Barbara menatap Aarav dengan heran. Kenapa pria itu sekarang hanya diam tidak berkutik di saat orang lain mencercanya? Barbara bingung sendiri melihatnya. Bahkan kemarin Aarav berkata dengan enteng mengancam keluarganya namun sekarang hanya karena seorang wanita dia hanya diam. Barbara jadi tidak tega melihat Aarav di perlakukan seperti itu. Barbara memang tidak mengenal Aarav luar dalamnya, karena selama ini siapa yang peduli dengan itu semua. Mereka baru bertemu dua kali dan sekarang dia harus terkurung di kastil ini.
Barbara yang mendengar umpatan keluar dari mulut wanita itu rasanya ingin menyiramnya dengan minyak yang sedang bergejolak panas. Entah kenapa Jiwa kerasnya untuk menyakiti orang lain sekarang kembali muncul. Barbara paling tidak tega melihat orang yang di perlakukan seperti itu. Begitu lemah hatinya untuk mengasihani orang lain.
Jangan hanya karena dia memiliki Tahta dan kuasa bisa seenaknya melakukan sesuatu hal pada orang di bawahnya. Bagi Barbara jika memang kita benar, kenapa takut untuk melawan? Jika mereka melawan dengan uang kita melawan dengan kebenaran. Kebenaran sampai kapanpun akan slalu menjadi hal utama namun uang bisa kapan saja hilang tanpa tahu kemana perginya.
Uang sekarang memang menjadi momok menakutkan banyak orang yang silih berganti untuk meraih kesuksesan demi kekuasaan. Barbara terkadang slalu berpikir, memangnya dengan uang mereka mati akan membawa semua harta itu? Percuma memiliki banyak uang jika kelakuan tidak mencontohkan kebaikan. Jika mereka mati dengan keadaan yang di benci banyak orang, siapa yang akan peduli? Palingan hanya orang-orang dermawan yang rela menguburkan bangkai hina itu akibat perbuatannya di masa hidup.
Barbara bisa melihat tatapan Aarav yang kosong. Apa pria ini memiliki dua kepribadian ganda? Di saat bersamanya, pria itu akan berubah dengan mata tajamnya namun sekarang mata itu terlihat ada rasa ketakutan.
Barbara hanya diam mendengarkan garis besar yang sedang di bahas oleh wanita itu. Yang di ungkit oleh wanita itu tentang masa lalu mereka. Apa mereka pernah bersama? Barbara menggeleng tidak tahu, dia tidak akan ikut campur. Biarkan saja, memangnya ada masalah apa dengannya. Barbara hanya orang baru yang di seret ke dalam kehidupan pria itu.
Plak!
Barbara mendongak, matanya membulat saat wanita itu menampar pipi Aarav. Dan bodohnya pria itu hanya diam tidak bergerak sama sekali selain bekas tamparan di pipinya yang berwarna merah. Jika seperti ini Barbara tidak akan diam saja. Ini sudah tindakan kekerasan, kenapa juga pria itu hanya diam seperti orang bodoh di saat orang lain menyakitinya?
"Hei, bodoh. Kenapa kau diem saja?" Barbara bangkit lalu menyenggol lengan Pria itu. Aarav hanya menatapnya lalu kembali tertunduk.
"Apa kau mendengar ku? Kau menjadi tuli akibat tamparan wanita jalang itu?"
"Diam kau Bianca, jangan ikut campur."
"Aku tidak akan ikut campur jika kau tidak memakai kekerasan seperti ini."
"Sejak kapan kau berani melawanku?" Barbara mengurutkan kening. Apa Bianca sering di perlakukan tidak baik oleh wanita ini?
"Hey, aku sedang berbicara padamu, apa kau tuli?"
"Jaga bicaramu, sialan."
"Wah ... kau sudah berani rupanya. Kau pikir siapa? Dengar, Kau dan Aarav tidak akan pernah bahagia semasih ada aku di dalam keluarga ini. Kau harus ingat, ini tentang sebuah keinginan Aarav yang tidak masuk akal. Dan jangan berbangga hati karena Aarav mencintaimu. Yang harus kau ingat, Aarav tidak akan bisa hidup tanpa uang. Jika aku bertanya padanya untuk memilih salah satu di antara kalian, aku yakin Aarav akan langsung meninggalkanmu."
Apa yang wanita ini bicarakan?
"Lalu apa ada masalah antara kau dan Aarav? Siapa kau? Memangnya kau tahu aku dan Aarav akan bahagia atau tidak? Jangan terlalu bermimpi. Memangnya seberpengaruh apa kau ada di dalam keluarga Aarav sampai berbicara seperti itu?Ah ... apa kau seorang simpanan, sampai berlaku tidak waras seperti ini?"
Plak!
"Lancang sekali kau berbicara seperti itu. Kau tidak jera saat aku memukulmu?" Barbara tersentak. Pikirannya berkelana pada sosok Bianca. Ada apa sebenarnya ini? Barbara yakin ada sesuatu yang terjadi selama satu tahun Bianca ada di bagian keluarga ini.
"Apa yang kau lakukan pada saudariku?" Dania mengerutkan kening bingung. Apa wanita ini gila? Bukankah yang mereka bicarakan itu dia sendiri? Kenapa malah bertanya lagi. Dania menggeleng, pasti Bianca sudah tertekan, maka dari itu dia berlaku seperti ini.
"Oh, kau berpura-pura lupa. Apa mesti aku ingatkan lagi?" Barbara benar-benar tidak paham dengan apa yang terjadi.
Selama ini Barbara menganggap jika Bianca bahagia dengan calon suaminya namun ternyata seperti ini keadaannya. Pantas saja Bianca tidak tahan, melihat wanita ini saja pasti kaki saudarinya langsung bergetar ketakutan. Bianca memang lemah fisiknya, sedari kecil dia slalu sakit-sakitan. Maka dari itu Barbara paling tidak suka jika ada orang yang menyentuh Bianca. Memang tidak ada yang tahu jika mereka kembar, karena selama ini Barbara slalu ada di belakang hidup Bianca. Namun untuk masalah ini dia tidak ikut campur karena sudah melanggar Privasi Bianca. Ternyata Barbara salah melepas Bianca begitu saja. Rasa menyesal di rasakan olehnya karena tidak bisa menjaga saudaranya dengan baik.
Aarav melihat Dania lalu dia menggeleng. Aarav memejamkan matanya, harus berapa lama lagi dia menanggung ini? Aarav bukan tidak sanggup melawan namun wanita gila itu slalu mengungkit-ungkit masa lalunya. Aarav sudah pernah menjelaskan jika ada ke salah pahaman di antara mereka. Namun Dania tidak mau mendengarkan, dia semakin hilang kendali. Bahkan yang menjadi sasaran ke marahan adalah dirinya.
"Dania aku mohon jangan. Biar aku saja yang menanggungnya."
"Wah, wah, ternyata ada pahlawan ke siangan di sini. Sejak kapan kau berani menanggung semuanya? Bukankah kau tidak peduli lagi pada wanita ini? Bahkan aku menyiksanya pun kau hanya bisa diam." Barbara yang mendengar itu membulatkan matanya. Apakah Bianca pernah mendapat siksaan dari wanita gila ini? Lalu kenapa Bianca tidak berbicara padanya? Sial.
"Apa yang kau maksud?"
"CK! kau memang benar-benar pintar berakting Bianca. Kau melindungi pria bodoh ini tapi pria bodoh ini mengabaikan mu." Barbara hanya menaiki salah satu alisnya. Dia masih berpikir, sebenarnya ada apa dengan Bianca? Barbara harus bertanya lebih pada Bianca.
"Aku tidak tahu apa yang kau lakukan pada Bianca tapi aku rasa ada sesuatu yang terjadi selama aku tidak di sampingnya." Barbara mendekat berdiri berhadapan dengan wanita itu. Tinggi mereka tidak sebanding, walaupun Dania sudah memakai heelsnya namun dia masih kalah tinggi dengan Barbara.
Dania tersenyum sinis. Tangannya langsung menarik rambut Barbara, membuat Barbara meringis di dalam hatinya. "Aku rasa kau sekarang sudah berani melawan padaku. Kenapa? Kau merasa sekarang sudah tidak ada harapan lagi atau bagaimana? Bukankah Aarav lebih menyukaimu yang pendiam. Bukan begitu, Aarav?"
Aarav memalingkan wajahnya. Dia tidak melakukan apapun saat Barbara di perlakukan tidak baik oleh Dania. Barbara mendesis, dia langsung mencengkeram lengan Dania dengan erat. Tangan satunya yang bebas langsung mencengkram rambut blonde itu dengan kasar.
"Awwwww, kau—" Cengkraman di rambut Barbara terlepas dan Barbara tersenyum sinis.
"Sekarang kita berbalik. Aku tidak tahu apa yang kalian lakukan pada Bianca. Dan aku pun tidak tahu apa yang kau lakukan pada pria bodoh ini, sampai dia tidak bisa berkutik setiap kau membahas masa lalu kalian. Apakah dulu kalian pernah bersama? Atau semacam lainnya aku tidak tahu. Yang mesti sekarang kau ingat, jika kau menyentuh keluargaku dan Aarav atas tekanan yang kau berikan. Saat itu juga kau akan mati di tanganku." Dania mencengkeram lengan Barbara dengan ekspresi terkejut.
"Ah, perlu aku katakan satu hal padamu, yang berdiri di hadapanmu ini bukan Bianca tapi Barbara." Dengan kasar Barbara melepaskan cengkraman nya di rambut Dania sampai tubuh itu terhuyung.
"Pergi! Aku muak melihat mu di sini." Dia kira Barbara takut dengan wanita itu, di suruh membunuh pun akan dia lakukan. Barbara bersyukur dulu hidup di jalanan, karena selama itu pula banyak manfaat yang dia ambil untuk hidupnya.
Masa lalu Barbara memang tidak seindah masa lalu Bianca namun yang pasti Bianca atau pun Barbara masih anak dari seorang Rajendra Ajuman. Hanya kemungkinan yang publik tahu Bianca Cassandra Ajuman saja. Bersyukur selama ini tidak ada rasa iri di dalam hatinya.
Dania yang mendengar ucapan wanita itu tersentak. Tidak mungkin! Bagaimana bisa? Dania yakin jika wanita ini sosok Bianca, bukan orang lain, hanya saja dia mengubah pakaian dan bentuk rambutnya bukan dari sifat biasanya. Sedari awal mereka bertemu Dania sempat tidak mengenalnya karena Bianca tidak seperti ini. Dania yakin ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Dia harus mencari tahunya, karena jika memang wanita ini kembaran Bianca dia tidak tahu akan seperti apa. Wanita ini terlihat begitu dominan, tatapan matanya lebih tajam dari yang biasa dia lihat.
"Lihat saja nanti, aku akan kembali." Dania pergi dengan langkah tergesa. Barbara mencibir tidak peduli.
Matanya sekarang memandang ke arah Aarav yang masih terdiam. Barbara memukul pundaknya, bekas tusukannya kemarin dengan kencang. Dan saat itulah mata itu kembali terbuka lebar menampilkan kehidupan.
"Aku sarankan lebih baik kau pergi ke psikiater. Aku khawatir kau mengalami tekanan batin." Aarav menoleh ke arah Barbara, matanya memandang sayu wanita itu.
Aarav tahu kelakuannya tadi memang seperti pria pengecut. Namun mau bagaimana lagi, ada sesuatu di masa lalunya yang memang bisa merusak nama keluarga Rochester. Untuk di jadikan alasan ini pada Barbara pasti wanita itu akan mengejeknya habis-habisan. Selama ini Aarav hanya menyimpannya di dalam hati, menekan luka yang di berikan Dania padanya. Aarav bukan tidak bisa, hanya saja jika aib itu tersebar semua orang akan berlomba-lomba menghancurkan keluarganya. Dan Aarav tidak menginginkan itu semua.
Barbar yang melihat pria itu terdiam hanya bisa mengangkat bahunya. Matanya memandang ke arah sekitar mencari jam berapa sekarang. Matanya terpaku pada jam besar yang ada di ruang tengah menunjukkan pukul 3 siang, pantas saja perutnya bergejolak minta di isi, ternyata sudah lewat dari jam makan siang. Barbara pergi berlalu meninggalkan pria itu sendiri, biarkan saja, mungkin dia sedang berpikir. Berjalan ke beberapa arah namun tidak sama sekali menemukan dapur.
"Ini goa atau Hutan? Dari tadi aku berkeliling tidak menemukan letak dapur dimana." Barbara berkacak pinggang. Perutnya lapar sekali, tidak ada makanan ringan satu pun yang bisa di temukan.
"Nyonya?"
"Astaga! Kenapa kau mengagetkanku? Kalau aku mati di sini bagaimana? Kau mau tanggung jawab?" Pelayan itu menundukkan kepalanya meminta maaf.
"Kenapa kau menunduk?"
"S-saya—"
"CK! Aku paling tidak suka kalau ada orang lain menundukkan kepalanya padaku. Ayo katakan ada apa? Dan angkat dagu mu, lalu tatap orang yang sedang berbicara dengan mu." Pelayan itu akhirnya mengangkat wajahnya. Matanya terlihat sembab namun Barbara untuk sekarang tidak akan peduli. Perutnya benar-benar sedang berdemo.
"Saya cuman mau bertanya, Nyonya ingin kemana? Sedari tadi saya lihat Nyonya seperti kebingungan, makanya saya menyapa Nyonya, siapa tahu Nyonya butuh bantuan."
"Jika kau tahu aku kebingungan, kenapa kau baru menyapa sekarang? Aku sedang mencari dapur. Dimana dapurnya? Atau memang rumah ini tidak menyediakan dapur?"
"Tentu saja ada Nyonya. Mari Nyonya saya antar."
"Berjalanlah lebih dulu biar aku mengikuti mu dari belakang." pelayan itu berjalan lebih dulu melewati beberapa ruangan sampai tiba di dapur.
"Sialan. Pantas saja tidak aku temukan, orang dapurnya ada di sudut. Aku berkeliling sampai muntah pun tidak akan ketemu." Barbara mendudukkan dirinya di stool bar, menatap beberapa koki yang sedang memasak.
"Apa kalian semua bisa membuatkan ku Bakso?" 3 koki yang sedang sibuk memasak langsung membalikan tubuhnya. Mata mereka langsung membulat, membuat Barbara mengerutkan keningnya.
"Ada apa dengan kalian?"
"Nyonya? Nyonya sedang apa di sini?"
"Memangnya jika orang masuk ke dapur untuk apa? Melakukan aktraksi?"
"Ah bukan begitu Nyonya, apa ada yang Nyonya inginkan? Biar saya nanti antar kan."
"Aku ingin makan disini."
"Tapi Nyon—"
"Stttt, diam! Aku tidak ingin mendengar penjelasan apapun dari kalian. Ah yah apa disini menyediakan alkohol?" Ketiga Koki itu saling melirik bingung harus menjawab apa.
Mereka tahunya Bianca tidak menyukai minuman beralkohol bahkan calon istri Tuan mereka tak pernah menginjakan kakinya di dapur.
"Ck! Kenapa diam? Aku sedang bertanya." Barbara saking sebalnya langsung bangkit berdiri, berjalan ke arah kulkas membukanya dan seketika mulutnya menganga.
"Astaga! Ini yang namanya surga minuman." Barbara tertawa lalu mengambil 1 botol wine. Membukanya dan menegak nya langsung dari botolnya.
"Oh My Good!" Barbara benar-benar menikmati wine nya. Dia kembali meneguknya. Ketiga Koki di sana hanya bisa terdiam melihat Nyonya mereka minum dengan rakus. Ada yang salah disini?
"Apa yang kau lakukan?" Barbar mendesah saat botol itu di tarik paksa dari tangannya.
"Kembalikan?! Aku haus."
"Tidak bisa! Apa-apaan kau ini? Kau mau mabuk? Di dalem ada Bir kesukaanmu." Barbara memutar bola matanya saat pria itu bergerak ke sampingnya, membuka pintu kulkas sebelah lalu memberikan sekaleng Bir pada tangannya.
"Kau bisa minum ini."
"Aku tidak mau ini. Aku menginginkan minuman yang kau pegang."
"Nanti kau mabuk. Sudah itu saja! Dan untuk apa kau datang ke dapur?" Barbara memutar tubuhnya dan pergi begitu saja meninggalkan dapur tanpa menjawab pertanyaan Aarav.
Astaga! Rasa wine itu begitu menyegarkan, ingatan Barbara untuk datang kembali ke sana nanti.
Aarav menatap punggung mungil itu dengan hembusan napas kasarnya. Kesal karena dengan seenaknya Barbara menegak wine miliknya, apakah wanita itu tidak lihat jika ada kaleng Bir kesukaannya? Aarav bahkan membeli minuman itu secara mendadak karena tahu Barbara menyukainya namun kenapa sekarang malah menegak wine miliknya? Bukannya pelit hanya saja wine yang Aarav miliki sudah di campurkan dengan beberapa obat-obatan dan sekarang Barbara sudah menegak setengah miliknya.
"Lain kali Kunci pintu dapurnya jangan sampai ada yang masuk."
"Baik, Tuan."
Aarav langsung pergi berlalu meninggalkan dapur. Matanya melirik ke sana kemari mencari dimana Barbara berada. Bahkan Barbara berani berkeliaran di rumahnya setelah pertengkarannya dengan Dania. Aarav berharap Dania mulai jera. Rasanya sudah lelah harus seperti ini. Keluarganya pun tak ada yang membantunya sama sekali. Bisakah sekarang Aarav berharap keluarganya akan baik-baik saja walaupun aib masa lalunya terbongkar? Dan bisakah mereka tidak menekannya lagi?