HUTAN

1023 Kata
Polan mempercepat pembangunan rumahnya dengan mengandalkan beberapa orang kepercayaan nya yang akan membantunya dalam membangun. Orang-orang yang Polan andalkan tentu yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Ia tak mau orang luar mengetahui rencananya. Dia mengajak adik-adiknya dan iparnya. Polan menjanjikan akan memberikan tanah menjadi bagian mereka dan akan turut membantu dalam pembukaan lahan mereka masing-masing. Adik-adik dan sepupunya setuju dan mereka mulai melakukan pembangunan. Pembangunan ini dibantu oleh anak-anak Polan yang mulai beranjak dewasa. Saat proses pembangunan, keanehan-keanehan mulai terjadi. Pada malam hari, para pekerja akan tinggal di gubuk yang sudah mereka dirikan. Hal ini bertujuan untuk mempercepat pekerjaan mereka. Polan sudah membuat target agar mereka tak membuang waktu dalam pembangunan. Polan yang visioner, membuat rencana yang tentu akan diikuti oleh orang-orang yang bersamanya. Bagaimanapun apa yang Polan sampaikan adalah rencana yang baik untuk mereka semua ke depannya. Setiap malam mereka akan dikejutkan dengan suara-suara teriakan dan minta tolong. Polan yang mendengar memang tak akan takut. Namun, anak-anak dan kerabatnya merinding setiap kali suara itu muncul. “Pak, apa kita tak bisa menginap dirumah teman bapak yang di kampung sebelah? Lagipula kita punya Daihatsu milik paman Tanto (adik Polan),” ucap Darto anaknya yang pertama. “Tak perlu takut. Mereka dan kita memang berdampingan dengan alam. Kalian tidur saja. Ada bapak disini.” “Pak, saat aku keluar buang air kecil, ada bayangan yang tinggi terlihat. Meskipun cahaya yang ada hanya dari api yang kita nyalakan tapi aku yakin bayangan tinggi itu seperti sesosok makhluk” ucap Rocky menimpali. Polan yang sedang merokok tentu tak ambil pusing dengan apa yang anaknya bicarakan. Dia sadar hal itu benar adanya. Namun, ia tak takut sama sekali. Adiknya yang bernama Tanto mendatanginya dari gubuk sebelah. “Bang, tempat ini jelas tak pernah terjama. Apa kau yakin kita akan bisa membuka perkampungan disini?” “Tentu saja aku yakin. Lagipula apa yang kau takutkan? Tanah ini belum ada segel oleh pemerintah. Kita bisa mendudukinya dan menjadikan milik kita.” “Aku mengerti, bang. Hanya saja hawanya tidak enak apalagi pada saat malam hari.” “Tak perlu khawatir. Aku punya pegangan yang akan menjagai kita dari apapun. Asal kita juga tak mengganggu mereka.” Udara ditempat itu tentu sangat dingin dan agak jauh dari kampung sebelah. Pagi hari mereka akan kesulitan untuk membangun karena kabut yang pekat. Untuk hutan yang tak terjama tentu itu adalah hal biasa. Setiap hari mereka akan menggunakan pakaian tebal, sepatu bot dan kupluk untuk melanjutkan pembangunan. Pada tahun 70 an, rumah yang akan mereka bangun terbuat dari papan dan akan ada kolong rumah yang disebut Bara. Kayu yang mereka gunakan dari hasil tebangan pohon. Pohon yang dihasilkan berkualitas sangat baik. Hewan yang paling sering mereka jumpai adalah monyet dan musang. Tak jarang mereka memburu dan memakan dagingnya. Ada kebiasaan Polan yang tak biasa bagi anak dan kerabatnya. Setiap hari Polan akan meludah ditanah. Sepupunya yang tak mengerti maksudnya lantas bertanya. “Bang, kenapa aku perhatikan kau setiap hari sebelum memulai pembangunan meludah ditanah?” “Itu salah satu cara agar pembangunan ini berjalan lancar. Mari kita lanjutkan pekerjaan kita.” Mereka melanjutkan pekerjaan mereka. Beberapa minggu berlalu dan pembangunan telah selesai beserta sumur untuk tempat mandi. Namun, setelah itu mereka akan membuka lahan dari depan jalan raya. Karena tidak mungkin rumah itu tak disinari matahari. Mereka semakin bergiat untuk mengerjakannya. Setiap pohon yang ditebang dikumpulkan untuk membuat papan rumah mereka. Lalu, Polan dan anak-anaknya kembali kerumah orangtuanya. Mereka akan mengangkut semua barang-barang, untuk segera pindah. Polan meminjam Daihatsu milik Tanto untuk mengangkut semua barang dan berencana membuat syukuran yang akan dihadiri oleh keluarga dekat Polan. Sesampainya disana, Rina sang istri membersihkan rumah baru mereka dan meletakkan barang-barang bawaan yang dibantu oleh Hermi dan Hani. Sedangkan Reza asik melihat bapaknya bekerja. “Pak, aku mau pipis” ucap Reza yang masih berumur 5 tahun. “Pergi ke belakang rumah saja. Ada sumur disana. Jangan main ke sumur ya Reza.” Reza yang mendengarnya, langsung bergegas kebelakang. Ia lalu buang air kecil disana. Tiba-tiba ia menangis kencang. Polan dan yang lainnya yang mendengar Reza menangis segera menghampirinya. “Apa yang membuatmu menangis?” tanya Polan “Pak, aku melihat seorang laki-laki bertubuh besar menatapku dari pohon itu. Wajahnya sangat gelap dan menakutkan. Aku takut sekali pak. Dia tiba-tiba saja menghilang.” “Jangan takut ada bapak.” Melihat anaknya menangis, Polan lalu menggendongnya dan memberikannya pada ibunya agar dibawa kedalam rumah. Polan lalu mengumpulkan yang lainnya untuk menyampaikan sesuatu. Mereka berjumlah 10 orang ikut kedua anaknya Darto dan Rocky. “Kita harus segera menyelesaikan penebangan pohon yang berada di paling depan agar rumah ini kelihatan dari jalan raya dan sinar matahari tak terhalangi. Ditambah lagi, mereka semakin menyadari keberadaan kita.” Mereka yang bergidik mendengar ucapan Polan setuju dengan apa yang ia ucapkan. Bagi mereka, ketakutan adalah kekuatan mereka dalam bekerja. Polan memang manusia dengan nyali kuat ditambah dia memiliki pegangan yang baginya akan menjaganya. Ia percaya Tuhan namun hal itu tak membuatnya bersih dari berbagai jimat. Perlu diketahui bahwa pada masa itu, kamar mandi bagi Polan adalah sumur dan tenda yang menutupi sekelilingnya. Jika ingin membuang air besar, mereka akan memanfaatkan lahan kosong dan membuangnya disana. Untuk cebok mereka akan menggunakan dedaunan yang ada di sekeliling lahan. Hal itu, adalah lumrah bagi mereka. Jika mau repot, maka mereka akan membawa ember berisi air untuk cebok. Malam hari pun tiba. Polan memanfaatkan api unggun yang di nyalakannya untuk mengkapak kayu sebagai persediaan kayu bakar. Sedangkan untuk rumah, Polan menggunakan lampu teplok di setiap dinding papan. Rina yang melihatnya meminta suaminya untuk tak bekerja pada malam hari. “Pak, sudahlah. Besok saja dilanjutkan. Ini sudah malam. Lebih baik, bapak temani kami ditambah lagi anak-anak ketakutan.” “Baiklah kalau begitu.” Pukul 22.00 WIB suasana Dura sangat hening. Kali ini suara monyet dan jangkrik terdengar kuat. Reza yang memilih tidur diantara ayah dan ibunya tetap ketakutan. “Pak, aku takut.” “Jangan takut apalagi kau adalah anak laki-laki. Kan ada bapak dan mamak disini.” Reza memeluk bapak dan mamaknya. Sebagai anak kecil, Reza wajar ketakutan ditambah lagi ia membayangkan bagaimana jika ada sesuatu dibawa bara (kolong rumah) yang menggedor papan tempat mereka tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN