Pintu ruang operasi perlahan terbuka. Suara roda ranjang dorong bergesekan dengan lantai menggema di lorong yang mendadak sunyi. Beberapa petugas medis keluar lebih dulu, menunduk tanpa banyak bicara, memberi jalan bagi satu tubuh yang kini tertutup kain putih hingga d**a.
Hannan berdiri kaku di ujung lorong. Langkah para perawat seperti gerak lambat di matanya. Napasnya tak beraturan. Ada suara dalam dirinya yang berteriak agar berlari—agar menarik kembali waktu—agar menepis fakta semua ini tak nyata.
Namun ketika ranjang itu mendekat dan wajah istrinya perlahan terlihat dari balik selimut putih, hatinya hancur seketika.
Terpejam. Tenang. Terlalu tenang untuk seorang ibu yang baru saja melahirkan.
Wajah itu masih wajah yang sama yang beberapa jam lalu tersenyum, menggenggam tangan Hannan seraya berbisik, "Nanti kalau anak kita lahir, kamu yang adzanin, ya."
Kini, Kesha terbaring tanpa suara.
Hannan tak sanggup menahan tubuhnya yang limbung. Dia jatuh berlutut di samping ranjang, menggenggam tangan istrinya yang dingin. Tangisnya pecah tanpa suara. Hanya air mata yang jatuh, deras, seperti hujan yang tak tahu kapan harus berhenti.
Tidak lama seorang perawat mendorong sebuah kotak inkubator berisi bayi laki-laki yang baru saja lahir, bayi tersebut lahir dengan berat badan yang kurang hingga harus masuk ke dalam box hangat untuk menunjang hidupnya.
"Hannan, apa kamu tidak mau melihat dan mengadzani bayi kalian?" Sentuhan tangan Lena di pundak Hannan menyadarkan pria itu kalau ada satu lagi sosok yang perlu perhatiannya.
Sedang Hannan sendiri tidak menjawab. Laki–laki yang baru kehilangan dunianya itu hanya memejamkan mata, menggenggam tangan istrinya lebih erat, seolah jika cukup kuat menahan, maka jiwa itu akan kembali.
"Hannan," panggil Lena sekali lagi. "Paling tidak lihat dia sekali saja, Nak. Dia butuh ayahnya—"
Yang ditunggu akhirnya memberi respon, Hannan menggeleng pelan, air matanya masih menetes tanpa henti.
"Saya nggak bisa, Bu," Suaranya parau, nyaris tak terdengar. "Bawa bayi itu pergi. Tolong jauhkan dia dari saya. Saat ini saya hanya mau menemani istri saya di sini."
Lena menunduk, meremas tangannya sendiri. Di matanya, ada luka yang sama, tapi ia tahu: luka seorang anak kehilangan istri—belahan jiwanya—adalah luka yang tak bisa dijangkau oleh siapa pun.
Malam itu, suara azan tak terdengar dari bibir seorang ayah. Karena bagi Hannan, dunia sedang berduka, dan dia masih tenggelam dalam kehilangan yang belum siap dia relakan.
***
Di sudut lain rumah sakit, mentari pagi merambat pelan di balik tirai tipis ruang perawatan. Di atas ranjang, tubuh seorang ibu muda terbaring lemah. Wajahnya pucat, rambutnya sedikit basah oleh keringat yang belum sempat dibersihkan sepenuhnya. Nafasnya pelan, tapi stabil.
Andini baru saja terbangun dari tidur panjang pasca operasi. Kesadarannya belum sepenuhnya utuh, tapi satu pertanyaan langsung muncul dari bibirnya yang kering—bagai naluri alami seorang ibu.
"Anak saya mana?" Suaranya serak, nyaris tak terdengar. "Saya mau bertemu dengan anak saya."
Suster yang sedang mengganti cairan infus tersentak kecil. Matanya bertemu dengan mata dokter yang berdiri di sisi ranjang, dan dalam sekejap, ruangan itu diselimuti keheningan yang aneh. Terlalu tenang—untuk sesuatu yang seharusnya penuh suka cita.
Meski mendengar pertanyaan Andini, tim medis tak langsung menoleh. Hanya tangan mereka yang berhenti bekerja, namun tidak ada jawaban apapun yang mampu membuat Andini lega.
Andini mencoba mengangkat kepala, lalu bertanya lagi, kali ini dengan lebih mendesak, "Dokter, di mana bayi saya? Saat di ruang operasi tadi, saya tidak mendengar suara tangisannya. Dia baik–baik saja, 'kan?"
Suster yang sedang membereskan peralatan medis menunduk dalam, menahan napas yang habis di ujung tenggorokan.
Ruangan itu terasa sesak, meski tak ada yang benar-benar berbicara.
Dokter akhirnya menoleh dengan senyum tipis. Dia meraih tangan Andini perlahan, mengatur posisi bantalnya agar lebih nyaman. "Bu Andini, Anda hebat sekali!" ucapnya lembut. "Hari ini sudah berjuang melewati operasi yang cukup berat. Tapi sekarang, Ibu harus banyak–banyak istirahat. Tubuh perlu waktu untuk pulih."
"Tapi anak saya, Dok? Ijinkan saya melihat anak saya dulu, baru nanti saya bisa istirahat!" tawar Andini seraya menggenggam selimut dengan lemah.
Dokter tak merespon. Hanya menatap perempuan muda itu dengan mata yang seolah menyimpan sesuatu, namun memilih untuk tidak mengucapkannya.
"Fokus dulu untuk sembuh, Bu. Nanti kita bicarakan semuanya kalau sudah dirasa lebih kuat."
Andini terdiam. Ada sesuatu yang mencubit hatinya, perasaan tak enak yang belum bisa dia definisikan. Angin membawanya menoleh ke arah jendela, melihat cahaya pagi yang seharusnya menjadi harapan besar antara dirinya dan bayi tercinta.
Namun dadanya terasa hampa, lengannya terasa ringan. Ruangan ini, terlalu sunyi untuk menjadi ruang seorang ibu yang baru saja melahirkan.
Setelah ditinggal tim medis yang merawatnya sejak dilarikan ke rumah sakit, Andini terjaga sepenuhnya. Detik waktu yang berlalu diisi dengan rutinitas menatap langit–langit—mengusir hampa.
Adakah yang lebih berat daripada menunggu sesuatu—di mana tak pernah ada jawaban pasti dari kegelisahan yang menanti.
Di saat bersamaan, tubuh Andini memberi isyarat lain. Perih, bukan di bekas sayatan, melainkan dari dadanya.
Perlahan, Andini menyentuh bagian depan baju pasien yang membalut tubuhnya. Kainnya basah—hangat dan lembab. Dadanya terasa berat, tegang, dan nyeri seperti menahan sesuatu yang tak tertahankan.
Andini menunduk. Cairan bening s**u ibu merembes keluar dari tubuhnya sendiri, mengalir tanpa aba-aba, membasahi baju dengan perlahan tapi terus menerus, seperti luka yang diam-diam berdarah.
ASI.
Tubuhnya tahu.
Tubuhnya memanggil bayi itu—mengingatnya, menyiapkannya, seolah bayi itu hanya tinggal selangkah lagi untuk disusui.
Andini mulai gelisah. Nafasnya pendek. Matanya liar mencari perawat atau siapa pun yang bisa menjawab. Ditekannya tombol panggilan dengan terburu-buru.
"Suster … suster, tolong!" Suaranya pecah.
Seorang perawat masuk. Perempuan muda, tampak kelelahan tapi tetap berusaha tersenyum. Namun senyum itu langsung menghilang saat melihat wajah Andini dan noda basah di bajunya.
Andini menangis. "Lihat, lihat ini, Sus! Air susuku keluar. Tolong bawa aku ke anakku. Dia pasti kelaparan, aku bisa menyusuinya."
Perawat menelan ludah, lalu cepat-cepat menghampiri. Hal pertama yang dilakukan adalah mencoba menenangkan Andini, merapikan selimut, menyeka peluh di dahi pasiennya, namun tak bisa menjawab satu pun dari pertanyaan yang dilontarkan berulang kali.
Andini mencoba bangkit. Tubuhnya gemetar, tapi ia berusaha tetap duduk. "Dia butuh aku," katanya, mulai terisak. "Aku ibunya. Dia pasti menungguku. Kalian bilang aku harus sembuh dulu, tapi bagaimana aku bisa sembuh kalau anakku saja tidak kalian izinkan untuk aku peluk?"
Perawat itu buru-buru keluar, dan beberapa menit kemudian, dokter masuk. Kali ini, wajah dokter terlihat jauh lebih tegang. Dia menghampiri ranjang Andini, berusaha tersenyum, tapi senyum itu tipis dan tak sampai ke mata.
"Bu Andini, kami tahu Anda sangat ingin bertemu dengan bayi Anda—"
"Jangan bilang ‘nanti’. Jangan bilang aku harus istirahat dulu!" Andini memotong kalimat itu dengan nada putus asa. "Asiku sudah penuh, aku tahu anakku lapar. Aku tahu dia butuh aku. Bawa aku ke dia sekarang, atau—atau aku sendiri yang akan keluar dari ruangan ini!"
Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. Tubuhnya masih gemetar, tapi dorongan dan naluri seorang ibu lebih besar dari rasa sakit mana pun.
Dokter menatap pasiennya dalam diam. Di balik sorot matanya yang berkaca-kaca, tersimpan sesuatu yang nyaris tak bisa ditutupi lagi—penyesalan, dan kepedihan yang tak tertahan.
Saat itulah Andini benar-benar mulai takut. Bukan takut karena tidak boleh menyusui, tapi takut karena mungkin—tidak ada lagi yang bisa disusui.
Andini menatap tim medis satu per satu. d**a yang tadi sempat berharap, perlahan terasa dingin. Dia tahu. Kini dia tahu jawaban apa yang pas dari tiap pertanyaannya yang mengudara.
"Apa anakku tidak berhasil diselamatkan, Dokter? Apa hanya aku yang selamat?"