik Sofi lembut agar beranjak dari tempat duduknya. “Terus? Kamu nanya ke Yara kenapa tiba-tiba jadi bad mood gitu?” “Aku cuma tanya dia kenapa, tapi kata dia ngga apa-apa.” “Ya anggap aja ngga apa-apa, baby. Kamu kan bukan Tuhan yang bisa tau isi kepala dan hati dia.” Terus aku nyinggung soal dia yang ngelihat kamu dengan dingin gitu, El. Tapi, dia justru bilang aku ngada-ngada. Perasaan aku doang. Dan harusnya dia yang kesal karena aku malah sibuk mainan hape. Aku ngga begitu, dan aku kan kasih tau dia kalau Lita update, bukan sengaja untuk nyuekin atau ngga menghargai dia. Lamunan Sofi pecah saat Eldra melepas tautan tangan mereka, lalu merangkul Sofi hangat. “Kebiasaan kan, sibuk sendiri sama pikiran kamu. Kasih tau aku, baby. Aku ngga punya ilmu baca pikiran,” ujar Eldra seraya tersenyum hangat. Eskalator bergerak menuju lantai di mana ballroom berada. Sofi merapatkan tubuhnya, menempel ke Eldra, rasanya ia ingin sekali memeluk pria yang dicintainya itu. “Papi Ian, Papa Ga, dan Ayah Borne, kerjaannya adu mulut aja. Tapi, ngga pernah saling ninggalin, atau bubar dalam keadaan kesal. Harusnya, sahabatan tuh begitu ngga sih, baby?” sambung Eldra. “Sama River dan Farzan, kalian begitu juga?” Eldra memberi anggukannya. “Dan kami belum pernah ribut sampai bikin aku sakit hati sih.” “Berarti … aku tuh ngga punya sahabat ya, El?” Eldra menoleh, menghentikan langkahnya di depan pintu ballroom. Tatapan lekat dan teduh ia arahkan ke cintanya. “Kenapa kamu ngomong begitu, baby?” tanyanya, suaranya pelan namun menusuk hati Sofi. Sofi menghela napas, menundukkan kepala sejenak. “Ya karena Lita berubah, terus Yara …” Kalimatnya terputus. Ia menaik turunkan bahunya pelan, seolah mengisyaratkan kata-kata itu terlalu berat untuk dikeluarkan. Sofi takut berprasangka buruk. “Aku ngga ngerti, El. Kayak aku salah terus kalau sama mereka. Padahal aku ngga tau salahnya di mana,” ujar Sofi lagi, sengau di akhir kalimatnya. Eldra mendekat, mencengkeram lembut kedua lengan Sofi. “Dengar, baby. Kamu tuh salah satu orang paling tulus yang pernah aku kenal. Anggap aja … mereka yang ngga tau cara nerima kejujuran dan ketulusan kamu.” Sofi menaikkan wajahnya, mempertemukan titik pandangnya dengan Eldra. “Lagian, kamu punya aku. Sahabat kamu … sekaligus cintanya kamu. Bukannya kita memang begitu?” “Hmm,” gumam Sofi. Kedua matanya mulai memerah, namun ia berusaha keras menahan air mata yang nyaris jatuh. “Aku mau haid kali ya, jadi cengeng begini.” “Kita lihat masih ada es krim atau ngga,” ajak Eldra. Ia mengulurkan tangannya pada Sofi. “Ayo masuk,” ujar Eldra lagi. “Kita makan enak lagi, ngobrol-ngobrol sama yang lain, dan biarin aja semuanya berlalu dulu. Kalau kamu masih gelisah nanti, cerita ke aku lagi. Deal?” Sofi tersenyum simpul, lalu mengangguk. “Thank you, El. I love you.” “I love you, very much!” *** “Mau makan sesuatu, baby?” tanya Eldra begitu mereka bergabung dengan beberapa sepupu Eldra yang lain setelah menunjukkan diri di depan kedua orangtua Sofi. “Lava cake and ice cream deh. Kamu mau nyuruh Cantika lagi?” “Ngga. Ambil sendirilah, kan buat kamu.” “Manis banget sih.” “Dari dulu aku juga manis. Kamu aja yang ngga nyadar.” “Bukan aku ngga nyadar kamu manis, kamu yang ngga bilang apa-apa ke aku.” Eldra mendengus, Sofi tergelak. Memperdebatkan kenapa mereka terjebak dalam hubungan persahabatan sekian lama sungguh tak akan bertemu titik temu. “Aku ambil dulu lava cake-nya. Kamu tunggu di sini ya? Jangan ke mana-mana, nanti aku bingung.” “Iya.” Eldra melangkah menjauh dari Sofi. Membiarkan kesayangannya larut dalam obrolan dengan keluarga mereka. Sembari mengantri, Eldra mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi obrolan dan mengirim pesan singkat ke Lita. Eldra: Asik bener yang jadi anak Toronto. Jam segini masih selimutan. Tak perlu menunggu lama, di atas room chat mereka, tampak Lita tengah mengetik. Lita: Apa lo? Eldra: Sambil minum bajigur sama makan singkong rebus enak banget tuh, Lit. Lita: Ngga ada yang jual di sini. Gue terlalu malas kalau winter begini. Eldra: Ah, lo mah kagak winter juga pemalas! Lita: Nah itu lo tau. Eldra: Sama Sean, Lit? Lita: Ngga. We broke up. Eldra: *emoji-syok* kok Sofi ngga cerita ke gue ya? Lita: Gue yang ngga cerita ke Sofi. Eldra: Tapi lo bilang ke gue? Lita: I miss her. Eldra: Lo kenapa sih, Lit? Lita: Ngga apa-apa. Eldra: Sofi ada sikap yang bikin lo tersinggung? Eldra: Atau Yara? Lita: Kok lo pikir begitu? Eldra: Karena gue ngga buta, Lita. Lita: Gue ngga nyaman sama Yara. Itu aja sih. Eldra: Lo pasti punya alasan, tapi lo simpan sendiri. Lo ngga mau bikin pertemanan Sofi dan Yara jadi kacau. Atau lo ngga mau Sofi merasa harus memilih sahabatan sama lo atau Yara. Am I right? Lita: Gue lapar, El. Cabut ke dapur dulu ya. Eldra: *emoji-mendengus* stay healthy, Lit. Lita: Lo juga. Thanks. Eldra: Hubungi Sofi dong, Lit. Kalau gue jadi lo, gue sih bakalan mepetin Sofi terus. Dengan lo ngebiarin Sofi makin dekat dengan Yara, apa menurut lo itu benar? Pesan itu Lita baca, namun tak lagi ia balas. Eldra menghela napas pelan. Layar ponselnya ia matikan, lalu benda itu ia simpan ke saku bagian dalam blazernya. “Sofi mana, El?” Tentu saja Eldra menoleh cepat. Di belakangnya, Reno berdiri bersama tunangannya. “Asik banget lo chatting-an?” ujar Reno lagi. Sungguh, Eldra jengah. Tolong jangan bilang padanya jika Reno kepo tentang pembicaraannya dengan Lita. Harusnya sih aman, karena Reno tak lebih tinggi dari Eldra. “Ngga punya teman chatting lo sampai kepo banget lo sama gue,” balas Eldra, dingin. “Buset! Beku nih ruangan, El.” “Kok lo di sini? Katanya food testing?” “Sudah tadi di belakang. Tapi ngga ada menu gubukan, makanya kita mutar dulu, nyobain. Antriannya panjang-panjang.” Smirk terbit di wajah Eldra. Bilang aja lo ngga kepingin buru-buru, penasaran sama Sofi. “Lo kapan nikah, El?” tanya Reno kemudian. “Kenapa emangnya? Mau nyawer apa lo?” tanggap Eldra. Reno terkekeh. “Ya kan lo udah lama banget sama Sofi. Tunangan aja udah … setahun ada?” “Tenang aja, gue bakal selamanya sama Sofi. Don’t worry,” jawab Eldra, enteng. Eldra menangkap gurat kesal yang coba Reno tutupi sekuat tenaga. Reno memalingkan wajah, berpura-pura menyapukan titik pandang, mungkin agar tunangannya tak melihat. “Sudah lama sama Reno?” tanya Eldra kemudian, langsung ke perempuan yang enggan melepaskan cengkeramannya di lengan Reno. “Lumayan. Dari kuliah.” Eldra mencoba memutar ingatannya, menerka-nerka, apakah perempuan ini adalah orang yang menjadi selingkuhan Reno kala pria tersebut masih berstatus sebagai pacar Sofi. Sayangnya, ingatannya tak sekuat Dirga. Eldra tak mampu mengingat paras yang ia dapati berciuman dengan Reno kala itu. “Lancar deh lo berdua,” ujar Eldra kemudian. Tiba gilirannya, Eldra mengambil seporsi lava cake and ice cream, juga beberapa tusuk sate stroberi di stall choco fountain. Tanpa berpamitan dengan Reno, Eldra gegas kembali ke Sofi. “Ini, baby,” ujar Eldra seraya meletakkan dua sajian di depan Sofi. “Ada stroberi.” “Aku juga mau, makanya ambil agak banyak.” “Makasih, cintanya aku,” ujar Sofi kemudian. Tatapannya membuat hati Eldra menghangat seketika. Ia pun menarik sebuah kursi, hendak duduk di samping Sofi. Namun, ponselnya terasa bergetar. Eldra mengambil gawainya, mengetuk notifikasi chat yang baru saja ia terima dari nomor si Pengganggu. +628167890xxxx: Sent you a voice note. +628167890xxxx: Sent you a voice note. Eldra menyapukan pandangannya, dan saat tatapannya bersirobok dengan Reno, mantan Sofi itu menyunggingkan senyum sinisnya. Kening Eldra mengerut, berpikir keras, mungkinkah Reno di balik teror murahan ini? “Sayang, ngga duduk?” tegur Sofi. “Oh ….” Eldra gugup. “River chat. Ada project,” dustanya. “Aku telpon River dulu ya?” “Jangan lama-lama.” “Oke, baby.” Eldra melangkah cepat keluar dari ballroom, wajahnya menyiratkan amarah dan kegelisahan. Ia membuka pesan suara pertama dari si Pengganggu. Suara itu memutar rekaman dirinya sendiri saat bernyanyi — tanpa filter apa pun, suara asli yang jelas adalah miliknya. Ia melanjutkan ke file kedua. Kali ini, diawali lagu yang dinyanyikan oleh The Pinwheel. Namun, di bagian tengah rekaman tersebut, suaranya berubah. Lagu yang sama, namun dengan suara asli Eldra. Jelas, si Pengganggu menggunakan aplikasi tertentu untuk memisahkan lapisan suara dari file yang tersedia di kanal Y0uTube The Pinwheel. Eldra: Nice try! Kemampuan lo boleh juga. +628167890xxxx: Jangan terlalu polos, Eldra. Kamu pikir aku segegabah itu? Berani mengusikmu tanpa memiliki kemampuan yang sama sepertimu? Eldra: Pede banget lo kita punya kemampuan sama. +628167890xxxx: Find me then. Sebelum seluruh dunia tahu siapa sosok di balik The Pinwheel. Once it happens, aku akan sangat bahagia melihat hidupmu berantakan. Eldra: Tetap saja, lo pengecut! Eldra kembali menyapukan titik pandang, lalu berlari kecil ke ruang tangga darurat. Ia kemudian menghubungi seseorang, satu-satunya yang ia izinkan mengetahui identitasnya sebagai The Pinwheel. Tentu saja, dengan ponsel dan nomornya yang lain. “Apaan?” “Riv, ke Bandung geura!” (geura = buruan) “Ngapain? Ada cewek mirip my wifu?” Eldra mendengus keras. “Apaan? Bikin gue ngeri lo.” “Ada yang tau gue The Pinwheel, Riv.” Hening sejenak. “Okay, be right there, bro!” pungkas River sebelum panggilan itu berakhir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN