Hana menguap lebar, merasa bosan karena sedari tadi ia dan tiga sahabatnya hanya bergosip ngalor ngidul tak karuan. Matanya sudah mengantuk mendengar ocehan-ocehan unfaedah yang keluar dari mulut mereka.
Malam ini, Wawa, Tira, dan juga Mutia menginap di rumahnya. Yang namanya perempuan, jika ketemu ya banyak yang dibahas. Tapi Hana merasa bosan karena sedari tadi mereka hanya gibahin orang.
"Kalian nggak bosan apa ngoceh Mulu?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutnya, membuat tiga orang di depannya berhenti berbicara dan menyisakan hening.
"Terus kita harus apa Han? Masa langsung tidur," ujar Wawa, gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya pada jam dinding berwarna purple yang tergantung manis di kamar Hana.
"Jam aja masih pukul 20.30," tambahnya yang diangguki oleh Mutia dan Tira.
"Ya...cari sesuatu yang asik gitu, jangan gibah mulu. Saat kalian ngoceh, aku berasa kayak lagi dibacain dongeng sebelum tidur tau nggak." Tiga sahabatnya itu hanya mendengus malas mendengar ucapan tak tersaring milik Hana.
"Gimana kalau kita main ular tangga?" usul Mutia.
"Nggak, ah! Terlalu lama buat finish nya," tolak Wawa.
"Terus apaan?"
Mata Tira berbinar cerah, tumben-tumbenan otaknya cepat berpikir. Biasanya, ia akan mendengar geraman dari tiga sahabatnya dulu baru otaknya jalan, saking lodingnya otak milik gadis itu.
"Gimana kalau truth or dare aja?" usulnya.
Hana menggeleng, "nggak ah! Kayak anak kecil aja."
Sementara Mutia dan Wawa yang mendengar usulan Tira, langsung mengangguk antusias. "Bilang aja kalau kamu takut rahasimu terbongkar, Han," ejek Mutia.
Wawa dan Tira mengangguk, "Iya. Benar banget, tuh! Hana pasti banyak rahasia dari kita," tambah Tira.
Karena merasa ditantang, akhirnya Hana setuju.
"Oke! Aku ambil botol dulu di dapur," ujarnya, membuat tiga sahabatnya itu tersenyum penuh kemenangan.
Membuat Hana berkata iya itu sangat gampang, tinggal manas-manasin dikit, terus sudutkan. Gampang kan?
Tak berapa lama, Hana kembali dari dapur sambil membawa satu buah botol kosong. Ke empat gadis itu kemudian duduk melingkar, kali ini mereka membiarkan Hana memutar botol tersebut pertama kali.
Benda tersebut berputar dan berhenti tepat mengarah pada Mutia, membuat ketiga orang lainnya saling memandang dengan senyum manis namun mengandung arti.
"Truth or dare?" tanya Tira.
Mutia mengulum bibirnya, berpikir sejenak. "Truth," jawabnya.
"Apa alasan kamu mutusin Hendri, padahal kalian baru pacaran tiga hari?"
Mutia mendelik saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Hana. "Yang lain deh, nggak usah bahas masalah tuh anak," kesalnya. Namun, tiga orang di depannya kompak menggeleng. "Nggak boleh protes, dan nggak pake tawar menawar!" tukas Wawa.
"Karena Hendri minta ciuman..."
"No! Aku yakin bukan cuma karena itu," potong Hana.
"Yang jujur, jangan bohong," peringat Tira.
Mutia menghela nafas pelan. "Makanya jangan potong dulu, ucapan aku belum selesai!"
"Jadi dia minta cium, terus aku iyain. Nah, pas wajahnya dekat aku, aku malah salfok ke matanya yang ada belek. Ya, ilfil lah akunya. Masa ganteng-ganteng belekan, mana besar lagi tuh belek nyempil di mata," tawa Wawa dan Hana pecah seketika mendengar kejujuran dari Mutia. Bisa-bisanya adegan romantis berakhir ngakak bagi mereka, tapi berakhir tragis bagi kisah cinta Mutia.
Sedangkan Tira masih terdiam, berusaha mencerna kata-kata sahabatnya. Setelah tawa Hana dan Wawa mulai reda, barulah ia ngakak sendirian. Otak Tira memang sememprihatinkan itu.
Ketiganya hanya menatap datar Tira yang masih tertawa sendiri, kemudian kompak menghembuskan nafas kasar. Ingin rasanya membuang Tira ke laut, Untung sayang. Bayangkan saja, sejak SD mereka sudah menghadapi sifat Tira yang satu itu. Tiga orang tersebut sepertinya diberi stok kesabaran lebih, buktinya mereka awet berteman dengan manusia seloading Tira.
"Dah lah! Lanjut, lanjut!" seru Wawa.
Botol kembali diputar, dan kini menghadap pada Tira.
"Truth," ujar Tira. Ia takut jika memilih dare teman-temannya akan mengajukan tantangan yang sulit ia jalani. Mana peraturannya nggak boleh protes dan tawar menawar lagi.
"Oke, biar aku yang bertanya," ujar Wawa.
"Kenapa nggak pernah nyoba buat pacaran?"
Tira diam, menatap satu persatu ekspresi penasaran teman-temannya.
"Karena aku udah dijodohin dengan pilihan Kakek, sejak Bayi."
Mata ketiga orang di hadapan si ratu loading itu seketika syok.
"Buset! Masih ada ya, perjodohan kayak gitu?" Pekik Hana tak menyangka.
"Udah ah, lanjut!" Tira tak ingin terlalu membahas masalah perjodohan tersebut. Toh, iya juga belum pernah ketemu dengan pria yang menjadi calonnya itu. Dia berharap, semoga pria itu menemukan tambatan hatinya sendiri atau nggak udah meninggal biar dia bisa bebas dari tali perjodohan yang dibuat Kakeknya. Biarin aja dia dikatai durhaka karena berdoa seperti itu.
Botol kembali diputar, dan berhenti tepat di hadapan Wawa. Wawa berdecak kesal karena kali ini ia yang kena.
"Karena tadi aku sama Tira udah milih truth, sekarang harus dare, nggak asik truth semua!" Ujar Mutia, membuat Wawa mendelik sinis ke arahnya.
"Nggak ah! Ogah," tolak Wawa mentah-mentah.
"Yakin?" Tanya Hana dengan senyum iblis. Wawa menelan ludahnya, salahkan dirinya yang selalu menyimpan rahasia jika ia rasa memalukan. Wawa itu tipe orang yang sangat gengsian, makanya dia kayak gitu.
"Ya udah, dare!" Tukasnya malas.
"Biar aku yang ngasih tantangannya," ujar Mutia. Dia dan Hana saling melirik, kemudian mengangguk. Sedangkan Tira, tentu saja lebih banyak menonton sambil berusaha mencerna semua ucapan mereka di otaknya.
"Kamu tahu Frengki kan? Yang Asdos itu." Wawa menatap dua sahabatnya tajam, seolah mengandung arti 'jangan aneh-aneh', namun hanya dibalas senyuman menyebalkan dua orang tersebut.
"Yang Kakaknya Hendri itu yah?" Celetuk Tira. Mutia dan Hana mengangguk.
"Kamu coba hubungin dia, terus pas diangkat, maki-maki tuh si Asdos yang sok keren itu!"
Wawa melotot karena perkataan Hana. Bagaimana enggak, si Frengki itu lebih seram dari pada Dosen mereka.
"Ingat! Tanpa tawar, tanpa protes!" peringat Mutia.
Wawa akhirnya mengambil ponselnya dan menghubungi nomor milik si Asdos, yang mereka dapatkan sejak tergabung di grub Mata Kuliah yang Dosennya di Asisteni Frengki.
"Halo" terdengar suara sapaan dari seberang sana, membuat Wawa sedikit gemetar.
"Ini siapa?" Karena tak ada suara, Frengki kembali bertanya.
Wawa menghembuskan nafas kasar sebelum mengeluarkan suaranya, "I Love You!" setelahnya, ia langsung mematikan sambungan telepon sepihak. Bahkan ia segera menon-aktifkan ponselnya. Wawa bertekad, besok ia akan segera mengganti SIM card nya.
"Bhahahahahahaha!"
Tawa tiga orang di depannya terdengar membuat Wawa menatap mereka tajam.
"Puas?" Tanyanya kesal.
"Lebih dari puas," pekik Tira.
"Gimana nggak puas, Wa. Kamu disuruh maki-maki, malah nembak tuh Asdos. Jangan-jangan selama ini kamu memang naksir dia ya?" Tuding Hana masih dengan tawanya. Sedangkan Mutia, gadis itu bahkan sudah guling-guling di lantai karena kekonyolan sahabatnya.
Wawa tersadar "Sialan! Enggak lah! Aduh, gimana dong," paniknya. Tadi itu dia benar-benar takut, makanya asal ngeluarin kata aja. Bukannya membantu, tiga orang di depannya malah semakin ngakak.
"Sekarang lanjut! Tunggu aja pembalasan aku," ujarnya setengah berteriak. Ia benar-benar dendam saat ini, terutama pada Hana dan Mutia, otak dua manusia itulah yang membuatnya seperti ini.