Chapter 6 : I'm caroline

1289 Kata
Menghela napas. Merupakan hal yang begitu sering dilakukan Luiz hari ini, setelah apa yang ia lewati beberapa hari terakhir bersama Caroline. Gadis itu berbahaya. Semalam, mereka bukan hanya berciuman. Akan tetapi, Caroline menuntutnya, ingin melakukan sesuatu yang Luiz anggap tabu. Sungguh, jika ia tidak mampu menahan diri, keegoisannya pasti akan bertindak, melawan Alexander. Tidak. Luiz tidak akan melakukan itu. Dering dari ponselnya mengusik. Luiz berbalik arah. Meraihnya segera. Rose, akhir-akhir ini wanita itu aktif. Jarak mereka semakin dekat. "Ya?" sambut Luiz singkat. "Luiz, hari ini kau sibuk?" tanya Rose. "Sore nanti, aku ke dermaga," jelas Luiz. Membicarakan tempat pekerjaan yang ia kelola. "Oh. Aku butuh bantuan mu." "Apa?" "Aku harus mengisi kuesioner, untuk keperluan pekerjaan. Jika kau punya waktu, aku ingin kau menjadi salah satu narasumber ku!" pinta Rose. Penuh harap. Luiz tidak langsung menjawab, melirik ke arah pintu. Seseorang memencet bel. "Aku kabari nanti," datar Luiz. "Okay. Sepertinya kau kedatangan tamu," jelas Rose. "Ya." "Kalau begitu aku tunggu jawaban mu satu jam lagi. Jika kau bisa, akan ku kirimkan alamatku sekarang, akan ku traktir coffee di luar," jelasnya detail. "Oke," datar. Luiz menutup panggilan. Menaruh ponsel ke tempat semula. Melangkah mendekati pintu untuk melihat sosok yang tampaknya tertarik untuk masuk ke dalam Penthouse. Mungkin keluarganya. Milla sempat menghubungi, akan datang beberapa hari ini. Namun sayang, saat ia membuka pintu. Jelas, bukan Milla atau keluarganya yang terlihat. Tapi, Caroline. Gadis itu tersenyum simpul, mengedipkan mata. Genit. "Aku bawa makanan. Kesukaan mu." Caroline mengangkat paper bag. Tersenyum lebar, seakan menawarkan produk. "Aku sudah...." "Tempat ini nyaman. Apalagi kalau berduaan," serobot Caroline. Melangkah masuk lewat celah kecil di sisi tubuh Luiz. "Caroline." "Ya? Kenapa? Kau senang aku datang?" tanya Caroline. Tetap melangkah masuk, layaknya pemilik. Menaruh makanan di meja dapur. "Aku harus pergi," tandas Luiz. Memberi alasan, agar bisa mengeluarkan Caroline dari Penthouse nya. "Ya. Pergilah. Aku akan tunggu di sini, kalau aku ngantuk aku akan tidur di kamarmu," jawab Caroline. Enteng. Melebarkan senyuman yang cantik. Pipinya berisi. Terlihat begitu bulat. Penuh. "Aku mungkin pulang nanti malam," lagi, Luiz mencari alasan. Memerhatikan reaksi Caroline. "It's okay. Aku pintar menghibur diriku sendiri," sanggah Caroline. Cerdas, namun, begitu mengusik bagi Luiz. Pria itu mengeluh. Mengangguk tanpa suara. "Terserah kau!" ujar Luiz sarkas. Memalingkan pandangan ke arah lain. Baiklah. Ia akan menerima tawaran Rose. Mungkin akan lebih baik. "Aku harap kau tidak di sini jika aku pulang nanti," sambung Luiz. Caroline diam. Mengabaikan pria itu. Mengambil sendok memakan makanan yang ia bawa. "Kau tidak mau coba? Ini enak." "Tidak," dengus Luiz. Mengambil helm fullface miliknya, beserta kunci. Lantas, pergi keluar meninggalkan Caroline. "Dasar anak Milla. Galak," lagi, Caroline mengatai Luiz. Sedikit kecewa, karena ia ditinggal di penthouse sendiri. Tapi, tidak masalah. Bukan Caroline orangnya, jika ia putus asa. No. Caroline tidak pernah menyerah. *** Greenwall cafe, Naples, Florida. Luiz mengedarkan mata. Memerhatikan ruang cafe yang tidak terlalu besar. Hanya terdiri dua belas meja, termasuk sofa berwarna hijau yang membentuk setengah lingkaran, pada sudut ruangan. Tempat itu tidak terlalu ramai. Hanya beberapa kursi yang terisi. Gotcha! Luiz menemukan Rose. Mendekati wanita itu dengan langkah cepat. "Hay. Aku kira kau tidak akan setuju untuk membantuku," ucap Rose. Melebarkan senyuman. Mata kecilnya terlihat hilang, di wajah tirusnya. Manis. Luiz hanya tersenyum. Mengambil tempat tepat di depan Rose. Wanita itu menarik napas. Canggung. Demi apapun, ia mulai tertarik. Luiz cukup mengusik emosionalnya. Pahatan wajahnya begitu tampan, jika ia tersenyum, gigi-gigi putihnya tersusun rapi. Tampan. Memesona. "So, mana kuesioner nya?" tanya Luiz dingin. "Kau harus pesan minum dulu. Apa yang kau suka?" "Terserah." Rose mengangkat alis. Terkekeh pelan. Menutup mulutnya anggun. Ia begitu lembut. Jauh berbeda dari Caroline. Wanita itu lebih menyenangkan. "Tidak ada minuman terserah di sini," ujar Rose. "Moccacino." "Okay. Wait. Akan ku pesankan!" Rose memanggil pelayan. Memesan minuman dan camilan. "Kau tadi dari Penthouse?" tanya Rose. Berusaha mengobrol. "Ya," angguk Luiz. "Oh. Ini kuesioner nya. Perusahaan ini mengembangkan minat pria terhadap wanita, atas apa yang mereka lihat. Jadi, tolong bantu aku, ya!" "Hm.." Luiz meraih lembaran kertas dari tangan Rose. Membacanya sejenak. Salah satu alisnya mengernyit, tinggi. Raut wajah pria itu berubah. Tampak rumit. "Kenapa?" tanya Rose. Membuat Luiz menunjuk sebuah kalimat. "Aku tidak punya tipe wanita." "Oh. Ya? Jadi wanita apa yang kau sukai?" pancing Rose. "Tidak ada," sela Luiz pelan. "Kau bisa gambarkan apapun. Terserah. Lagipula, namamu akan dirahasiakan." Rose menjelaskan. Membuat Luiz akhirnya mengangguk. Meraih ballpoint yang sejak tadi tergeletak di meja. Pria itu fokus. Mengisi tiap kolom. Sesukanya. Hingga jemarinya terhenti, pada pertanyaan yang sempat ia katakan sebelumnya pada Rose. Entah kenapa, Luiz mengisinya dengan ciri khas yang dimiliki Caroline. Detail. Blonde. Memiliki mata hazel blue, sedikit berisi, memiliki pipi dan mata yang bulat, senyuman yang ramah, manja, tapi mandiri. Menyusahkan. "Wah. Kau akhirnya bisa mengisi bagian itu," tegur Rose. "Aku teringat seseorang," jawab Luiz. "Siapa? Kau bilang kau tidak punya pacar." "Adikku!" "Adikmu? Setahuku rambutnya Hitam. Matanya hijau, dan pipinya tirus." "Yang satunya." "Oh. Aku baru tahun kau punya dua adik." "Hmm.." Luiz mengakhiri perdebatan. Mengulum bibirnya singkat. Ia menghela napas, panjang. "Sepertinya ada kesalahan. Kau bisa berikan aku lembar yang baru? Akan ku isi di Penthouse!" "Ya. Punya. Maaf, jika aku merepotkan mu," tutur Rose. Memberikan lembar yang baru. Bersih. "Aku harus pulang. Semua ini akan ku bayar." "Tidak. Aku sudah...." "No problem," Luiz tersenyum. Tampan. Sial, jantung Rose serasa ingin meledak. Sulit melihat hal itu di wajah Luiz. Sungguh. "Aku berhutang padamu. Lain kali, biarkan aku yang bayar." "Ya," kata Luiz sepadat mungkin. Ringkas. Beranjak bangun dari tempat nya. Lekas meninggalkan Rose. Wanita itu menelan ludah. Menatap kepergian Luiz. Semakin jauh dan hilang. "Dia sangat tampan," puji Rose. Mendadak, merasakan pipinya begitu panas. Ia mengulum senyuman. Mengusap pipi tirusnya lembut. *** Di ranjang Luiz. Caroline merebahkan tubuh. Bersandar pada bantal empuk berwarna brown. Nyaman. Udara didalam sejuk. Caroline sengaja, mengatur suhu ruangan lebih rendah. Beberapa jam berlalu, ia mulai bosan, mengantuk. Hingga mendengar suara pintu bergeser. Ia bangun, mengangkat sedikit kepalanya dan terlihat membenahi wajah. "Harus cantik. Harus cantik!" batinnya bermonolog. Tersenyum lebar. Hingga sosok yang berada di luar ruangan masuk. Deg! Mendadak. Senyuman di wajah Caroline memudar. Ia menelan ludah. Lekas berdiri dari tempatnya. "Owch. Calon menantu sudah main di kamar yah," tegur Milla. Memicingkan matanya tajam. Melipat kedua tangan di d**a. Billy melirik, menghela napasnya kasar. "Hmm. Aku... Aku menunggu Luiz, mom. Dia pergi," jelas Caroline. "Lalu, kenapa kau di sini?" tanya Milla. Melempar pertanyaan. Caroline menelan ludah, menurunkan rok yang sedikit tersingkap. Ia berdiri tegap, mengedarkan matanya tepat. "Aku pulang kalau begitu." "No! Mommy senang kalau kau di sini. Santailah!" "Milla," dengus Billy. Menyindir. "Tenang honey. Alexander tidak akan tahu," bisik Milla pelan. Menaruh kepalanya di bahu pria itu. Caroline menaikkan alis. Penasaran. Ingin mengetahui obrolan mereka. "Mom. Dad. Kalian sudah lama..." suara Luiz bungkam. Melirik ke dalam kamar. Sial. Gadis itu memang pantang mundur. Ia masih di Penthouse nya. Milla tersenyum. Mencubit sisi pinggul Luiz. "Mommy mau cucu," sindir Milla. Mengedipkan salah satu mata. Tersenyum senang. "Minta saja pada Megan!" balas Luiz. Memutar arah tubuhnya. Menjauh. "Ayo. Kita makan sama-sama, sayang!" ajak Milla. Mengayunkan tangan. Memang begitu menyayangi Caroline sejak kecil. Tidak hanya itu, Milla berharap penuh. Jika Luiz akan lebih memilih gadis itu untuk menjadi pendampingnya. "Ya. Mom..." Caroline mengulum bibir. Bergerak mendekati Milla, wanita itu menyambutnya. Mengusap punggung Caroline lembut. Melangkah bersama menuju dapur. Sekilas, Caroline melirik, menghadap Luiz. Ia melempar senyuman, tipis. Tampak menggoda. Namun, reaksi Luiz sangat dingin. Pria itu berpaling. Mengambil tempat lebih jauh. Menikmati santapannya nikmat. Tanpa memperdulikan keadaan sekitar. "Tunggu saja. Nanti kau pasti jatuh juga. Tidak ada yang bisa mengalahkan pesonaku. Aku Caroline. Caroline bannet Morgan," janjinya dalam hati. Melepas pandangan dari Luiz, melirik Milla. Ia mendapatkan suara. Wanita itu sudah lama mendukungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN