Berhari-hari Caroline masih berpikir, memindahkan semua akun bank nya secara privasi. Salahnya, membohongi Alexander hanya untuk membeli gaun mewah seharga delapan juta dollar. Sungguh, Caroline tidak tahu bahwa janji yang ia ucapkan mungkin akan berakibat fatal. Menurutnya, menjadi anak dari pria kaya dan berpengaruh mampu menafkahi semua nafsu nya terhadap kehidupan mewah, rupanya tidak. Alexander mulai perhitungan, sejak mereka tumbuh dewasa. Ia ingin mengajarkan kedua anak-anaknya Mandiri.
"Aku harus bisa mengatasi daddy. Jika tidak, aku harus rela berpisah dari American Express card," gumam Caroline, memerhatikan Elizabeth membenahi walk in closet.
"Tidak akan ku biarkan si pelit itu meremehkan ku, tidak akan."
"Nona Caroline?" tegur Elizabeth. Menatap dengan dahi mengerut.
"What?"
"Dengan siapa kau bicara?" Elizabeth menelan ludah, melirik keadaan sekitar dengan mata awas.
"Anak kecil tidak boleh terlalu banyak tahu," decak Caroline sambil memusingkan tubuh menuju meja rias. Elizabeth diam, mendadak dingin dalam satu waktu. Tiap bulu halusnya meremang.
"Siapkan pakaian untukku. Aku ingin mencari udara segar," tuntut Caroline tanpa membeberkan rencana. Meskipun Elizabeth bisa dipercaya, ia tidak ingin melibatkan wanita itu untuk menentang Alexander.
***
Luiz menenggak minuman mineral, jakun nya naik turun, menenggelamkan seluruh dahaga yang terasa lekat. Setelah merasa cukup, botol itu ia letakkan di sisi nakas, meraih selembar handuk berwarna putih untuk mengelap tubuh, mengilap, penuh keringat. Handuk yang beruntung.
Luiz berpaling, menatap ponsel barunya. Benda itu berdering. Dengan cepat, lengan kekarnya menyambut. Menatap nama Caroline di layar. Ia mengeluh, meletakkan ponselnya kembali di tempat semula. Bersamaan dengan hal tersebut, bel Penthouse berbunyi lantang. Luiz berdecak pelan, aktifitasnya terusik. Namun, ia tetap melangkah, lekas bergerak mendekati pintu.
"Morning....." lembur, sambut suara wanita yang berdiri di depan pintu, mendadak bungkam. Menelan ludah. Menatap d**a bidang yang di pertontonkan Luiz. Shirtless.
"Kau ingin berdiri seharian di sana?" tanya Luiz membuat Rose salah tingkah.
"Sorry. Aku tidak menyangka, kalau kau akan membukakan pintu untuk ku dengan tubuh seperti itu," jawab Rose, membuat Luiz tersenyum tipis.
"Aku ke sini untuk mengembalikan jacket milikmu," ungkap Rose, menyodorkan paper bag pada pria itu.
"Hmm..." jawab Luiz singkat. Meraih paper bag dari tangan Rose dan tanpa sengaja kedua tangan mereka bersentuhan.
"I'm sorry..." ucap Luiz sedikit panik.
"I know. It's okay...."jawab Rose tanpa pikir panjang.
"Kau mau masuk?"tawar Luiz, tanpa mengalihkan pandangan.
"Kau tidak kerja?"
"Libur...."
Rose mengangguk senang, sesekali melirik Luiz. Sungguh, pria di depannya saat ini nyata. Tampan, tinggi, memiliki sorot mata sayu, namun menggoda, rambutnya hitam, pekat, di tata rapi. Sosok Luiz berbeda dari pria yang biasa di temui Rose. Ia sopan, terlihat baik, meskipun dingin.
***
Bank of Florida, Naples.
Caroline melepas Louis Vuitton Sunglasses yang menutupi mata biru hazel cantiknya, beredar di antara orang-orang asing yang menatapnya heran. Semua orang tampak berpikir, bahwa keluarga Morgan merupakan prioritas. Namun, kali ini Caroline terpaksa patuh pada antrian. Ini bagian rencana. Muncul di tengah publik dengan mandiri, mungkin akan membuat Alexander kagum.
"Kosong?" sapa Caroline pada seorang gadis.
"Ya," angguk gadis itu, melirik familiar hingga Caroline duduk di samping nya. Aroma parfum gadis itu menyengat, menyegarkan seluruh ruangan.
"Kau antrian ke berapa?" tanya Caroline, membuat gadis di sebelahnya menoleh cepat.
"Tiga puluh dua," jawab gadis itu singkat, melempar senyum was-was seperti menutupi sesuatu.
"Aku ternyata lebih lama darimu," jawab Caroline.
"Kau adik Maxent Morgan, 'kan?" tanya gadis itu, membuat Caroline menyelipkan rambut nya dibalik telinga.
"Yes. I'm Morgan princess," bangga Caroline.
"Aku tidak menyangka seorang Morgan lebih memilih untuk duduk mengantri di sini, kalian mungkin bisa mendatangkan seluruh staff di sini," sindir Laura. Meneliti wajah Caroline yang cantik. Kulit gadis itu begitu bagus, berbeda darinya.
"Aku ingin membuktikan sesuatu hal pada daddy, agar dia berhenti memaksaku menikah dengan pria tidak jelas pilihannya," jelas Caroline. Laura mengangguk-angguk, tidak berniat mencerca gadis itu dengan pertanyaan berikutnya.
"Siapa namamu?" tanya Caroline. Mengulurkan tangan.
"Laura... Laura Channing O'keefe," jawab gadis itu singkat, menyambut tangan Caroline yang terasa lembut.
"Nice. So, Aku tidak perlu mengenalkan diri. Kau sudah tahu siapa aku." Caroline tersenyum, tampak percaya diri.
"Kau ternyata tidak seperti yang dikatakan orang," celetuk Orang.
"Memang apa yang di katakan orang tentangku?" tanya Caroline ingin tahu.
"Angkuh."
"Aku memang angkuh," tutur Caroline, memandang sengit lalu tersenyum bersama gadis yang baru saja ia kenal. Tanpa ia sadari, Laura adalah satu-satunya gadis yang menjadi incaran pertama Maxent, brother nya.
"Caroline Get down!" Laura berteriak, menarik lengan gadis itu hingga mereka jatuh ke bawah kursi. Keduanya menutup telinga, tetap menyatukan cengkeraman sambil mendengar suara tembakan yang menguasai ruangan. Orang-orang berteriak, berlari mencari tempat untuk berlindung, bahkan tewas akibat peluru panas yang tanpa sengaja mengenai mereka.
"Laura," tahan Caroline saat gadis itu bergerak. Guna meraih sesuatu di dalam tas nya.
"Kita tidak bisa bertahan. Aku akan menembak dan kau hubungi bantuan. Bagaimanapun caranya,"pinta Laura, membuat Caroline mengangguk setuju. Laura menelan ludah, melirik pada kaca cembung yang ada di sudut ruangan untuk meneliti perampok.
Dalam beberapa detik, Laura mulai menghitung mundur. Menatap tiap penjuru tempat untuk memastikan keadaan hingga ia siap menyerang.
"Kumpulkan semua ponsel kalian!" teriak salah satu perampok. Mengarahkan senjata laras panjang, sambil menyisir ruangan. Sementara dua orang perampok lainnya, mengumpulkan semua orang di tengah. Mengancam mereka untuk tetap menurut.
"Jangan takut. Aku melindungi mu," ucap Laura. Memerhatikan Caroline pucat. Hampir berhasil meraih ponsel yang sempat terjatuh. Gadis itu mengangguk, namun percaya pada Laura yang memegang sebuah handgun.
Caroline bergerak sebisanya, menggapai ponsel begitu hati-hati. Hingga Laura melihat seorang perampok mendekat lewat pantulan cermin. Mata gadis itu membulat, dan terpaksa menaikkan tubuhnya untuk melepaskan tembakan.
Dor!!
Kena. Satu pelurunya melubangi kepala perampok. Kesempatan itu, tidak di sia-siakan Caroline. Ia berhasil menggapai ponsel. Namun, Laura mencoba menembak asal, membuat sisa perampok yang ada di dalam ruangan bersembunyi di balik tembok dan mencoba membalas tembakan Laura, hingga gadis itu kembali merunduk.
"Cepat!" ucap Laura. Meneliti Caroline menekan ponsel. Menghubungi siapapun yang pasti bisa membantunya.
"Maxent dan Luiz tidak jauh. Mereka akan segera sampai."
"Jangan Max...."
Dor!!!
Dor!!!
Laura tidak sempat protes, menerima tembakan beruntun dari beberapa penjuru. Caroline tertindih, Laura sengaja melindunginya. Takut jika gadis itu bisa saja terluka. Ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika itu terjadi. Beberapa menit, tembakan berhenti membuat Laura mengharapkan peluang. Ia menarik handgun lainnya dari balik pakaian, dan beranjak bangkit untuk menembak.
"Lauraaa!!!" Caroline berteriak, saat gadis itu berlari menjauh. Mencoba membawa perampok untuk mengikutinya. Perampok membalas tembakan, hingga terjadi baku tembak yang menegangkan. Laura berhasil melumpuhkan dua perampok, dengan menyembunyikan tubuh kecilnya di sisi frontliner. Caroline beringsut, mencoba mengamankan diri dari tengah pertempuran, sampai telinganya menangkap suara sirine polisi.
"Adam... Let's go!" teriak salah satu perampok, memeringati partner nya untuk kabur. Laura mengedarkan mata, mencoba mencari sumber suara yang terdengar tidak cukup jauh.
"Laura awas belakang mu!" teriak Caroline, membuat gadis itu berputar dan langsung melepaskan tembakan.
Dor!
Caroline bangkit, menarik senjata laras panjang yang tergeletak di sisi perampok dan mensejajarkan nya, lantas menembak tanpa ragu ke arah perampok yang mencoba kabur. Polisi mendobrak masuk, tercengang bersamaan dengan kekacauan yang terjadi.
"Caroline.. Are you okay?" tanya Laura. Merampas senjata dari tangan gadis itu dan melemparnya ke lantai.
"Laura," panggil seorang pria terdengar hangat, membuat gadis itu menoleh.
"Maxent adikmu."
"I'm okay,"sanggah Caroline. Menatap anggota kepolisian memeriksa jasad perampok.
"Carol..."
"Luiz..." Caroline beralih pandang, bergerak beberapa langkah dari tempat nya dan memeluk Luiz. Ia bergetar takut, mendadak butuh ketenangan yang ia harapkan dari pria itu.
"I'm here. Tenanglah..." Luiz berbisik, membalas pelukan gadis itu. Tanpa sadar mengecup puncak kepalanya. Maxent menghela napas, menarik tangan Laura untuk keluar dari ruangan. Membiarkan polisi memeriksa saksi lain.
"Maxent tidak memberitahu daddy 'kan?" tanya Caroline, melepas pelukannya dari pria itu. Menatapnya pucat.
"No,"Luiz menjawab singkat, lalu menarik Caroline kembali ke dalam pelukannya. Ia merasa khawatir, takut jika sesuatu bisa saja terjadi pada gadis itu. Luiz merasa tidak siap.
***
Blue beach private restaurant | 3 jam Kemudian.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Maxent, menatap Caroline lekat.
"Aku hanya takut pada daddy, jika dia tahu aku berada di dalam bank itu saat...."
"Daddy tahu," sanggah Maxent.
"Apa? Kau memberitahu si tua itu?"
"Jika aku tidak memberitahu nya, kau dan Laura akan berada di penjara saat ini, dan satu hal lagi, dia daddy mu, bukan si tua," ujar Maxent, protes.
"Kenapa aku dan Laura?" tanya Caroline.
"Polisi pasti membutuhkan kesaksian. Aku yakin kau tidak akan siap untuk itu," ujar Luiz mengambil alih pembicaraan. Caroline diam, karena Luiz yang menjelaskan. Ia mengeluh kasar, melirik ke arah Laura yang tampak santai menikmati makanan.
"Thanks Laura," ucap Caroline. Membuat gadis itu berhenti makan. Laura menelan makanannya, lalu tersenyum lebar.
"Yah.. Itu sudah uhukkk!!!"
"Minum!" Maxent bereaksi cepat, memberikan segelas minuman pada gadis itu saat Laura batuk. Caroline terkekeh, memerhatikan kedekatan keduanya.
"Kalian saling kenal?" tanya Caroline.
"Hmm.." jawab Maxent singkat. Laura diam, mengulum bibirnya ragu.
"Aku membantumu bukan karena kau adik Maxent. Tapi..."
"Aku tidak berpikir begitu, tenanglah... Aku bisa membedakan mana yang tulus, mana yang tidak," sindir Caroline. Diam-diam melirik pada Luiz. Pria itu terlalu irit bicara saat berada di sisi Caroline. Mulutnya seakan terkunci rapat.
"Kalau begitu. Aku sebaiknya pulang... Kalian..."
"No! Kau tidak boleh pulang. Aku dengar Maxent membeli mansion di pinggir laut. Bagaimana jika dia meminjamkan tempat itu untuk kita berpesta?" tanya Caroline, menaikkan salah satu alisnya.
"Maaf. Sepertinya aku tidak bisa," tolak Laura.
"Kau tidak keberatan 'kan, Maxent?" tanya Caroline, mengabaikan Laura.
"Tentu tidak. Itu ide bagus. Kalian baru saja melewati waktu yang buruk. Mungkin dengan sedikit nakal malam ini, akan membuat kita melupakannya," jelas Maxent.
"Aku harus pulang," ujar Luiz.
"Tidak ada yang boleh menolak keinginan ku. Semua orang harus ikut, aku akan menghubungi Megan," tegas Caroline, menahan Luiz.
"Caroline benar. Sesekali kita bisa bersenang-senang bersama," ucap Maxent diam-diam meremas paha Laura. Gadis itu mendongak, menahan napas nya dalam dan melirik pada garpu yang ada di atas meja. Tuhan, jika bisa ia ingin menancapkan benda itu di tangan Maxent.
"Yes. Maxent benar. Jadi kau ikut 'kan?" tanya Caroline, menoleh pada Luiz. Pria itu diam sejenak, menatap seberkas wajah yang tampak kembali ceria. Luiz mengangguk, mencoba tidak mengecewakan Caroline.
"Thank you," Caroline merapatkan diri, memeluk Luiz manja seperti masa kanak-kanaknya. Tertawa ringan untuk sesaat, meskipun sikap dingin pria itu terasa begitu menyulut. Entah sampai kapan, Caroline bisa mendapatkan jawaban atas sikap Luiz yang mendadak berubah terhadapnya. Itu membuatnya sangat tersiksa.
"Baiklah. Kau dan Maxent yang siapkan pestanya. Aku akan mengajak Laura ke salon."
"Carol itu tidak perlu.."tutur Laura.
"Ingat! Peraturan pertama. Tidak ada yang bisa menolak keinginan ku," ucapan Caroline terdengar begitu menuntut. Hingga Laura mengeluh, terpaksa menuruti semua keinginan gadis itu. Ternyata keluarga Morgan memiliki sikap yang sama, melekat dan turun dari lahir. Pemaksa.