Kantor Kelurahan ramai sejak pagi tadi, tenda-tenda kecil sudah terpasang rapi memenuhi seluruh sudut halaman yang mendadak terlihat penuh. Kemarin barang-barang dari Puskesmas dan Dinas Kesehatan setempat sudah diantarkan kemari. Lalu petugas pasang tenda datang saat malam hari untuk membangun tenda-tenda kecil yang akan di sekat menggunakan kain sebagai bilik pemeriksaan.
Balai kelurahan sendiri sudah di penuhi kursi hijau plastik yang ditata berderet rapi. Di bagian depan meja kayu besar lengkap dengan sound system, microphone, layar proyektor, proyektor LCD serta laptop yang sudah siap—dan sedang di setel untuk acara. Padahal setengah jam yang lalu, banner acara saja belum dipasang—karena terlambat diambil dari percetakan. Untung saja, tukang percetakan sudah hafal dengan kami, jadi mereka tidak protes saat kami datang pagi buta. Hal ini ulah siapa lagi, kalau bukan Rama yang lupa!
Pukul sejak pukul 6 pagi, aku sudah berlarian kesana-kemari dengan pakaian batik lengkap dengan topi putih. Sengaja kupakai celana kulot warna hitam dengan bahan kain jatuh, serta sepatu kets yang berwarna senada dengan batik coklat motif parang yang kupakai hari ini agar mempermudah pergerakanku. Sebagai ketua panitia kegiatan ini aku merasa harus lebih ekstra dalam melakukan pekerjaan, aku harus memastikan persiapan berjalan baik, acara berjalan dengan lancar.
Kini aku sedang berada disalah satu bilik untuk pemeriksaan Ibu Hamil. Meskipun tidak banyak pemeriksaan yang kami sediakan hari ini, setidaknya ada bilik pemeriksaan Ibu dan Anak, pemeriksaan gula dan tensi sebagai pemeriksaan umum, serta satu tenda lagi yang difungsikan sebagai tenda donor darah dari Dinas PMI.
Untuk acara utama nanti, akan ada penyuluhan anak, serta waspada DBD yang akan dibawakan oleh dokter terkait dari pihak Dinas Kesehatan Daerah. Jam tanganku menunjukkan pukul 07.35 WIB saat kulihat Dokter Syahrul masuk ke halaman. Wajahnya berseri-seri seperti biasanya, lengkap dengan rambut berpomade yang disisir rapi ke belakang. Hari ini beliau tidak kebagian tugas pemeriksaan, jadi dia nanti akan menjadi salah satu dokter yang duduk dijajaran depan bersama para undangan.
“Assalamualaikum, selamat pagi, Bu Sabrina. Bagaimana persiapannya, apakah lancar?” tanyanya dengan ramah.
“Waalaikumsalam, pagi Dok. Alhamdulillah, tinggal tunggu peserta dan tamu undangan saja. Hari ini rapi bener, Dok? Saya pangling pas lihat dokter masuk tadi," ucapku kuselingi dengan senyuman menggoda.
Dokter Syahrul tersipu-sipu malu, kulihat senyumnya bertambah lebar karena pujianku yang tidak seberapa tadi. “Alah, Bu Sabrina bisa saja. Saya biasanya juga begini,” balas dokter itu sambil mengibaskan tangannya.
Belum puas menggoda, segera kutambahkan, “Masa sih, Dok? Saya biasanya ketemu Dokter rambutnya awut-awutan kok. Pakai kemejanya juga warna gelap-gelap. Lah ini pakai warna terang. Jadi beda gitu Dok, kesannya lebih fresh...”
Bisa kulihat Reni dan Sasa—penjaga di bilik ini menahan tawanya setelah mendengar ucapanku. Mungkin merasa geli karena sepagi ini aku sudah menggombali orang tidak berdosa. Sedangkan Dokter Syahrul tipikal orang yang polos, hanya tersenyum malu-malu saja. Ia sama sekali tidak menyadari keramah-tamahan ku ini hanyalah ajang untuk melepas penatku beberapa hari ini.
“Ah, Bu Sabrina bisa saja. Jadi menurut, Bu Sabrina, saya lebih pantas memakai kemeja warna terang saja, ya?” tanya Dokter Syahrul saat mendarat kedaratan setelah kulambungkan tinggi tadi.
Aku mengangguk-angguk cepat, “tentu saja! Lebih fresh, bisa menambah tingkat kegantengan loh Dok. Walaupun aslinya Dokter sudah ganteng sih,” ungkapku yang langsung disusul gelak tawa Reni dan Sasa yang tidak bisa mereka tahan lagi.
Saat hendak melancarkan aksi lagi, Rama malah memanggilku dengan suara yang tidak santai. Ia bahkan terlihat berjalan kesal kearahku. Senyumanku mendadak surut.
“Eh sebentar ya Dokter, saya kesana dulu. Ada kerbau yang mau ngamuk," celetukku memalingkan pandangan dari arah Rama ke Dokter Syahrul yang tampak salah tingkah.
“Oh iya, Bu Sabrina, silahkan," ucap Dokter Syahrul tersenyum.
Aku balas senyum sebelum meninggalkan tempat itu. Langkah kakiku berhenti dihadapan Rama yang tampak gusar. Alisku mengerut, perasaan mendadak tidak enak. Mencoba menerka drama apa lagi yang terjadi.
“Kenapa sih dari tadi ku telepon nggak diangkat, mana dipanggil nggak nyahut pula!” omel Rama dengan nada yang sudah dipastikan tidak santai.
Aku mencoba mengatur pernafasan, “Sabar. Pelan-pelan dong. Ada apa?” tanyaku dengan nada yang rendah dan santai. Kalau lawan bicara sedang tidak santai, dibalas dengan perlakuan yang sama, maka sudah dipastikan tidak akan terjadi komunikasi yang menguntungkan bukan?
“Aku baru dapat telepon dari Pak Yulian, ketua Dinkes. Katanya hari ini Pak Basuki yang menjadi pembicara materi penyuluhan kesehatan Anak mendadak tidak bisa datang. Istrinya meninggal dunia. Jadi kita harus cari alternatif dokternya—“
“APA?!!!”
Belum selesai Rama bercerita segera aku memekik syok. Innalillahiwainnailaihi rojiun.
Astaga... Ini adalah drama diatas drama! Ini pernah kuduga sebelumnya—saat membuat acara semacam ini. Mungkin waktu kuliah aku juga pernah mengalaminya saat pemateri mendadak berhalangan hadir. Tapi tidak ada yang separah dan senekat ini. Bagaimana bisa mendadak sekali—saat acara akan dilakukan kurang dari 2 jam lagi?!! Aku masih bisa berpikir jernih saat itu—kuliah—karena pemateri sudah memastikannya 2 hari sebelumnya. Ya, walaupun agak chaos karena harus mengganti disaat sesingkat itu, tapi acara berjalan lancar setelahnya. Tapi sekarang? Kenapa harus 2 jam sebelum acara?! Mimpi apa aku semalam!!
Aku menggigiti kuku jari, otakku berpikir keras. Tapi sehebat apapun aku memeras isi otak, aku tau tak akan bisa langsung menemukan ahli untuk penyuluhan pagi ini. Sekarang aku memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Pak Lurah kecewa—jelas, lalu aku masuk evaluasi. Tapi mana mungkin juga, dokter Basuki—pemateri, mengatakannya padaku, ‘mbak istri saya akan meninggal hari ini jam 2 pagi’. Namanya musibah tidak ada yang tau kan?! Belum lagi ini termasuk hal gaib yang tidak akan diketahui siapapun, umur, kematian, jodoh. Sudah terpatri di lauhul mahfudz. Telak. Tidak bisa diganggu gugat!
Kemudian kemungkinan lainnya—para hadirin mungkin tidak akan sadar kalaupun tidak ada materi tersebut, tapi tetap saja banner yang terpasang menginfokan dengan jelas akan adanya acara penyuluhan kesehatan anak ini. Matilah aku!
Rama yang tampak cemas sepertinya menduga tingkahku yang linglung, ia mengambil tanganku. Menyuruhku agar berhenti menggigiti kuku jari. “Ya ampun, gimana dong Ram? Aku nggak tau harus gimana ini...” ucapku mendesah, kalut.
Rama mencoba menenangkanku. “Udah, kamu jangan bingung dulu. Tadi Pak Basuki juga sudah mencoba menghubungi koleganya. Pak Yulian juga usaha mencarikan pengganti. Gimanapun, yang punya rekan seprofesi juga mereka. Jadi kamu tenang aja.”
“Yaampun Ram...” Nasi sudah menjadi bubur. Awalnya rasa cemas yang sudah kuredam beberapa saat lalu mengumpul ke permukaan. Tanganku agak bergetar, kepalaku terasa sedikit pening. Sebenarnya ini sudah terasa sejak tadi malam, tapi aku berusaha untuk mengabaikannya.
“Kok kamu tremor gini sih?! Tenang Sab...” Rama memegangi kedua tanganku—lebih tepatnya menggenggamnya. Ia mencoba mendapatkan fokusku—tapi sayang sekali sepertinya perhatianku masih belum bisa terfokus.
“Sabrina Faza! Tenangkan dirimu!”
Panggilan Rama seperti menyentakku kembali ke permukaan. Tanganku masih bergetar, tapi aku bisa melihat dengan jelas sekeliling, terlebih wajah cemas Rama.
“Kamu kenapa sih? Jangan bilang tadi kamu juga belum sarapan ya?!”
Omelan Rama adalah hal terakhir yang ingin kudengar pagi ini, aku berjalan menjauhinya. Berada disana hanya akan menyulut emosi kami. Aku tau kami sudah sama-sama lelah, dan kalut. Emosi tidak akan memperbaiki keadaan.
Rama mengikutiku, menghadangku. “Sabrina!”
“Aku pusing. Mau telpon Pak Yulian dulu. Kamu minggir, jangan ngomel, bikin kepalaku tambah sakit tau nggak!” Aku menepis tubuhnya, berjalan melenggang menuju depan gedung kami.
Rama mendesah berat, tapi aku tidak mendengar langkah kakinya mendekatiku. Kutebak dia memilih untuk mendiamkanku lebih dulu. Dia memang tau langkah apa yang harus diambil saat menghadapiku.
Tidak butuh waktu lama, panggilanku dijawab oleh Pak Yulian. Aku menanyakan bagaimana kelanjutan pematerinya. Aku juga mengatakan kepada beliau, skenario terburuk apabila penyuluhan ini tidak akan dilakukan. Aku juga bersiap untuk memberitahu Pak Angga bagaimana hasil keputusannya. Saat sudah muncul pada segala kemungkinan, Pak Yulian berkata jika ternyata ada kolega Pak Basuki yang bersedia menggantikannya. Aku segera mengonfirmasi siapa orangnya kepada Pak Yulian—sekaligus meminta nomor kontak agar segera menghubunginya. Pak Yulian berkata padaku agar tenang, karena beliau—pengganti—katanya sudah berada dalam perjalanan menuju kantor kami. Dan pikiranku mendadak kosong saat mendengarkan nama yang disebutkan oleh Pak Yulian.
“... Namanya Dokter Kafa Wardhana, Mbak.”
Setelah mengembalikan kesadaranku, aku segera mengatakan terimakasih pada Pak Yulian. Beliau juga akan segera kemari—guna memberikan sambutan. Aku menghela nafasku panjang. Kenapa sepertinya akhir-akhir ini, aku jadi sering terlibat dengan dia ya.
***
Setelah menghubungi Pak Yulian, aku hendak memberitahu yang lainnya—tentang perubahan kecil berskala besar ini. Belum sampai melangkah pergi dari halaman, aku melihat sebuah mobil SUV mewah masuk ke parkiran kantor. Aku menyernyit, siapa pula orang yang membawa mobil elit semacam BMW X6 ke kantor kami. Kemudian rasa penasaranku terjawab saat manusia pengendara mobil itu turun, lengkap dengan jas abu-abu serta kemeja hitam tampak menawan. Seperti aliran segar yang menyejukkan mata, penampilannya yang wahid bak model-model catwalk yang biasa kulihat di majalah fashion. Aku meneguk liurku sambil mengelus dadaku, Astaghfirullahh.... Zina mata!
Melihat sosokku yang masih mematung, laki-laki itu tersenyum tipis sembari melambaikan tangan. Aku menerjapkan mata beberapa kali, sebelum berlari kecil menuju arahnya.
“Selamat Pagi, Dokter," sapaku ramah. Anak rambutku yang ku kuncir kuda sedikit berantakan karena aktivitas yang kulakukan pagi ini. Mungkin sekarang aku juga bau keringat dan kucel. Saat bersampingan dengannya seperti ini, membuat kami terlihat sangat kontras. Aku gembel banget astagaaaa...
“Pagi, acaranya belum dimulai kan?” tanya Dokter Kafa selagi mengunci mobilnya karena kudengar alarmnya berbunyi. Aku jadi merasa deja vu.
“Belum kok, Dok. Acaranya masih jam 9 nanti,” aku melihat jam tangan, “masih ada cukup waktu untuk mempelajari materinya. Hehe," ucapku pada akhirnya.
Dokter Kafa mengangguk mengerti. Aku mengajaknya menuju balai, di sana sudah ada kerumunan pegawai kelurahan beserta panitia yang kebanyakan relawan berasal dari satuan ibu-ibu PKK dan bapak RT, RW setempat.
Obrolan mereka terjeda saat aku datang bersama dokter ini. Bagaimana tidak, penampilannya saja sudah mengalihkan suasana. Setiap pasang mata kini sama sepertiku tadi—mengagumi keindahan hakiki manusia ciptaan Tuhan satu ini. Aku jadi berpikiran, mungkin waktu pembagian ‘look’ dia datang paling pagi. Karena dari bawah kaki sampai ujung rambut dia sempurna sekali. Bahkan ada Pak RT yang terang-terangan menggoda Ibu-ibu yang terlihat sedikit ngiler karena melihat si dokter ini saja.
“Perkenalkan, Pak, Bu. Ini Dokter Kafa yang nanti akan memberikan materi,” ucapku sebagai jembatan perkenalan, “dan Dokter Kafa, ini bapak ibu panitia yang membantu acara ini.”
“Ya ampun, ini tadi Dokter ternyata! Saya kira pacarnya Mbak Sabrina, ganteng tenan (sungguh)!” ujar salah satu bapak yang memakai batik berwarna biru tua.
“Iyo, ya, Pak. Tak kirakno mau artis iku lho, sing main sinetron nang Indosiar!” (Iya, ya Pak. Saya kira ini tadi artis itu lho yang main sinetron di Indosiar)
“Walah Bu, yo kalah ngganteng ta. Iki bagus e ngalah-ngalahi koyo malaikat ngunu kok!” (Ya kali Bu, kalah ganteng jelas. Ini gantengnya mengalahkan malaikat gitu kok!)
Aku tertawa mendengar ucapan para bapak dan ibu ini yang tampaknya membuat Dokter Kafa tersenyum malu.
“Iyo, ora pantes dadi Dokter. Nyapo ora dadi artis ae, Mas? Aku bakalan ndelok sinetrone lek pean sing main!” (Iya, tidak pantas jadi Dokter. Kenapa tidak jadi artis saja, Mas? Saya akan melihat sinetronnya Mas kalau kamu yang berperan!)
“Yo bene ta. Dadi dokter pinter kok, iso numpak helikopter.” (Ya biarkan saja. Jadi dokter pintar kok, bisa naik helikopter)
“Walah, onok ae pean iki, Bu. Deloken, Mas e isin, ngempet guyu kat mau.” (Waduh, ada ada saja kamu ini, Bu. Lihatlah, Masnya malu, menahan tawa dari tadi)
“Wes ojo digoda ae.” (Sudah jangan digoda terus)
Setelah mendengar celetukan ibu-ibu tadi, aku segera membawa Dokter Kafa agar masuk gedung. Bisa-bisa kami ditahan disana untuk menemani mereka mengobrol. Aku mengantarkannya ke ruang tamu biasanya ruangan ini digunakan untuk menjamu tamu Pak Lurah. Karena suasana yang sedikit ramai dan chaos, tidak ada tempat lain yang tenang di kantorku.
“Eum, Dokter Kafa tunggu disini sebentar. Saya ambilkan materi dan laptop untuk ngecek materinya yang sudah disiapkan.”
“Ya. Terimakasih.”
Aku meninggalkan Dokter Kafa lalu berjalan menuju meja untuk mengambil laptop dan materi printout yang sudah kusiapkan untuk pemateri. Setelahnya, aku memberikan laptopnya dan materi itu pada Dokter Kafa.
“Dokter, keberatan kalau saya tinggal? Saya harus menemui Pak Lurah, juga Pak Yulian di depan dulu,” kataku saat bersimpuh untuk menyalakan laptop, setelah laptop menyala aku segera membuka PPT materi dan mengarahkannya untuk dibaca Dokter Kafa.
“Ya, silahkan.”
“Sebentar lagi saya akan kembali. Dokter silahkan pelajari materinya dulu,” ungkapku dengan senyuman manis.
Dokter Kafa mengangguk mengerti. Aku pun meninggalkan ruangan ini, melesat mencari hal-hal lain yang membutuhkan kehadiranku disana.
***