Bab 3 Ketemu Kenyataan

1008 Kata
Naya mendesah kasar. Dia duduk di kursi penumpang, tangannya bersilang, menatap ke luar jendela. Leo menyetir dengan ekspresi santai, sesekali melirik ke arahnya seperti tidak merasa bersalah baru saja menyeret Naya ke hadapan mama kandungnya yang menyeramkan itu. “Kamu marah?” tanya Leo pelan. “Aku pengen maki kamu,” sahut Naya tanpa menoleh. Leo tertawa kecil. “Maki calon suami itu pamali. Nanti kamu kena karma.” “Calon suami siapa?” Leo melirik. “Kamu nggak amnesia, kan? Atau perlu aku ke notaris sekarang buat bikin surat perjanjian?” “Kamu gila.” Leo nyengir. “Kamu Sagitarius, Na. Sagitarius suka kabur kalau ngerasa terjebak.” “Dan kamu Virgo, kan? Si overthinking, tukang ngatur, dan suka maksa orang ikut cara mainmu.” Leo cengar-cengir. “Makanya kita cocok. Kamu lari, aku tarik. Kamu buang, aku pungut. Kamu galak, aku sabar.” Naya memutar bola mata. Entah kenapa, cowok itu kelihatan terlalu bahagia untuk situasi kayak tadi. “Bagi kontak, dong,” kata Leo tiba-tiba. “Nggak bawa HP,” jawab Naya singkat. “Kalau gitu, kita tinggal serumah aja sekalian. Biar gampang dicari.” Naya melotot. “Jangan aneh-aneh!” “Kenapa? Anggap aja latihan sebelum kamu pindah ke rumahku.” “Pindah ke mana?” “Ke rumahku, lah. Masa kamu tetap ngekos setelah nikah? Apa kata tetangga nanti?” “Emang penting kata tetangga?” “Penting. Makanya kamu harus ikut aku. Di rumahku kamu bebas. Mau nggak pakai apa-apa juga nggak apa-apa—asal aku pulang kerja kamu langsung peluk aku. Siap digoda, deh!” Naya ingin teriak, tapi percuma. Leo terlalu niat buat dianggap bercanda. “Aku antar kamu pulang dulu, ya. Tapi kapan-kapan, aku ajak kamu lihat rumahku.” Naya hanya mengangguk kecil. Otaknya mumet, emosinya juga campur aduk. Rasanya dia cuma pengen balik ke kamar dan tidur seminggu. Leo tiba-tiba menyentuh tangannya pelan. “Aku cinta kamu, Nay. Dari dulu sampai sekarang, kamu tetap perempuan paling indah di mataku.” Naya tidak menjawab. Tapi hatinya... nyesek, tapi hangat. Apa dia boleh bahagia? Begitu sampai di kos, Naya turun tanpa banyak bicara. Leo ikut turun juga. Nggak diusir, tapi juga nggak diajak masuk. Sinyalnya jelas: cukup untuk hari ini. Tapi cowok itu malah nyandar di pintu kamarnya. Wajahnya agak sendu. “Ada apa lagi?” tanya Naya, mengangkat alis. “Boleh peluk sebentar?” Naya tidak menjawab, tapi juga tidak menolak. Leo mendekat dan memeluknya. Satu tangan. Hangat. Dan terasa terlalu pas untuk dilepas. “Jangan sedih lagi. Dan jangan pernah mikir kamu nggak layak buat aku. Aku serius, Na. Aku mau kita nikah.” Naya masih diam. Ia memejamkan mata sebentar, menyimpan momen itu baik-baik. Siapa tahu... ini terakhir kalinya dia merasa dicintai tanpa syarat. Setelah Leo pergi, Naya berdiri lama di depan cermin. Rambut awut-awutan, mata sembab, hoodie bau sisa semalam. Tapi... hatinya sedikit lebih tenang. Sedikit lebih penuh. Dia membuka ponsel. Grup WA rame. Pesan dari sahabatnya juga belum dibalas. Tapi di paling atas, satu notifikasi membuat napasnya terhenti. Duta (Aktif 2 menit lalu): Kita perlu bicara. Sekali ini aja. Please. Naya menatap nama itu lama. Duta. Lelaki yang dulu membuatnya jatuh sampai patah. Yang pergi di saat dia paling butuh. Ia mengetik: Bicara apa? …hapus. Tentang apa? …hapus juga. Akhirnya, ia letakkan ponsel dan menarik napas panjang. Dan ia menangis. Tanpa suara. Bukan karena Leo. Tapi karena luka lama yang belum benar-benar sembuh. Setelah cukup lama tenggelam dalam air mata, Naya menghubungi orang yang paling tahu dirinya luar dalam. Rina. “Halo?” Suara Rina terdengar mengantuk. “Mau curhat. Sibuk nggak?” “Nggak. Kenapa?” Naya menggigit bibirnya, lalu bersandar ke tembok. “Duta ngechat aku.” Hening. “Baru sekarang?” tanya Rina pelan. Naya mengangguk meski tahu itu tak terlihat. “Iya. Katanya cuma mau ngobrol sekali. Katanya penting.” “Kamu mau ketemu?” “Aku nggak tahu.” Suaranya mulai bergetar. “Aku takut... kalau aku ketemu dia, aku jatuh lagi.” “Nay... kamu sadar nggak? Kamu udah sampai sejauh ini. Duta itu cuma pintu masa lalu yang belum kamu kunci.” “Aku benci diriku karena masih penasaran. Masih deg-degan. Padahal dia ninggalin aku di saat aku nyaris hancur.” “Kamu nggak benci. Kamu cuma belum selesai. Tapi itu wajar. Jangan biarkan luka yang dia kasih jadi alasan kamu buka pintu itu lagi. Sekali dia masuk... kamu bisa hilang.” Naya tidak bisa membantah. Air matanya turun lagi. “Terus aku harus gimana?” “Kalau kamu butuh nutup bab lama, ketemu dia boleh. Tapi jangan datang sebagai cewek yang nunggu balikan. Datanglah sebagai perempuan yang tahu: kamu cukup.” Naya mengangguk kecil. Walau tak terlihat, ia tahu Rina bisa merasakannya. “Thanks, Rin.” “Besok kamu ke rumah aku. Kita bakar foto dia. Sama sisa hadiah anniversary tahun kedua itu. Aku tahu kamu masih nyimpen.” Naya tertawa kecil di tengah isaknya. “Gila, kamu masih inget aja.” “Aku sahabat kamu. Ingatanku panjang, sama kayak sabarku nunggu kamu sadar... kamu pantas bahagia.” Ada jeda panjang sebelum Naya menjawab. “Aku tahu.” Suaranya lirih, tapi yakin. Telepon berakhir. Tapi perasaannya lebih ringan. Masih sakit, tapi setidaknya dia tahu: ke arah mana dia harus melangkah. “Aku tidak akan lari.” Kali ini, Sagitarius itu memilih bertahan. Untuk dirinya sendiri. Malam pun berlalu. Namun kali ini, tidak dengan hati yang koyak. Tapi dengan hati yang mulai menjahit dirinya sendiri—pelan-pelan, meski tangannya gemetar. Naya tahu, luka tidak langsung hilang, tapi luka bisa diajak berdamai. Bahkan sesekali... diajak tertawa. Di luar, hujan turun perlahan. Menghapus jejak langkah Leo di koridor kos. Tapi tidak menghapus jejak hangatnya di hati Naya. Dan tentang Duta? Biar dia jadi bab yang hanya dibaca sekali, lalu ditutup selamanya. Besok, hidup akan tetap berjalan. Dengan air mata yang sudah dikeringkan. Dengan kopi yang diseduh sendiri. Dengan keyakinan baru. Jatuh cinta bukan tentang siapa yang datang lebih dulu, tapi siapa yang berani tinggal saat sedang tidak baik-baik saja. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Naya tersenyum sebelum tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN