Cahaya matahari menembus tipis dari celah tirai kamar lantai dua. Hangatnya menari-nari di wajah Naya yang masih tenggelam di balik selimut abu-abu lembut. Suara burung terdengar samar dari kejauhan, bercampur aroma kopi dan... sesuatu yang familiar: rasa nyaman. Matanya perlahan terbuka. Langit-langit kamar belum sepenuhnya akrab, tapi wangi sabun yang menempel di bantal membuatnya yakin—ini bukan mimpi. Ini pagi pertama setelah malam yang tak perlu dikomentari siapa-siapa. Leo sudah bangun duluan. Ia duduk di lantai, bersandar di sisi ranjang dengan laptop terbuka dan cangkir kopi di tangan. Wajahnya santai, rambutnya masih berantakan, dan tatapannya langsung mengarah pada Naya yang baru menggeliat pelan. “Oh ya,” katanya tanpa pengantar, “semalam kamu mendengkur, lho.” Naya menoleh

