Bah 4. Meredakan Amarah

802 Kata
Menjadi pusat perhatian memang sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi Amanda. Terutama ketika orang-orang melihat asetnya yang lebih besar saat ia mengenakan pakaian ketat. Rambutnya tergerai, membuatnya gerah sehingga Amanda harus mengikat rambutnya terlebih dahulu di depan toko dan menyebabkan baju yang ia kenakan terangkat sedikit hingga memperlihatkan perut putihnya yang rata. Beberapa orang pria langsung mengalihkan tatapan mereka ke arah lain. Sementara para perempuan sibuk mengagumi kulit putih Amanda dan juga kecantikannya. Pipinya yang agak chubby dengan bibir yang mungil merupakan sebuah perpaduan yang sangat sempurna. Wajahnya juga terlihat sangat imut dan cantik, namun tidak ketika ia membuka mulutnya. "Bang! Showcase di mana? Gue mau cari minuman!" Beberapa orang terkejut karena suaranya yang agak nyaring. Meski terdengar agak lembut, tetap saja itu terdengar nyaring. Amanda tidak tahu siapa pemilik toko ini, namun langsung bertanya pada kasir yang bertugas. "Ada di ujung, Kak." Kasir yang bertugas menunjuk ke arah ujung membuat Amanda segera melewati beberapa rak untuk mencari showcase minuman. "Dari kota kayaknya." "Iya, ngomongnya aja lo gue." "Kira-kira siapa ya dia?" "Aku dengar-dengar, katanya cucu kakek Riswan datang ke sini. Bisa jadi cucunya kakek Riswan." "Kakek Riswan? Nggak pernah disangka kalau kakek Riswan punya cucu yang cantik seperti itu. Cucu-cucunya yang lain juga mukanya biasa aja." "Iya, ya? Nggak ada yang putih dan cantik kayak gitu." "Mungkin karena dia tinggalnya di kota, makanya agak beda dengan cucu-cucu kakek Riswan yang lain." Bisik-bisik mulai terdengar membicarakan soal Amanda yang merupakan cucu dari kakek Riswan, yang memang sudah terkenal di kampung ini. Kakek Riswan sendiri memiliki banyak tanah dan sawah sehingga dijuluki sebagai orang paling kaya di kampung ini. Meski begitu, kakek Riswan hidup sederhana. Rumahnya pun masih rumah zaman dahulu yang tentunya pada zaman itu sudah di tembok permanen. Kakek Riswan hidup dengan anak dan menantu serta cucunya yang tinggal di rumah itu. Sementara anak-anaknya yang lain tinggal di kota lain atau di kampung sebelah. Amanda melangkah menuju arah showcase, melewati sosok seorang pria yang saat ini sedang menata barang di rak. Wanita itu segera menarik pintu sowcase dan membuka untuk mengambil air tawar dingin. Sudah terlanjur haus, Amanda langsung membuka tutup botol namun wanita itu melupakan kekurangannya yang satu ini. Membuka tutup botol adalah hal yang paling tidak bisa dilakukan oleh Amanda. Mengangkat barbel tentu saja ia sudah biasa. Dua hal yang berbeda, namun anehnya ia justru mampu melakukan yang berat daripada hanya sekadar membuka tutup botol. Amanda mengedarkan pandangannya kemudian tak sengaja tatapannya jatuh pada sosok laki-laki yang sedang menata barang di rak. Menghampiri laki-laki itu, Amanda menunduk kemudian menepuk pundaknya. "Mas, tolong bantu bukain dong." Wanita itu menyodorkan botol minuman tersebut pada pria yang kini menolehkan kepalanya. Pria itu mengenakan topi hitam sebagai penutup kepala, menatap Amanda dan langsung menunduk ketika melihat aset besar wanita itu berada agak dekat dengan wajahnya. "Mas! Bisa minta tolong bukain botolnya nggak?" Amanda sekali lagi bertanya. Merasa gemas karena sudah menyodorkan botolnya beberapa detik namun tidak juga kunjung diambil. "Bisa, Mbak." Tanpa mengangkat kepalanya, laki-laki yang dimintai tolong oleh Amanda mengulurkan tangannya mengambil botol minuman tersebut. Langsung saja, botol dibuka dengan mudahnya dan diserahkan pada Amanda yang langsung menerimanya. "Thank you." Wanita itu mengucapkan terima kasih, sebelum berbalik melewati rak-rak berjejeran menuju kasir sambil menegak minuman di dalam botol. "Bang, gue ambil sebotol minuman ini. Nih," Amanda menyerahkan botol kosong pada kasir yang tertegun melihat bagaimana wanita itu langsung menegak air di dalam botol dengan sekali tenggak. "Oy, kenapa pada melamun sih? Mau dibayar nggak, nih?" Amanda melambaikan tangannya, membuat kasir laki-laki Itu menunduk dan langsung meletakkan botol minuman tersebut untuk di scan. "Totalnya 8750." Laki-laki itu menyebutkan total minuman Amanda. "Hanya minuman saja?" "Iya." Wanita itu segera mengeluarkan satu lembar uang berwarna merah dari dalam tasnya dan diserahkan pada kasir. "Sisanya, kasih aja jajan ke anak-anak di depan itu." Tidak lupa Amanda menunjuk pada anak-anak kecil yang sedang bermain di depan toko. "Ribet banget kalau harus bawa duit receh." Wanita itu berbalik keluar dan membuang botol minumannya di dalam kotak sampah yang tersedia di depan toko. Lalu, ia segera naik ke dalam mobilnya dan melaju pergi menuju rumah kakek yang posisinya berada tak jauh dari tempatnya saat ini berada. Dilihatnya Pak Mamat yang berada di pinggir jalan, membuat Amanda segera menghentikan laju kendaraannya di pinggir jalan. "Pak? Bapak mau ke mana?" Amanda menurunkan kaca jendelanya sambil menatap Pak Mamat. "Syukur alhamdulillah ya Allah gusti, akhirnya Mbak Amanda pulang juga. Saya disuruh sama bapak buat cari Mbak." Pak Mamat tampak lega melihat kehadiran Amanda. "Iya ini udah mau pulang. Mau nebeng nggak sekalian?" "Nggak usah toh Mbak. Di depan ini jalan kaki bentar aja udah sampai." Amanda mengangkat bahunya kemudian segera melajukan kendaraannya memasuki halaman depan rumah kakeknya. Pokoknya ia harus berbicara dengan kakek dan juga kedua orang tuanya untuk tidak menjodohkannya atau memaksanya menikah. Amanda tidak mau menikah apalagi dengan duda. Oh, tidak!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN