Asi Perempuan yang Kehilangan.

1158 Kata
"Kami ingin mengabarkan terkait kondisi bayi Anda, bayi laki-laki yang baru lahir dari almarhumah istri Anda, Ibu Kesha," lanjut perawat itu, sedikit ragu-ragu. "Kondisinya tidak bagus, Pak. Saya harap Anda bisa segera datang ke sini sekarang," sambung lawan bicara dari seberang. Hannan tidak bisa mengabaikan kata–kata yang baru saja dia dengar. Malaikat mungil itu pada akhirnya mencari keberadaan sang ayah tercinta, meski naas satu–satunya orang tua yang tersisa tidak peduli akan keberadaannya. "Bayi itu masih hidup?" suara Hannan terdengar datar, seolah tidak terlalu peduli. "Benar, Pak. Berkat kasih Yang Maha Kuasa, dia masih hidup. Namun kondisinya cukup memprihatinkan. Bayi Anda alergi terhadap s**u formula, dan kami kesulitan mendapatkan suplai ASI yang cukup untuknya." Perawat menjelaskan dengan hati-hati. Di sisi lain, Hannan hanya terdiam. Sesuatu yang aneh tiba-tiba menyelusup di hatinya—kebingungan, tapi lebih banyak rasa cemas yang tak bisa dijelaskan. Sayang, perasaan itu tak cukup kuat untuk menggugahnya. Sesuatu dalam dirinya menanggapi berita itu dengan dingin, tanpa emosi. "Lalu? Anda ingin saya bagaimana?" "Maaf, Pak?" "Apa saya harus datang dan berlari ke sana demi menyelamatkannya?" tanya Hannan, nada bicaranya yang dingin dan cuek terdengar jelas. "Kalian tim medis, bukankah harusnya lebih paham daripada saya? Kasus seperti ini bukan pertama kalinya, 'kan?" Perawat itu terdiam sejenak, kemudian menjawab pelan, "Kami hanya ingin memastikan agar Anda tahu. Kalau Anda ingin bayi Anda diberi perhatian lebih, kami bisa menyediakan s**u alternatif dan bantuan medis yang diperlukan. Hanya saja, kami butuh izin dari orangtua, dari Anda, Pak." Hannan menarik napas panjang, memandang jalan yang sepi di luar jendela mobilnya. Perlahan-lahan, kata-kata itu mengalir keluar, terasa begitu berat namun tak bisa dihentikan. "Saya tidak ada urusan dengan bayi itu," ujarnya tanpa rasa menyesal. "Kalian mau apakan dia, saya tidak peduli. Biarkan saja dia, saya tidak ingin terlibat." Perawat nampaknya terkejut, dapat terbaca dari suaranya yang goyah. "Tapi, Pak Hannan, bayi ini—" "Dengar," Hannan terdengar lebih tegas, namun lebih rendah. "Bayi itu adalah alasan istri saya meninggal. Anda tidak mengerti apa yang saya rasakan. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya tidak peduli." Suasana di ujung telepon hening sejenak, hanya terdengar suara nafas perawat yang tertekan. Hannan memutuskan untuk mengakhiri percakapan dengan cepat. "Terima kasih," kata Hannan datar, sebelum menekan tombol akhir panggilan. Dia menatap layar ponsel yang mati sejenak, seolah berpikir tentang apa yang baru saja terjadi. Perasaan hampa kembali menyelimuti dirinya. Bayi itu. Bayi yang seharusnya menjadi harapan mereka. Namun, tak ada ruang bagi harapan di dunia yang kini hanya dipenuhi oleh kenangan. Dunia yang dipenuhi oleh bayangan Kesha yang sudah hilang selamanya. Hannan meremas stir mobil, mencoba mengendalikan perasaan yang seolah tak ingin mereda. Dalam hatinya seakan ada sesuatu yang terus bergolak. Meski Hannan mencoba menepis, kenangan tentang bayi yang tak pernah sempat dia lihat dan Kesha yang telah pergi, menghantui langkahnya. *** Hari-hari Andini di rumah sakit berjalan tanpa warna. Pagi, siang, sore, malam—semuanya terasa sama. Luka operasinya mulai mengering, tapi luka di dadanya tetap terbuka, menganga, dan tak kunjung sembuh adanya. Ranjang tempat tidur miliknya nampak selalu bersih, rapi, tak pernah benar-benar dipakai selain untuk istirahat sejenak dari tatapan dunia. Andini lebih sering berjalan sendiri, pelan, menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang dingin dan berbau antiseptik. Kadang perempuan bertubuh kurus itu duduk di bangku dekat taman kecil di ujung lorong, menatap langit lewat kaca jendela. Kadang pula, entah kenapa, langkah membawanya ke depan ruang perawatan bayi yang tak jauh dari ruang rawatnya. Andini tidak tahu untuk apa. Tapi setiap kali berdiri di sana, jantungnya berdetak tak beraturan. Seakan ada harap yang tertinggal—meski dia tahu, harap itu telah lama direnggut kenyataan. Hingga suatu sore, saat matahari mulai merunduk dan lorong rumah sakit mulai lengang, Andini mendengar suara samar dari dalam ruang perawat. Pintu sedikit terbuka. Dia tidak sengaja mendekat, awalnya hanya ingin bertanya jam. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara seorang perawat perempuan yang tengah menelpon. "Berkat kasih Yang Maha Kuasa, dia masih hidup. Namun kondisinya cukup memprihatinkan. Bayi Anda alergi terhadap s**u formula, dan kami kesulitan mendapatkan suplai ASI yang cukup untuknya." Respon di seberang tampaknya tidak menjawab seperti yang diharapkan, karena suara perawat terdengar gemetar setelahnya. Sempat terdengar gerutuan perawat usai telpon ditutup. "Aku harus bagaimana lagi? Ayahnya sendiri tidak peduli pada bayi ini!" "Ssst, Sus! Jangan bicara sembarangan begitu," tegur salah satu rekannya. "Kita tidak pernah tau jika kita tidak mengalami luka yang sama. Yang penting, kita berusaha sampai bayi ini mendapat hidup yang layak." Andini termenung cukup lama di sana, berdiri tanpa bisa bertanya apa–apa. Bayi yang ditinggalkan? Oleh ayahnya sendiri? Dadanya berdenyut aneh. Andini mundur satu langkah, bersandar pada dinding. Tangannya refleks memegang perut yang masih terasa berat bekas operasi. Matanya mulai panas. Dia tak habis pikir. Bagaimana bisa? Seorang ayah membuang darah dagingnya sendiri? Bukankah setiap kehidupan, sekecil apa pun, adalah anugerah? Bukankah satu tarikan napas pertama bayi adalah bukti bahwa Tuhan masih memberi harapan? Sore itu, Andini kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Suara telepon yang tadi dia dengar terus menggema di kepalanya. Seolah bayi itu sedang menangis dalam diamnya. Andini mencoba mengalihkan pikiran, tapi tetap saja—wajah bayi yang belum dia lihat, yang belum pernah dia kenal, membayangi seperti bisikan kecil dari langit yang mendung. Malam itu, Andini terjaga lebih lama dari biasanya. Perasaannya tak tenang. Ada dorongan dalam hati yang begitu kuat, seperti ada tali tak kasat mata yang menyeretnya ke satu arah. Dia akhirnya memberanikan diri keluar dari kamarnya. Sepi. Lampu lorong rumah sakit menyala temaram. Suara detak sepatu perawat sesekali terdengar dari kejauhan. Andini mengikuti kata hatinya. Kakinya melangkah ke arah ruang perawatan bayi. Begitu sampai di depan ruangan itu, matanya langsung menangkap sosok kecil di dalam inkubator. Perawat di dalam sedang menidurkan seorang bayi mungil dengan selimut tipis, lalu keluar karena hendak mencatat sesuatu. Mereka berpapasan. Perawat sempat terkejut melihat Andini berdiri di sana. Banyak yang mulai mengenali keberadaan si Ibu muda yang kehilangan bayinya—yang seringkali bolak–balik ke ruang perawatan bayi hanya demi menyembuhkan luka. "Bu Andini, belum istirahat?" tanya perawat lembut. Andini menatap perempuan berseragam biru langit itu sejenak, lalu mengangguk pelan ke arah ruang bayi. "Boleh aku lihat sebentar, Sus?" Perawat ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk samar. "Sebentar saja ya, Bu," katanya sambil membuka pintu. Langkah Andini terasa berat saat masuk. Bayi laki-laki itu terlelap. Wajahnya teduh, bibirnya mungil. Tapi di matanya yang tertutup itu, Andini seolah melihat luka yang sama. Luka karena ditinggalkan. Air matanya menetes tanpa suara. "Aku bukan siapa-siapamu. Tapi malam ini, bolehkah aku mengasihani kita berdua?" Tangisnya pecah diam-diam. Tidak berselang, perawat yang memberi ijin kembali. Membawa botol kecil berisi ASI. "Dia alergi s**u formula," jelasnya pelan. "Kami sedang mencari donor ASI. Hanya saja, belum ada yang cocok. Lihat betapa kurus dan laparnya dia." Andini tertegun. Lalu tanpa berpikir panjang, dia berkata pelan tapi tegas, "Ambil punyaku. ASI-ku belum berhenti. Aku bisa bantu menyusuinya, Sus." Perawat menoleh padanya, kaget. Andini menyarankan untuk kesekian kali. "Mungkin ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan agar lukaku punya arti."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN