Bab 5 Siapa takut?

956 Kata
"Aku mau nikah tahun ini.” Kalimat itu keluar dari mulut Leo saat mereka duduk di balkon kos, makan martabak telur yang kebanyakan daun bawang. Naya mendongak. “Kamu lagi bercanda?” Leo mengunyah santai. “Enggak. Aku udah bilang dari awal, kan? Aku nggak main-main, Nay.” Naya terdiam. Angin malam menyapu wajahnya, tapi yang lebih dingin justru ketakutannya sendiri. “Kenapa buru-buru?” “Karena aku tahu kamu, dan aku tahu aku. Kita bukan anak SMA. Kalau cocok, ya lanjut. Kalau nggak, bilang dari sekarang.” “Kamu yakin cocoknya sama aku?” suara Naya melembut, tapi cemas. Leo menoleh. Matanya tajam tapi hangat. “Aku yakin mau jatuh cinta ke kamu setiap pagi. Walaupun kamu suka ngambek, nggak bisa masak, dan... nyimpen banyak foto mantan di Google Drive.” Naya tertawa kecil. “Aku udah hapus, tahu!” sanggahnya cepat. “Jadi aku boleh ngelamar sekarang?” Leo menyodorkan tutup kotak martabak seolah itu cincin. Naya menahan tawa, tapi dalam hatinya—panik. Bukan karena tidak suka. Tapi karena dia belum yakin: sudah cukup baikkah dirinya untuk dicintai setulus itu? “Padahal, kemarin kamu udah setuju, lho.” Leo manyun pura-pura. “Maaf ya.” Naya menunduk. Leo mengelus pucuk kepalanya. Lembut. “Nggak masalah. Aku tahu, jadi istri seseorang bukan cuma soal cinta. Tapi soal siap. Aku harap... suatu hari kamu akan memilih aku. Bahkan kalau kamu masih takut sekarang.” Naya ingin menangis. “Khusus kamu, aku akan nunggu. Jangan lama-lama, ya? Kita makin tua.” “Aku setahun lebih tua dari kamu, tahu.” “Aku suka yang matang.” “Nyebelin.” “Tapi kamu suka, kan?” Naya mengangguk kecil. Dan untuk pertama kalinya—dia tak menyangkal. --- Keesokan harinya, Naya bertemu Rina. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim mangga. Naya bercerita tentang Leo dan keinginan mereka untuk serius. “Dia ngajak nikah?” tanya Rina sambil melotot. Naya mengangguk pelan. “Terus kamu jawab apa?” “Aku bilang setuju, tapi... kadang ragu.” Rina mendesah panjang. “Nay, kamu suka dia nggak?” “Suka,” jawab Naya cepat. “Cinta?” Diam. Lama. “Aku... lagi belajar.” “Belajar cinta?” “Belajar percaya. Sama dia, dan sama diri sendiri.” Rina menepuk lutut Naya. “Kamu nggak harus langsung yakin, tapi jangan kabur karena takut.” “Siapa yang takut?” “Kamulah, masa Pak RT?” Naya mendengus. “Aku nggak takut, cuma... belum yakin.” “Beda tipis, Sis.” --- Malam itu, Naya menulis di notes ponselnya: > Kalau aku menikah, aku ingin itu karena aku berani. Bukan karena aku lelah sendiri. Bukan karena takut kehilangan. Tapi karena aku mau mencintai orang itu dengan cara yang sehat—bukan impulsif, bukan pelarian, bukan luka yang disamarkan. Untuk pertama kalinya... mungkin aku siap bilang ya. Ia tersenyum kecil, merasa kalimat itu benar. Tak lama kemudian, pesan dari Leo muncul: > “Boleh telpon?” Naya mengetik: “Boleh.” Beberapa detik, ponselnya berdering. “Kangen,” suara Leo manja. Naya menahan tawa. Sudut bibirnya naik tanpa bisa dicegah. Mereka ngobrol ringan. Sampai Leo berkata, “Kapan kamu bisa keluar? Aku mau ngajak kamu kencan beneran.” Naya mengecek kalender. “Weekend ini. Tapi jangan bawa cincin dulu ya.” “Deal. Aku nggak bawa cincin, tapi bawa proposal nikah, boleh?” Naya menghela napas, nyengir. “Gila.” Leo tertawa. “Virgo, Nay. Semua harus direncanain.” Naya terkikik. Virgo emang beda. Bangga banget sama checklist hidupnya. --- Akhir pekan datang lebih cepat dari yang Naya harapkan. Leo menjemput pagi-pagi, kali ini pakai setelan formal. Naya mengenakan blouse netral dan celana panjang. Rambut diikat. Parfum soft. Dandan tipis. Tapi jantungnya? Kerasukan drum band. “Aku harus siap dibilang nggak mandi lagi,” gumam Naya. Leo tersenyum. “Kali ini kamu udah mandi. Tinggal tahan mental.” Rumah besar berpilar putih itu kembali menyambut. Mama Leo sudah menunggu di ruang tamu—duduk tegak, tatapannya tajam seperti sedang menilai harga seseorang. “Pagi, Tante,” sapa Naya sopan. “Kamu nggak pakai rok?” tanya sang ibu tanpa basa-basi. Naya nyaris menjawab, tapi Leo lebih dulu buka suara. “Ma, kami ke sini karena ada yang penting.” “Apa?” “Kami mau menikah.” Hening. Mama Leo menyipitkan mata. Lalu tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena menganggap mereka sedang berkhayal. “Kamu mau nikah sama perempuan ini?” katanya ke Leo. “Yang kamu bawa pulang dalam keadaan... acak-acakan?” “Ma, itu aku yang minta dia datang. Dan aku yang ngelamar. Dia belum jawab.” Tatapan sang ibu berpindah ke Naya. “Kamu pikir cinta anak saya cukup buat nutupin... masa lalu kamu?” Naya tidak menunduk. Ia menatap langsung. “Saya nggak pernah minta ditutupin, Tante. Saya juga nggak akan minta maaf atas siapa saya dulu.” Diam. Tegang. “Saya datang bukan bawa janji kosong. Saya cuma bawa tekad. Buat belajar jadi seseorang yang layak di samping Leo. Bukan karena saya sempurna. Tapi karena saya mau berusaha.” Mama Leo menatapnya lama. Wajahnya kaku. Tapi kehabisan alasan. “Kamu keras kepala,” gumamnya. Naya menanggapi pelan, “Saya cinta Leo. Tapi saya ke sini bukan buat ngemis restu. Saya datang untuk menghormati.” Mama Leo berdiri. “Nikah itu bukan soal cinta. Kalau kalian nekat... pastikan kalian siap gagal.” Ia pergi. Leo menatap punggung ibunya, lalu menoleh pada Naya. “Masih yakin?” “Justru makin yakin,” jawab Naya. “Karena yang keras kepala... bukan cuma aku.” Leo tersenyum. “Takut?” Naya menggeleng. “Enggak. Siapa yang takut?” “Bagus.” Leo menatapnya penuh arti. “Karena semakin menantang... semakin kamu suka, kan?” Naya mengangguk setuju.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN