Sudah dua hari sejak aku bangun dan Bia masih terlelap dalam tidurnya yang tetap terlihat cantik. Aku rasanya seperti akan gila sebentar lagi. Segala prasangka dan kemungkinan memenuhi kepalaku. Rasanya aku ingin menyerah karena terlalu membuatku sakit kepala. Tapi saat ini yang Bia miliki hanya aku, karena itu seberat apapun masalah ini, aku harus kuat demi dia. Demi perempuan bodoh pemarah yang sangat aku cintai ini. “Tuan muda, kita bisa bicara?” Ucap pak Yanto dengan pelan. Aku memang melarang semua orang berbicara keras di samping Bia. Aku mengangguk, kemudian mencium kening Bia sebelum meninggalkannya setelah menyuruh Antony untuk berjaga. Terakhir kali, Antony mengatakan bahwa kakek mencariku kemana-mana dan sepertinya aku akan pulang ke rumah kakek sebentar untuk bertemu dengann