DELAPAN

1842 Kata
Alika pikir kejadian memilukan itu hanya terjadi sekali. Mengingat bagaimana Aldra berkata 'tidak sudi meniduri' dan terpaksa melakukan hanya karena seorang bayi yang akan tumbuh di rahimnya. Tetapi pikiran dari otak seorang gadis kecil yang sudah tidak perawan tidak semuanya selalu benar, nyatanya terbukti di setiap larut malam Aldra akan datang ke kamarnya dan memaksanya untuk melakukan itu lagi dengan alasan bayi yang ditunggunya belum juga hadir. Dan harus kembali mengulang agar bisa cepat tumbuh. Tanpa Alika sadari alasan itu hanyalah tipu daya Aldra yang hanya ingin menikmati tubuh Alika dengan leluasa. Dan Alika sama sekali tidak mampu melawan, bagaimanapun kekuatan Aldra begitu besar saat dikusai gairah, dan Alika hanya bisa menurut, menjatuhkan harga diri saat Aldra menyuruh untuk berganti posisi atau memuaskannya dengan mulut kecil Alika. Walau semakin hari kegiatan Aldra mulai melembut dan membuat Alika bisa mendesah nikmat karenanya. Dan malam-malam itu kembali terjadi saat ini. Bergerak secara kesetanan dan membuat desahan Alika terdengar memenuhi ruangan. Dan pelepasan itu sudah tersalurkan dengan benih yang mengalir di rahim si cantik. Menikmati proses itu hingga suara lemah dari bawah tindihannya membuat Aldra mengalihkan fokus untuk menatap wanita mungil yang masih terangah dengan sangat cantik di bawahnya. "Aku capek," protesnya. Mengingat bagaimana nafsu besar seorang Aldra tidak cukup hanya beberapa ronde saja. Tubuh telanjang Alika sudah basah oleh keringat. Tatapan sayu dari mata cantik Alika menatap Aldra memelas, begitu pun dengan tangan mungil yang bertahan di pundak kokoh Aldra membuktikan bahwa wanita itu sudah amat kelelahan. Tatapan Aldra masih terasa dingin membekukan, mengantarkan rasa menggigil di tubuh mungil Alika. Lalu selanjutnya Alika kembali melenguh memejamkan mata, saat Aldra kembali mengerjainya secara brutal. Tanpa menanggapi keluhan lelah dari Alika. "Kau hanya cukup mendesah, biar aku yang bermain." Dan Alika kembali lagi dengan sifat kepasrahan. Bagaimanapun sosok Aldra tidak bisa ditolak ataupun dibantah. Dan di antara suara desahan serta erangan nikmat dari keduannya. Ada sosok wanita yang sedang menangis pilu di antara ruang kamar yang temaram. Penuh sesak akan kerinduan. Suara mereka bagaikan kaset rusak yang mampu membut lubang telinganya mengeluarkan darah hingga bernanah menjijikkan. *** Kebanyakan wanita tidak suka berbagi, mau tentang urusan makeup yang harganya setinggi langit ataupun gaun cantik di pusat toko yang temahal, nyatanya kebanyakan wanita hanya ingin memiliki kesukaannya seorang diri. Temasuk pula seorang suami. Munafik… kalau Hana berkata bahwa ia baik-baik saja. Sesungguhnya ia bukanlah wanita berhati suci seputih gumpalan awan di langit terang, bukan pula wanita muslimah bercadar yang tahu akan makna kesabaran dalam hubungan berpoligami. Ia hanya wanita pendosa, yang pernah mengadung bibit Aldra di luar pernikahan. Ia hanyalah seorang pezina yang mendapatkan azab kehilangan anak beserta rahimnya. Hati Hana bergejolak saat mengantungi fakta di setiap malam tentang suami tercinta yang selalu berkunjung di kamar istri muda disertai suara menjijikkan yang membuatnya muak. Membuat Hana tidak bisa mengendalikan kesakitannya. Kadang Hana ingin sekali menyeret tubuh Aldra keluar dari sana lalu merayu sebagai p*****r handal agar Aldra kembali ke pelukannya. Tetapi apa yang diharapkan dari wanita yang bahkan tidak bisa untuk memberikan keturunan. Ia hanyalah sesonggok sampah yang dimiliki hati mulia seorang Aldra. Masih tersimpan baik tanpa terbuang. Walau kadang jarang dilihat dan diperhatikan. Dan dengan keputusan sang Ayah mertua yang menikahkan suaminya untuk wanita lain. Itu memang membuat hatinya tersakiti, tetapi Hana percaya dengan Aldra hingga ia mulai untuk menerima semua penderitaan ini dengan lapang d**a. Tetapi kepercayaan yang selama ini dibangun, semuanya tertelan oleh kekecewaan. Dari sikap Aldra yang mencium keningnya dengan kasih sayang sebelum tidur lalu mulai beranjak di sepertiga malam untuk meniduri istri keduanya. Apakah itu tidak menyakiti hatinya. Mungkin menurut Aldra tentu tidak sebelum kemungkinan Hana masih tidak mengetahui. Rumah tangga mereka akan tetap baik-baik saja. Tetapi nyatanya Hana tahu, sangat tahu. Hingga di setiap malam ia tidak sanggup tertidur nyenyak karena air mata yang terus mengalir hinga pagi menjelang. "Morning Sayang." Satu kecupan dan pelukan hangat Aldra di pagi hari seperti ini mulai terasa hambar, laki-laki itu sudah rapi dengan setelah kantor. Hana tidak berniat menyapa seperti hari-hari sebelumnya, bibirnya terlalu kaku untuk mengucapkan kata-kata. Dengan sedikit melepaskan rengkuhan sesak Aldra di pinggangnya, Hana langsung bergerak menuangkan nasi goreng ke dalam tiga piring kosong lalu membawa piring-piring itu untuk ia letakan di atas meja makan. Hana tahu Aldra tidak bergeming masih di ruang dapur mematung seperti patung. Pasti Aldra merasa heran dengan sikap acuhnya. Tetapi Hana tidak peduli ia terlalu sakit untuk berpura-pura baik seperti wanita bodoh. Saat Hana duduk dan akan menyantap masakannya, Aldra datang, duduk di sampingnya. Menggenggam tangan Hana yang dingin, mengecupnya beberapa kali, lalu berkata, "Ada apa?" Membuat Hana semakin tersakiti. Bahkan dia tidak menyadari kesalahannya sendiri. "Tidak biasanya istri cantikku bersikap menyebalkan seperti ini." Guyonan Aldra bahkan tidak mampu lagi untuk membuat sudut bibir Hana terangkat cantik. Ini terlalu menyakitkan dan Hana tidak punya kekuatan untuk tersenyum walaupun terpaksa. "Aku hanya terlalu lapar." Bohong. Dan Aldra menyadari kebohongan itu. Genggaman Aldra semakin mengerat. "Jangan berbohong. Aku tau dari nada bicaramu." Kembali mengecup tangan Hana. "Bicaralah.. Apa aku melakukan kesalahan." Bahkan kau tidak menyadari kesalahanmu sendiri, atau hanya berpura-pura tidak menyadari. "Aku hanya terlalu kesal saat suamiku tidak terlihat di area ranjang saat aku terbangun di pagi hari." Raut wajah menegang Aldra. Dan tatapan terkejut Aldra, membuat Hana sedikit puas. Bagaimanapun ia seorang wanita, ia tidak berhak diperlakukan seperti ini. Semoga Aldra menyadari kesalahannya lalu berlutut meminta pengampunan dan langsung menceraikan gadis kecil itu. Tetapi rangkaian indah yang Hana susun barusan termuntahkan dengan tawa hambar Aldra dan kecupan menjijikkan di bibirnya. "Maaf, beberapa hari ini aku terlalu sibuk hingga berakhir ketiduran di ruang kerja." Pembohong! "Ah, gadis sialan itu kenapa masih tidur jam segini bukannya membantu istriku." Aldra mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Tetapi tanpa Aldra sadari topik pembicaraan itu semakin membuat Hana tersakiti. Hana melepaskan genggaman Aldra lalu kembali menyantap nasi goreng di depannya. Aldra terkejut dengan tindakan Hana tetapi ia sama sekali tidak ingin memperpanjang masalah, hingga ia beralih menarik piring. Makan dalam keheningan itu lebih baik dari pada Hana mengetahui semuanya. Tetapi saat suapan pertama hampir mendarat tepat di mulut, suara Hana kembali terdengar serius mampu membuat Aldra menumpahkan nasi goreng di sedok dengan keadaan tubuh menegang. "Jangan terlalu sering, dan jangan terlalu kasar. Gadis itu masih terlalu kecil. Bahkan ia tidak sanggup bangun di pagi hari. Dan itu membuatku sedikit kerepotan karena tidak ada yang membantu di dapur." Sial! *** Alika terbangun saat matahari mulai beranjak di tengah-tengah, sorotan matahari lewat kaca jendelalah yang mampu membuat tidur nyenyaknya terusik. Sedikit menggeliat dan meringis saat keadaan tubuhnya remuk di beberapa hari ini. Alika bergerak menyandarkan tubuh di kepala ranjang dengan nyaman, menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut. Lalu menatap keadaan luar jendela di depannya. Sangat cerah. Siapa yang sudah membuka gorden kamarku? Apakah Aldra? "Kau sudah bangun?" Alika melirik terkejut, saat tiba-tiba tubuh Hana datang membuka pintu dan masuk, sejenak Hana tertegun memandang bercak kebiruan di leher dan bahu Alika yang amat banyak, lalu mengalihkan pandangan agar genangan air mata di pelupuk matanya tidak terlihat. Memungut pakaian tidur Alika yang berserakan di lantai karena ulah Aldra. Lalu memasukkan baju itu ke keranjang baju kotor. "Mandilah aku sudah menyiapkan makanan baru untukmu makan. Karena nasi goreng pagi tadi sudah tidak layak." Lalu melangkah keluar bersama baju kotor Alika. Alika memandang tubuh Hana yang berakhir di balik pintu yang tertutup. Rasa bersalah mulai menggerayangi hati Alika. Pasti Hana sangat terluka. Tetapi Alika pun tidak sepatutnya salah. Aldra memaksanya bahkan memperkosanya. Ia tidak punya pilihan lain. Pernah saat terbangun dari malam pemerkosaan b***t Aldra pertama kali. Alika langsung memberitahu Ayahnya untuk mengeluarkan ia dari apartemen Aldra. Memohon perceraian. Tetapi Rafly malah berkata dengan rasa bersalah, bahwa Ayahnya tidak bisa membantunya keluar dari sini karena Alan Gotardo. Hingga Alika mulai mencoba menerima takdir menyulitkan ini untuk bertahan. Mungkin dengan menyerah. Takdir tidak akan sekejam itu kepada hidupnya. *** Hana terduduk tenang dengan segelas air teh panas di meja makan, membuat Alika sedikit kebingungan saat dirinya berjalan dengan keadaan tubuh bersih dan rambut yang basah. Bahkan cuaca terasa sangat panas. Alika kemudian duduk di samping Hana. Mengambil piring berisi makanan yang Hana siapkan untuknya. Hana masih tidak bergeming dengan tatapan kosong ke depan. Alika tidak mencoba bersuara ia tahu Hana sedang kepikiran tetang kisah memuakan ini. Terlebih perut rampingnya berteriak untuk diberi makan, hingga Alika lebih memilih memenuhi kebutuhan perutnya. "Dulu…" Alika menoleh terkejut mentap Hana saat wanita itu bersuara. Masih dengan tatapan kosong ke arah depan. "Dari dulu kisah cinta kami terasa begitu rumit," ucap Hana lirih. Alika masih tidak bersuara. Mendengarkan keluh kesah Hana yang telah menumpuk dan siap meledak. "Dulu aku pernah berpikir untuk menyerah, karena kemustahilan dari hubungan kami. Tetapi dengan brengseknya Aldra menahanku untuk tetap bertahan di situasi apa pun. Hingga aku menurut karena aku percaya bahwa cintanya begitu besar untukku." Setetes cairan bening jatuh dari kelopak Hana. Mampu membuat hati Alika mengkerut sakit. "Hingga saat itu aku mengandung anak dari Aldra di luar pernikahan." Alika terkejut. Wanita ini pernah mengandung. Dan itu di luar nikah. "Dan saat yang kutunggu-tunggu pun tiba. Ayah Aldra merestui hubungan kami karena bayi yang berada di rahimku. Aku mau pun Aldra sangat bahagia saat itu, kami mengurus kehamilanku dengan serius karena berkat anakku kami pun sah menjadi suami istri." Tubuh Hana mulai berguncang dalam tangis memilukan. Bagaimana ia mengingat saat-saat bahagia itu dalam hidupnya yang hanya terjadi secara singkat. Alika masih tidak bersuara. Mencoba menjadi pedengar baik untuk Hana saat suara Hana kembali terdengar serak karena tangis. "Tetapi kebahagiaan itu terenggut saat aku kecelakaan dan mengakibatkan bayiku meninggal." Air mata Alika ikut terjatuh saat melihat Hana menangis dengan kedua tangan menutup wajah. Alika beringsut memeluk Hana dengan pelukan hangat. Alika wanita. Dan ia tahu bagaimana sulitnya Hana melalui itu. "Aku seperti tidak punya tujuan lagi untuk hidup terlebih dengan keadaan aku tidak bisa memberi keturunan lagi untuk Aldra. Aku ingin menyerah dan meninggalkan kehidupan sesak itu, tetapi sekali lagi Aldra memintaku untuk tetap bertahan." Alika semakin tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak ikut menangis, hatinya ikut tersayat juga. Ia seperti wanita jahat sekarang. Bahkan Alika tidak memperdulikan suara keroncongan dari dalam perutnya. Hana mengusap lelehan becek di kedua pipinya sebelum melanjutkan. "Hingga Ayah Aldra meminta suamiku untuk menikahimu," ucap Hana sesak. Dan Alika hanya bisa menggenggam erat dress cantik sepanjang lututnya. Hana bergerak melepaskan pelukan Alika, lalu menatap Alika serius. "Bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu," ucap Hana dengan nada memohon. Tanpa tahu apa yang diminta Hana. Alika mengangguk yakin. "Sungguh? Kau akan memberikannya untukku." "Iya aku akan memberikannya," ucap Alika dengan senyuman manis. Gadis yang baik hati. Tetapi Hana sangat tidak menginginkan keadaan ini berlanjut. Ia tidak peduli apakah dengan permintaannya ini akan membuat Alika terluka. Hana tidak peduli. Selama ini ia sudah menjadi wanita baik tetapi tetap dalam kesengsaraan. Biarlah ia menjadi wanita jahat kalau itu mampu membuat hidupnya bahagia. Hana akan belajar egois saat ini. Tak perduli walau harus mengorbankan hati seseorang yang berkelamin sama sepertinya untuk disakiti. Nyatanya keadaan yang membuat ia memilih jalan ini. "Aku ingin anak dari rahimmu serta Aldra. Dan kau hanya perlu mengandung tanpa bermain dengan perasaan. Karena saat kau melahirkan anak. Aku berharap kau pergi dari kehidupan kami." Alika terkejut bukan main, seluruh organ tubuhnya tiba-tiba lumpuh, aliran darahnya tiba-tiba mengering. jantungnya seakan merintih untuk menolak. Mampukah? Mampukah aku memberikan yang Kak Hana mau? Termasuk anakku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN