Bab 9 Antara cacing dan nyamuk

903 Kata
Gerbang SMP tempat Naya mengajar masih dipenuhi anak-anak berseragam biru putih. Sebagian sudah pulang, sebagian lagi rebutan cilok di depan pagar yang ramai. Di tengah keramaian itu, Naya berdiri memeluk totebag berisi ulangan yang belum dikoreksi. Rambutnya dikuncir asal, blouse putihnya kusut, tapi matanya berbinar saat mobil merah berhenti. Jendela terbuka. Leo melongok keluar dan nyengir, “Ayo naik, Bu Guru.” Naya tertawa kecil. “Tumben sopan.” Begitu membuka pintu belakang, langkahnya terhenti. Di kursi tengah, duduk seorang perempuan dengan blazer abu-abu dan cepol rapi. Tatapannya... mirip slide wawancara HRD: tajam tapi tenang. Naya menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Kamu... Livia, ya?” Perempuan itu menoleh. “Wah, kamu tahu aku?” “Leo pernah tunjukin foto kalian pas prom. Kamu nggak berubah.” Livia menyipitkan mata, sedikit tak percaya. “Ingatanku aja nggak segitu kuat.” Naya nyengir. “Waktu itu Leo lucu banget. Rambutnya kayak wig yang ditiup angin patah hati.” Leo di kemudi menutup wajah. “Tolong ya, jangan buka arsip memalukan.” Livia mengulurkan tangan. “Livia. Pengacara, Capricorn, dan penikmat drama keluarga.” “Katanya jangan bawa-bawa zodiak,” gumam Leo. “Supir dilarang protes,” balas Livia santai. Naya duduk di sebelah Livia. Atmosfer mobil terasa berubah... padat tapi penasaran. “Jadi,” Livia membuka percakapan, “kamu guru?” “Iya. Bahasa Indonesia.” Livia mengernyit. “Bukannya kamu lulusan Bahasa Inggris?” “Iya, tapi yang buka lowongan cuma ini.” “Keren juga. Dulu aku sering dengar kalian ngobrol pake Bahasa Inggris waktu teleponan.” Naya tersenyum malu. “Leo bilang setengah belajar, setengah flirting.” “Green vibes banget kamu.” Leo menyela, “Mau makan di warung soto langganan kita, Nay?” Naya mengangguk. “Kalian sering makan bareng?” tanya Livia. Naya mengangguk lagi. “Tapi lebih banyak makannya, bukan ngobrolnya.” “Hati-hati jadi gajah sebelum nikah. Kakakku ini sih... kayak cacingan. Makan banyak, berat badan malah turun.” “Aku sehat,” protes Leo cepat. Livia mengangkat bahu. “Nanti cacingnya ngambek kalau kamu terus bantah.” Naya tertawa. “Nggak apa-apa, Liv. Kalau perlu nanti aku beliin obat cacing.” Livia menatapnya dalam. “Ciee... perhatian.” Leo memutar mata. “Nggak lucu ya.” “Lucu sih nggak, tapi... itu tahap satu.” Leo mengernyit. “Tahap apa?” “Tes calon ipar. Tahap satu: perhatian kecil, check!” --- Mereka duduk di meja pojok warung. Tiga minuman tersaji: kopi s**u, lemon tea, dan air putih. Livia menatap Naya, penuh evaluasi. “Jadi kalian beneran nikah tahun ini?” Leo mengangguk. Naya menjawab pelan, “Kalau Tuhan dan... ibumu mengizinkan.” Livia mengangkat alis. “Kalau Tuhan pasti. Kalau Mama? Butuh... persuasi. Tapi tenang, aku udah ambil alih strategi.” Leo dan Naya saling melirik. “Strategi?” Livia mengangguk. “Kalian pikir aku kuliah hukum buat ngurus kontrak? Aku juga bisa negosiasi keluarga.” Leo mendesah. “Liv... ini bukan pengadilan.” “Justru. Karena ini soal hati, kliennya lebih rumit.” Livia menatap Naya serius. “Aku pikir kamu bakal lebih defensif.” Naya menatap balik. “Defensif nggak bikin disayang. Terlalu tunduk juga nggak sehat. Aku... masih belajar.” Livia terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Bagus. Kakakku butuh partner diskusi, bukan manekin di etalase.” Leo menyikut lengan Livia. “Tolong, jangan kayak pembimbing skripsi.” “Aku cuma pengen tahu,” ujar Livia kalem. “Karena nanti hidup kalian nggak cuma soal cinta. Tapi kerja sama. Komitmen jangka panjang. Perjanjian tak tertulis... tapi sah.” Naya menyesap air putih. “Aku nggak janji bisa jadi istri sempurna. Tapi aku janji... nggak kabur waktu situasi berat.” Livia menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Noted. Kamu lulus tahap dua.” Leo menyela, “Tahap satu itu... obat cacing tadi?” “Betul. Artinya dia perhatian, nggak mudah tersinggung. Lulus dua kali.” Naya tertawa gugup. “Aku takut... tahap terakhirnya apa.” Leo menjawab pelan. “Mama.” Livia menambahkan, “Final boss.” Hening sesaat. Livia meraih tangan Naya. “Tahu kenapa aku dukung Leo nikahin kamu?” Naya menggeleng pelan. “Karena ini pertama kalinya aku lihat dia milih yang bikin dia bahagia. Bukan yang bikin Mama tenang.” Leo menunduk. Mendadak suasana di warung soto jadi semacam ruang refleksi keluarga. “Kamu nggak khawatir kakakmu berubah?” Livia tersenyum. “Kalau cinta bisa bikin orang setenang Leo jadi nekad... pasti kamu spesial banget.” Leo mengangkat alis. “Tadi katanya gila.” Livia mengangkat gelas lemon tea. “Cheers to your emotional insanity.” Ia lalu menatap Naya tajam. “Satu hal lagi. Kalau kamu nyakitin Leo, aku nggak pakai KUHP. Aku pakai pasal pribadi.” Naya tak mundur. “Kalau aku nyakitin Leo, aku pasti udah nyakitin diriku dulu.” Livia terdiam sesaat. Lalu mengangguk. “Aman. Kamu resmi jadi bagian keluarga.” Leo meraih tangan Naya. “Aku sayang kamu.” Naya menatap Leo. “Aku juga.” Livia menyeruput tehnya dan bergumam, “Jadi nyamuk, deh.” “Kalau nyamuknya Capricorn pengacara, serem,” celetuk Naya. “Bisa gigit sampai mental breakdown,” timpal Leo. “Dih, jahat!” “Kamu yang mulai.” Naya tertawa. Di tengah hidangan soto, candaan, dan rasa gugup yang masih ada di dadanya... Ia sadar. Pernikahan bukan cuma tentang cinta melainkan tentang bertahan di tengah keluarga yang hangat dengan bumbu, kuah panas, dan obat cacing.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN