Bab 1. Kecelakaan Motor

1620 Kata
“Neng Yaya, bawa motornya jangan ngebut-ngebut, ini jalan raya!” seru Ola yang dibonceng Yaya, mulai ketar ketir. Saat ini mereka bersama-sama pergi magang ke perusahaan Grup Citra Green. Yaya Elvina Azhra, baru saja naik kelas tiga SMK, dan sekarang hari pertama ia magang. “Ola, pegangan yang kencang ya!” seru Yaya merasa tertantang kalau udah mengemudikan motor di jalan raya. Ia melupakan pesan ayahnya. “Yaya, aku belum mau meninggoy, gue belum kawin!” teriak Ola ketakutan, sembari memeluk erat pinggang sahabatnya. “Tenang aja nanti kita berdua cepat kawin, Ola!” balas Yaya tersenyum lebar dan pandangannya tetap fokus ke depan. Namun, beberapa saat kemudian, ada mobil mewah tiba-tiba main nyelonong menyalip di depan motor yang dikemudikan Yaya. “Neng ... Neng, atuh direm Neng Yaya!” teriak Ola semakin ketakutan, ingin rasanya sahabatnya Yaya menutup matanya tapi mulutnya sedang baca surah Alfatihah sekaligus istighfar. “Ya Allah, aku belum mau mati,” gumam Ola dengan tubuhnya mulai gemetaran. Suara decitan ban motor dan aspal beradu terdengar begitu kencang, lalu suara benda berbenturan keras terdengar jelas. “Ampun Ya Allah, kita belum kawin ... masih perawan!!” teriak Yaya dan Ola berbarengan. Mobil mewah itu berhenti seketika, dan pria yang duduk di bagian bangku penumpang sempat tersentak ke depan, lalu menolehkan wajahnya ke belakang untuk memastikan sesuatu. “Dewa, kayaknya ada yang nabrak mobil saya, coba kamu cek dulu!” perintah Pasha, ia menduga seperti itu. “Kayaknya begitu Pak, saya juga mau cek terlebih dahulu,” balas Dewa, lantas bergegas keluar dari mobil. Yaya yang sempat memejamkan mata dan sudah pasrah, perlahan-lahan membuka matanya, begitu juga dengan Ola. “Waduh! Ola, alhamdulillah kita selamat ... nggak jadi meninggoy kok!” seru Yaya bersyukur, tapi ada tapinya. “Alhamdulillah.” Ola mengatur napasnya dalam-dalam, dan banyak bersyukur melihat ia tidak mencium aspal panas, dan tubuhnya tidak mengalami luka hanya senam jantung yang sempat terjadi. “Waduh yang punya mobilnya keluar, Ola!” gumam Yaya sembari menepuk paha Ola yang masih duduk di atas motor. Dewa melihat kondisi bagian body belakang mobil udah tampak penyok, lalu body depan motor yang dikemudikan Yaya juga hancur. Yaya pasang wajah berani saat bertemu pandang dengan asisten pribadi Pasha. Sementara Dewa memperhatikan rok seragam yang dikenakan oleh Yaya dan Ola, tampak familiar. “Ternyata yang nabrak siswi sekolah Wijaya Kusuma,” gumam Dewa sembari melangkah mendekati kedua anak gadis itu. “Kalian berdua tidak pa-pa? Ada yang terluka tidak?” tanya Dewa basa basi sebelum bertanya ke akar masalahnya. Sebelum Yaya menjawab, ia terlebih dahulu melirik motornya, lalu beralih ke mobil di depannya. “Iya, Yaya terluka nih, terluka sangat dalam. Siapa suruh tadi bawa mobilnya nyelonong begitu aja! Om harus ganti rugi, termasuk mengobati luka di tubuh Yaya,” jawab Yaya dengan alisnya naik turun. “Hampir aja Yaya sama sahabat Yaya nggak jadi kawin, Om!” lanjut kata Yaya. “Hah!” Dewa melongo, apa hubungannya kecelakaan sama nggak jadi kawin. Sementara itu, Pasha yang paling sebal menunggu lama, ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari mobilnya untuk mengecek kondisi mobilnya. “Dewa, ngimana ada yang terluka? Terus apa yang kena?” tanya Pasha saat menghampiri mereka semua. Degh! Bibir Yaya langsung menganga melihat pria yang tampak begitu tampan itu, belum lagi pria itu penampilannya mengenakan setelah jas warna abu-abu monyet, semakin memesona di bola mata indah milik Yaya. “MasyaAllah, Alhamdulillah, Pangeran berkuda putih Yaya datang menjemput. Makasih Ya Allah, Yaya rela dibawa ke KUA sekarang. Yuk kita ke KUA sekarang,” ujar Yaya spontan begitu aja. “HAH!” Dewa dan Ola dibuat melongo. *** Tanpa disadari Yaya, sudut bibirnya udah ngeces melihat ketampanan pria yang baru saja ia lihat. Laksana Pangeran yang ada di dalam komik Candy-Candy jaman baheula, kalau kata Yaya. “Yaya, eeh itu ilernya jatuh tuh.” Ola yang baru saja turun dari motor langsung menyikut lengan sahabatnya, biar nggak terlalu lama terpesonanya. “Eh!” Lamunan Yaya buyar, dan bergegas dengan punggung tangannya mengusap sudut bibirnya. “Jadi ngimana, Om ini mau langsung bawa Yaya ke KUA? Yaya udah siap. Bentar ya, Yaya turun dari motor dulu,” ujar Yaya penuh percaya diri, kemudian buru turun dari motornya dengan senyuman yang lebar. Cantik sih, tapi kaya kurang se-ons. Sementara itu Pasha menatap heran pada Yaya yang menurutnya gadis aneh. Lalu, mengalihkan pandangannya ke bagian belakang mobil yang baru saja ia beli. Gemas dan geram menyatu dalam hatinya. “Ssstt, Yaya, sadar, siapa yang mau ngajak kamu ke KUA, tapi malah mau ngajak ke kantor polisi,” bisik Ola mendekati sahabatnya, sembari alis matanya naik turun melirik Dewa dan Pasha. “Hah!” Kening Yaya mengerut, lalu ia menatap kedua pria tersebut tanpa melepaskan helm cetoknya yang masih terpasang di kepalanya. “Kamu yang telah menabrak mobil saya?” tanya Pasha dengan suara bariton begitu berwibawa, tatapan matanya seakan menuding Yaya. Yaya mengangkat tangannya ke udara, seakan meminta pria dewasa itu untuk tidak melanjutkan pertanyaan. “Sebentar ... sebentar Om, ini sebenarnya yang bawa mobil ... Om ini atau Om yang ini?” tanya Yaya sembari bergantian menatap Dewa dan Pasha bergantian. “Bukan kami berdua, lebih tepatnya ada sopir saya,“ jawab Pasha jujur. “Kalau begitu panggilkan sopir Om-nya,” pinta Yaya dengan santainya pada pria berjas abu-abu itu. “Eh, kamu nyuruh saya?” tanya Pasha terhenyak sembari menunjuk dirinya sendiri. Sedangkan Dewa melongo, tak percaya ada orang yang berani menyuruh bosnya. “Iya, Yaya nyuruh Om, memangnya mau nyuruh siapa lagi? Yaya'kan nggak kenal sama sopir Om, lagian kita berdua juga belum saling kenal kok,” ujar Yaya dengan mengedipkan salah satu matanya. Pasha menarik napasnya dalam-dalam. “Saya minta kartu SIM kamu,” pinta Pasha agak kesal. “SIM yang mana Om?” Yaya malah balik bertanya, dan hal itu membuat Pasha semakin kesal. “SIM! memangnya kamu nggak tahu apa itu SIM, surat izin mengemudi! Jangan-jangan kamu bawa motor nggak punya SIM!” Intonasi suara Pasha menggelegar. Tapi reaksi Yaya tampak tenang, jikalau terkejut pun hanya sebentar saja. “Ih, si Om tak patutlah marah-marah. Nanti kegantengan Om luntur loh kayak cucian baju Yaya di rumah,” balas Yaya cengengesan, lalu tanganya sibuk mengambil tasnya yang ia taruh di motor, kemudian mengudak-ngaduk isi tasnya. Dewa mendesah dengan mengusap tengkuknya yang mendadak terasa berat. Lalu, ujung matanya melirik wajah bosnya yang sudah tak enak dipandang. “Ini cewek kenapa santai sekali ngadepin Pak Pasha, andaikan dia tahu ini yang dihadapinya itu bos dari grup ternama di seluruh Indonesia.” Ngebatin Dewa, tak bisa berkata apa-apa melihat Yaya. “Nah ini SIM punya Yaya yang cantik dan imut ini,” ujar Yaya menyodorkannya kepada Pasha. Pria dewasa itu langsung menariknya dengan kasar. “Om, sekalian mau lihat KTP Yaya juga nggak? Biar sekalian buat daftarkan pernikahan kita berdua Oma,” lanjut kata Yaya tersenyum lebar. Pasha melayangkan tatapan galaknya di balik wajah tampannya itu sekilas, lalu membaca SIM milik Yaya. “Sehubungan kamu telah menabrak mobil saya, jadi kita selesaikan masalah ini ke kantor polisi. SIM kamu saya tahan, dan kamu bisa menghubungi kedua orang tuamu untuk menyelesaikan persoalan ini. Karena ini sudah menyangkut masalah ganti rugi, dan saya bisa memastikan kamu tidak memiliki uang banyak untuk membayar ganti rugi yang saya alami. Kamu lihat sendirikan mobil ini sangat mahal harganya, tapi telah kamu tab—“ “Stop! Dari tadi Om ini bicara panjang kali lebar, dan langsung buat keputusan sendiri, mentang-mentang Yaya masih anak sekolah! Sebelum memutuskannya panggil dulu sopir Om sekarang juga, kalau tidak nih mobil mewah Om bakal Yaya remuk jadi mobil-mobilan! Mau nggak!” seru Yaya agak mengancam, dengan ekspresi serius dan menantang. “Waduh, nih bocah berani juga nantangin pak Pasha. Duh Dek, kalau kamu nanti tahu siapa pak Pasha di sekolahmu, bakal nangis loh, Dek,” batin Dewa meringis. Duh, emosi Pasha bisa naik ke ubun-ubun menghadapi gadis yang baru ia lihat. Alis mata Yaya naik sebelah saat mereka beradu pandang. “Enak sekali kamu pakai nyuruh-nyuruh saya! Nggak sopan ya kamu! Kamu nggak tahu saya ini siapa?” tanya Pasha dengan suaranya naik satu oktaf. “Yaya tahu kok siapa Om!” “Siapa?” tanya Pasha geregetan sekaligus penasaran. “Calon suami Yaya!” balas Yaya dengan raut wajah polosnya. Ola menepuk jidatnya, heran tapi nyata dengan tingkah sahabatnya. Sedangkan Dewa melipat bibirnya agar tawanya tidak pecah. “Kamu ya!” Ah, Pasha lantas mengusap tengkuknya yang mendadak berat, lalu melirik asistennya. “Dewa, panggilkan pak Ali, suruh dia ke sini. Lama-lama saya bisa gila ngandepin orang ini,” pinta Pasha. “Baik Pak, ditunggu sebentar.” Dewa bergegas memanggil sopir bosnya, dan tak lama mereka berdua datang kembali. Pasha dan Yaya sama-sama menatap pria berseragam safari warna hitam. “Ini sopir saya, sekarang apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Pasha. Yaya menatap lekat pria berseragam tersebut. “Pak, tadi Bapak nyadar tidak kalau saat mengemudi tiba-tiba nyelonong ambil jalur kiri tanpa kasih lampu sen ... pas sekali di depan motor Yaya. Dan, mau tidak mau Yaya kehilangan kendali, eeh ... terpaksa deh ngerem mendadak! Untungnya Yaya sama sahabat Yaya masih selamat, kalau nggak selamat ... saat ini pasti tergeletak di aspal,” ujar Yaya tegas. “Dan sekarang si Om ini ingin bawa Yaya ke kantor polisi untuk menyelesaikan perkara. Ok, kita selesaikan di kantor polisi. Tapi tolong bawa rekaman CCTV yang ada di dalam mobil bagian belakang ini. Pastinya ada’kan? Biar jelas duduk perkaranya!” lanjut kata Yaya sembari kembali menatap Pasha. Kadang Yaya memang tampak oneng dan konyol. Tapi di sini lain gadis itu cerdas dalam berpikir. Sebuah kejutan lagi yang Dewa lihat dari sosok Yaya, sedangkan Pasha terdiam seribu bahasa. “Jangan bilang kalau mobil mewah Om ini tidak ada dasbor cctv-nya!” Yaya menyeringai tipis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN